x

Iklan

ereenda risty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 April 2020

Kamis, 9 April 2020 11:02 WIB

Live On Board: Pengalaman Bermalam di Laut Lepas


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Nenek moyangku seorang pelaut…”

            Lagu tersebut mungkin mempresentasikan karakteristik Indonesia sebagai negara maritim. Dua pertiga luas Indonesia merupakan laut dengan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada. Laut sebagai penyambung antara ribuan pulau di Indonesia sekaligus penyambung hidup masyarakat.

            Kekayaan ini tentu berdampak pula dengan variasi atraksi wisata di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, perlu diakui bahwa pariwisata Indonesia didominasi oleh wisata bahari. Wisata bahari merupakan salah satu jenis pariwisata yang berkembang pesat. Konsep dari wisata bahari yaitu seluruh kegiatan rekreasional yang berhubungan dengan air asin dan pasang surut air (Hall, C. M., 2001). Dengan ini, definisi wisata bahari berkaitan dengan wilayah garis pantai. Namun, definisi tersebut tidak terbatas secara geografis. Wisata bahari dapat didefinisikan menurut persepsi masing-masing orang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Bicara mengenai bahari, salah satu ciri khas dari kegiatan ini yaitu berlayar. Dalam pariwisata, nautical tourism merupakan istilah yang digunakan untuk aktivitas wisata bahari yang berhubungan dengan sailing atau boating. Biasanya hal ini erat dengan kegiatan seperti islands hopping, wisata kapal pesiar, menyelam, serta snorkeling.

            Berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya dalam satu hari dengan perahu besar atau kecil, lalu kembali ke penginapan merupakan kegiatan yang paling sering ditawarkan oleh agen-agen pariwisata. Kegiatan yang masih jarang ditemui pada wisata bahari di Indonesia yaitu Live on Board (LOB). Istilah asli dari LOB yaitu Liveaboard, yang erat dengan kegiatan menyelam. Para penyelam biasanya melakukan ini agar dapat mengunjungi titik-titik selam yang lebih bervariasi. Liveaboard terkenal banyak di wilayah yang memiliki kekayaan bawah laut seperti di Great Barrier Reef, Australia. Di Indonesia istilah LOB lebih terdengar familiar terutama di Labuan Bajo, Flores, yang jenis wisatanya didominasi oleh kegiatan ini.

            Live on Board merupakan suatu pengalaman yang berbeda dengan wisata bahari lainnya. Konsep ini memadukan atraksi, akomodasi, dan amenitas dalam satu kapal. LOB biasanya menggunakan kapal phinisi atau yacht yang rata-rata memiliki kapasitas sebanyak 15—20 wisatawan. Kapal ini memiliki kabin yang fasilitas dan layanannya mirip seperti hotel. Bermalam di laut lepas tentu menjadi suatu yang berkesan dalam wisata ini. Paket wisata LOB seperti yang ada di Labuan Bajo menawarkan perjalanan dua hingga tiga malam mengarungi laut Flores. Destinasi yang dikunjungi meliputi Kepulauan Komodo dan tentunya disertai aktivitas menyelam atau snorkeling.

            Mayoritas penduduk yang berada di sekitar destinasi wisata ini adalah masyarakat yang jauh dari perkotaan, yang artinya hanya terdiri komunitas-komunitas kecil. Di sisi lain, 77% wisatawan yang datang merupakan wisatawan mancanegara (Marselina, 2020). Hal ini tentunya lebih menguntungkan perekonomian masyarakat. Terlebih, wisata LOB memiliki harga yang terbilang tinggi di pasaran sehingga wisatawan yang datang pun merupakan kalangan kelas atas. Menurut Stoeckl et al (2010), wisata LOB tidak hanya membuat wisatawan mau membayar lebih untuk suatu atraksi, tetapi juga untuk konservasi, perbaikan, dan pengembangan sumber daya.

            Nautical tourism—dan lebih khususnya Live on Board—merupakan suatu ide untuk menambah ragam variasi wisata bahari. Namun, wisata yang ‘mahal’ ini sayangnya tidak didukung oleh SDM di lapangan. Di Labuan Bajo, masih banyak penduduk lokal yang kesulitan berbahasa inggris, padahal mayoritas wisatawan merupakan warga negara asing (Klimmek, 2013). Guide lokal untuk kegiatan menyelam juga masih belum profesional. Selain itu, kepemilikan bisnis ini banyak dikuasai oleh pengusaha asing dari Eropa, Australia, hingga Amerika Serikat. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat penduduk lokal tidak cukup memiliki daya beli layaknya kapal phinisi atau perlengkapan menyelam. Untuk itu, perlu dukungan dari pemerintah dan investor lokal dalam berkontribusi mengembangkan wisata ini.

 

Referensi :

Hall, C. M. (2001). “Trends in ocean and coastal tourism: the end of the last frontier?”. Ocean & coastal management, 44(9-10), 601-618.

Klimmek, H. (2013). “An examination of the barriers to local community participation in the dive tourism industry in Flores, Indonesia”. Unpublished MA, London: King’s College.

Marselina, A., Ernesta Leha, & Maria Kristina Ota. 2020. “Exit Survey Kepuasan Wisatawan Terhadap Parwisata Di Labuan Bajo”. Jumpa. Vol 6(2): 389-424.

Stoeckl, N., Birtles, A., Farr, M., Mangott, A., Curnock, M., & Valentine, P. (2010). “Live-aboard dive boats in the Great Barrier Reef: regional economic impact and the relative values of their target marine species”. Tourism Economics, 16(4), 995-1018.

Ikuti tulisan menarik ereenda risty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler