x

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat meninjau renovasi Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat 7 Februari 2020. Renovasi Masjid Istiqlal diperkirakan selesai pada April 2020, sehingga bisa dipakai saat bulan Ramadhan. TEMPO/Subekti.

Iklan

Robin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 April 2020

Kamis, 9 April 2020 11:25 WIB

Terowongan Silaturrahmi yang Nirsubstansi

Tulisan ini sebenarnya bukan ingin mempermasalahkan yang ‘’sudah-sudah’. bukan pula memperkeruh keadaan yang genting sekarang akibat Pandemi. Keadaan sudah terlanjur keruh jadi untuk apa diperkeruh lagi? Bahkan sudah keruh saat pemerintah sibuk membahas terowongan silaturrahmi Istiqlal-Katedral dengan tujuan untuk membangun simbol toleransi umat beragama. Bagi saya toleransi memang cara nomor satu untuk merawat persatuan, namun terowongan sama sekali tidak ada hubungannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada tanggal 7 Februari yang lalu, Presiden Jokowi bersama Menteri PUPR dan Menteri Agama meninjau renovasi Masjid Istiqlal. Menariknya dari rencana renovasi tersebut akan dibangun terowongan bawah tanah yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral. Presiden Jokowi mengatakan bahwa pembangunan terowongan ini berdasarkan usulan beberapa pihak dan ia merenspon baik usulan tersebut. Banyak pihak yang mendukung dan banyak pula yang mengkritisi.

Tidak jauh sebelum itu, 6 negara di Asia Tenggara telah mengumumkan kasus pertama Covid-19 di negara masing-masing. Negeri jiran mengumkan kasus pertama pada tanggal 25 Januari, sebelumnya Singapura juga telah mengumumkan kasus pertama pada 23 Januari, kemudian disusul Thailand, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Normalnya ketika pemerintah telah mengumkan kasus pertama wabah penyakit, rencana mitigasi bencana (non-alam) juga telah dipersiapkan.

Indonesia sepertinya ‘spesial’, masyarakat dimotivasi oleh Menkes Terawan dengan perkataannya yang akibatnya selalu orang ingat sampai sekarang. per 9 Januari kasus Covid-19 di Indonesia hampir genap menyentuh angka 3.000 dengan angka peningkatan yang lebih tinggi di negara Asia Tenggara. Data ini jelas menundukkan Pride sebagai bangsa besar yang kebal terhadap corona seperti yang diungkap menteri Terawan.

Tulisan ini sebenarnya bukan ingin mempermasalahkan yang ‘’sudah-sudah’. bukan pula memperkeruh keadaan yang genting sekarang akibat Pandemi. Keadaan sudah terlanjur keruh jadi untuk apa diperkeruh lagi? Bahkan sudah keruh saat pemerintah sibuk membahas terowongan silaturrahmi Istiqlal-Katedral dengan tujuan untuk membangun simbol toleransi umat beragama. Bagi saya toleransi memang cara nomor satu untuk merawat persatuan, namun terowongan sama sekali tidak ada hubungannya.

Kisah kasih tentang umat beragama di Indonesia memang tidak ada habisnya. Upaya demi upaya dilakakukan untuk merajut kehidupan yang harmonis dan serasi antar umat beragama. Toleransi adalah kata yang sangat saya cintai, sedangkan sisi yang tidak menyenangkannya adalah tindakan yang terkesan berlebihan atau istilahnya ‘lebay’ dalam membangunnya.

Yang menarik adalah bagaimana landasan filosofis yang diungkapkan oleh Imam Masjid Istiqlal Prof. Nasaruddin Umar yang mengatakan alasan pembangunan terowongan ini adalah untuk menunjukkan pesan perdamaian dan toleransi.

Saya menangkap amanat yang indah dari beliau, yakni pesan perdamaian. Pesan yang sangat indah sekali. Solusi yang dianggap bisa menyelesaikan permasalahan umat beragama. Karena dalam rangka pembangunan nasional, dukungan dari sumber daya manusia yang ideal harus mumpuni. Hal ini tidak akan bisa dicapai jika ada ketidakharmonisan antar umat beragama, sehingga interaksi yang terjalin adalah interaksi negatif. Hal ini tentu bisa membuat kerugian besar, baik dari aspek sosial, budaya dan ekonomi.

Tapi beginilah kita, hubungan antar umat beragama diartikan sempit dalam bentuk simbolik atau fisik. Makna luas toleransi menjadi kerdil, sehingga orang mudah sekali mencap orang lain intoleran, yang ujung-ujungnya semua dikaitkan dengan paham ekstrimis atau radikalisme.

Padahal dalam rangka pembangunan nasional, sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-4 menyiratkan secara tegas bahwa dalam rangka membangun kehidupan bernegara yang ideal, pembangunan tidak hanya mengutamakan aspek fisik tapi juga aspek non fisik. Kalimat memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dua kalimat yang tidak boleh dimaknai secara parsial. Bahwa dalam rangka pembangunan nasional, baik pembangunan fisik dan non fisik haruslah seimbang.

Yang disalah artikan oleh banyak orang, termasuk pejabat publik kita, bahwa pembangunan non fisik selalu disimbolkan dengan sesuatu yang fisik. Contohnya adalah pembangunan terowongan yang menguhubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral, terowongan yang dinamakan ‘Terowongan Silaturrahim’oleh Presiden Jokowi dibangun sebagai simbol dan upaya membangun toleransi antar umat beragama. Sungguh upaya yang mulia namun salah kaprah.

Pada dasarnya, masyarakat adalah sekumpulan bangunan pikiran dan perasaan. Dua hal ini berkelindan didalam core masyarakat, terutama pada masyarakat majemuk di Indonesia. Karena sekumpulan pikiran tersebut berbeda-beda, bahkan terkesan saling menyingkarkan satu sama lain, tapi fakta historis menunjukkan masyarakat yang majemuk ini disatukan oleh pikiran yang sama, yakni pikiran untuk hidup merdeka pada saat mereka dijajah oleh Belanda.

Perasaan masyarakat pada saat itu juga disatukan oleh perasaan yang sama, perasaaan lelah karena diperbudak di tanah sendiri. Dua hal ini yang menjadi kunci utama untuk membangun masyarakat yang ideal. pikiran dan perasaan yang hidup ditengah masyarakat adalah penentu karakteristik masyarakat tersebut. Karena itulah kehidupan yang harmonis dan serasi akan terwujud apabila pejabat publik peka terhadap hal ini.

Sehingga urgensi adanya suatu falsafah yang menyatukan semua pikiran, yakni Pancasila sangat dibutuhkan. Para pendiri negara ini sudah melewati sekelumit pertentangan pemikiran satu sama lain tepat ketika kemerdakaan berhasil didapat. Yang dari pertentangan pemikiran tersebut menghasilkan 5 sila yang disepakati. Pancasila adalah nilai yang diharapkan membuat cita-cita yang sama di setiap pikiran dan perasaan anak bangsa.

Tinggal bagaimana pemerintah sebagai pelayan publik mampu memberi contoh perbuatan atau tindakan yang pancasilais itu. Karena secara hukum pemerintah mempunyai fungsi eksekutor terhadap nilai dan norma hukum yang ada. Dalam hal ini, pemerintah harus memberi contoh tindakan yang sesuai dengan cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. supaya pikiran masyarakat disatukan oleh keteladanan dari pemerintah selaku pelayan publik, juga agar perasaan mereka terpuaskan karena rasa keadilan yang mereka peroleh.

Namun fakta yang ada tidaklah demikian. perilaku korupsi pejabat publik yang tiada akhir kasusnya, tindakan amoral yang dilakukan pejabat dan tindakan lain yang tidak sesuai dengan pancasila adalah yang dipertontonkan kepada masyarakat. Tindakan yang jauh dari Transparasi dan Openness. Alih-alih menyatukan pikiran masyarakat dengan keteladanan, perasaan mereka bahkan dipenuhi dengan rasa ketidakadilan. Maka yang dianggap intoleransi oleh pemerintah bisa saja muncul dari sini, dari gagalnya pejabat publik dalam memberikan keteladanan.

Maka tidak perlu alasan yang filosofis untuk membuat terowongan bawah tanah antara Istiqlal dan Katedral dengan alasan simbol toleransi. Toleransi adalah wujud dari pikiran dan perasaan masyarakat yang tidak bisa dibentuk oleh terowongan. Sebaliknya pemerintah harus berbenah agar memberi teladan yang baik sesuai dengan pancasila. jangan sampai pancasila yang dianggap sakral malah dijadikan alat untuk menuduh kelompok lain intoleran dan radikal. Bisa ambyar masyarakat kita.

Jangan sampai pemerintah disibukkan dengan hal yang nirsubstansi dan mengabaikan hal yang memang harus dikerjakan. Saat kondisi pandemi Covid-19, Dokter dan perawat adalah garda terdepan, namun diatas semua itu tanpa komando yang satu, arahan yang jelas serta kepastian atas hukum dan sikap transparasi dan openness dari pejabat publik, tanpa semuanya itu apa yang kita upayakan untuk melawan pandemi tidak akan bertahan lama hingga masyarakat kita bisa benar-benar ambyar.

Ikuti tulisan menarik Robin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler