Lahir (Lagi) Selepas Pandemi

Kamis, 16 April 2020 08:47 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika pernah mengeluh, karena tak punya banyak waktu untuk melakukan banyak hal. Padahal, to do list sudah setiap awal tahun disusun dan diperbaharui sampai versi 1.∞ , dari mulai rajin olahraga sampai rencana buka usaha. Apa hasilnya? Tahun 2020 sudah empat bulan berjalan!

Jika pernah mengeluh, karena tak punya banyak waktu untuk melakukan banyak hal. Padahal, to do list sudah setiap awal tahun disusun dan diperbaharui sampai versi 1.∞ , dari mulai rajin olahraga sampai rencana buka usaha. Apa hasilnya? Tahun 2020 sudah empat bulan berjalan!
 
Working from home (WFH) anjuran pemerintah di tengah pandemi ccorona nyatanya membuktikan kebanyakan dari kita terlalu sibuk mengidamkan-idamkan kondisi yang nyaman dan menyudutkan keadaan. Ini juga membuktikan manusia adalah spesies unik, pada kondisi ancaman kita cenderung menjelmakan diri sebagai “makhluk logis”, namun ketika pada kondisi harapan secara otomatis kita dominan menjadi “makhluk irasional”.
 
Misalnya, pemerintah menyebarkan himbauan agar masyarakat #diRumahAja untuk memutus estafet virus memangsa lebih banyak, alhasil masyarakat malah tetap adem ayem gemah ripah loh jinawi dengan rutinitas keseharian. Karena pada kondisi tersebut, ancaman yang lebih besar dan patut dikhawatirkan adalah kelaparan anak dan demonstrasi istri saat suami tak membawa pulang piti, bukan Covid-19!
 
Bisa jadi, ini adalah masa terpanjang warga +62 ‘menikmati libur’. Anak sekolah generasi Z jadi tahu rasanya libur sebulan puasa seperti cerita era bapak ibunya dulu. Pun, selepas pandemi berakhir perusahaan untung besar karena para pekerjanya high competency; Bankir Dishwasher, Accountant Farmer, Consultant Gallon Man, Manager Baby Sitter, dan aneka keahlian lainnya yang patut HRD catat! Mudahan jadi variabel penambah gaji.
 
Panjangnya ketersediaan waktu di kondisi pandemi ini adalah jeda. Menjeda dari robotisasi tubuh dari subuh sampai petang membentang dalam perjalanan nafkah. Memberi ruang, merelaksasi jiwa memikirkan persinggahan akhir, sudah sampai mana dan mau jadi apa, yang biasanya kita selalu beralasan tak cukup waktu karena lelah datang seusai kerja, Tuhan pun masih rela tak dikunjungi.
 
Jeda ini adalah ladang untuk ditanami. Terserah mau ditanduri atau di-bera. Dengan ‘benih’ kebaikan model apa, dipupuki ‘NPK’ merk apa dan siapkah dipaneni hasilnya selepas pandemi menemukan pintu pulangnya.
 
Mengisolasi diri dalam rumah ibaratnya pupa yang diselimuti daun dan benang sutera. Disabari saja, dilumuri saja dengan optimis, bahwa ini adalah proses menuju perubahan yang baik. Ketika saatnya pupa itu terbelah, kita sudah yakin ada dalam versi terbaik. Sebagai siapapun kita memulainya saat ini! Karena kelahiran kita tidak ter-kluster pada varietas unggul atau rendah. Akal dan rasa akan mengintuisi pilihan-pilihan takdir kebaikan atau keburukan mana yang kemudian dipilih.
 
Selepas pandemi nanti, menjadi level Brood Bronze atau Invincible God of War layaknya di Games PUBG itu tergantung kita. Setidaknya, pandemi ini melemparkan kesombongan kita. Yang sengaja mengacuhkan kebersamaan, bahwa sejatinya kita rindu, rindu untuk saling berhimpun sejak Tuhan ‘menyengajakan’ kolektivitas manusia tercerai berai, sejak arti berjamaah menjadi kata yang menakutkan terdepak untuk menjaga jarak.
 
Se-iya-nya, setelah pandemi pulang pada Pemiliknya, para bapak tahu beratnya istri ngurusi rumah tangga biar tak rapuh di makan usia kulit muka dan asap dapur. Kalau, nafkah yang diberi belum cukup menyumbat teriakan anak minta jajan di warung ber-AC dan belaian istri minta skincare biar belaian makin ramai.
 
Para pemimpin perusahaan tahu perlunya keseimbangan rohani pekerjanya, kalau sumber prestasi kerja ditentukan bahagia tidaknya karyawan di rumah. Para karyawan meningkat kinerjanya karena punya semangat baru apalagi tetap digaji walau tiga bulan gak ngantor tiap hari.
 
Pun, semoga selepas pandemi ini, para abdi negara semakin solid menumpahkan jiwa raga bagi negara tanpa pamrih dan kosa kata, apalagi cuti bersama ngumpul di akhir tahun.
 
Atau seusai pandemi ini, ada yang naik level, sebelum pandemi menjadi pembenci lalu selepas pandemi menjadi pembenci akut. Tiap hari di masa ini selalu menerapkan falsafah 5M; membenci, mengumpat, mengukuti, meneriaki, mengulangi. Wis, pokoknya kebaikan model apapun orang itu salah. Padahal Bung! Orang tidak butuh tahu kebencian yang ada pada diri kita.
 
Terserah yang mana versimu.
 
Apapun kita saat ini, saatnya memulai menyelesaikan kelahiranmu (lagi) selepas Covid-19!

Bagikan Artikel Ini
img-content
Erick Mubarok

Ghost writer | Penyuka sejarah | Penonton dagelan | Gooner dan Bobotoh

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler