x

Supartono JW

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 19 April 2020 06:24 WIB

Drs. Supartono, M.Pd: Bapak Presiden, Bapak Menpora, 90 Tahun PSSI Sulit Berprestasi karena Pengurus dan Organisasinya!

90 tahun PSSI sulit berprestasi, akar masalahnya ada pada pengurus hingga pengorganisasiannya juga tidak benar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

19 April 1930-19 April 2020, PSSI genap berusia 90 tahun. Tapi apa yang terbaru sedang melanda PSSI, di saat pihak lain sedang bersatu padu membendung pandemi corona dengan pencegahan, antisipasi, dan penanganan Covid 19 (PAPC19)? 

Tak pernah dewasa

PSSI tetap menunjukkan karakter dan sikap "tak dewasa" dalam berorganisasi, meski usianya sudah renta. Apa dan siapa yang salah? 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jawabnya, jelas individu yang menjadi pengurus di dalamnya. Membolak-balik ratusan artikel tentang PSSI dan sepak bola nasional yang saya tulis, di berbagai media massa, ternyata ada satu kesimpulan, wajib ada lembaga semacam Pusat Pelatihan Kader Pengurus Organisasi Sepak Bola Nasional (PPKPSBN). Mengapa? 

Biang kerok dan akar masalah mengapa sepak bola nasional nir prestasi dan terus tertinggal dari negara lain, karena diurus oleh pengurus yang tidak memiliki ijazah,  dari lembaga semacam PPKPSBN. 

Padahal di berbagai sektor, prasyarat seseorang menjadi pengurus/karyawan/pekerja/buruh/ adalah ijazah sesuai strata dan job pekerjaannya. Sebab itu, bukan PSSI namanya, bila dalam situasi apa pun, selalu membuat prestasi "masalah". 

Bukannya, di saat situasi pandemi corona, jajaran pengurusnya semakin solid untuk membenahi roda organisasi dan menjalankan amanah program-program hebat sepak bola nasional yang ada di pundaknya demi meraih prestasi, persoalan klasik ribut dalam kepengurusan terjadi lagi. 

Seharusnya, dalam situasi pandami, para pengurus ini, duduk bersatu melakukan evaluasi, refleksi diri, instrospeksi diri, bukan malah "berkelahi". Hingga Sekjen mundur lagi.

Tidak pernah "dewasa" pengurus PSSI ini. Beginilah, bila duduk di organisasi, tak memahami mendalam menyoal apa visi-misi berorganisasi itu. Apalagi tak menguasai ilmu dan tata cara berorganisasi, namun datang menjadi pengurus PSSI dengan cara berkelompok/bergerbong, lalu bermain intrik, taktik, dan politik yang juga tak cerdas. 

Maka, siapa kuat atau tak kuat, budayanya hanya akan saling "mementalkan" dan menimpakan kesalahan kepada orang lain. 

Syarat duduk di organisasi itu harus bermental baja. Ada proses pengaderannya. Tidak tahu-tahu dapat duduk di kursi empuk saja. 

Lihat, semua siswa Sekolah Menengah Pertama/Atas (SMP atau SMA) adalah anggota OSIS, tetapi untuk menjadi pengurus OSIS ada proses dan tahapan yang tidak mudah. Wajib mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), begitu pun menjadi pengurus Senat Mahasiswa, ada Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa), ada sertifikat kelulusannya. 

Maka, rata-rata pengurus OSIS SMP/SMA dan Senat Mahasiswa tahan banting, bersatu membela visi dan misi organisasi dan saling menghargai dan saling dapat memecahkan masalah, karena terlatih secara profesional dalam manajemen konflik. 

Saya melihat, dari era ke era, pengurus PSSI kita, dalam berorganisasi bahkan tertinggal jauh oleh Pengurus OSIS SMP/SMA dan Senat Mahasiswa apalagi oleh pengurus organisasi profesional lainnya yang sagnat memahami tata cara dan sikap di dalam organisasi. 

Di PSSI? Siapa pun pengurusnya, malah sok-sok an mengedepankan strategi intrik, taktik, dan politik yang "negatif". Apa akibatnya? 

Bila selama ini, publik sepak bola nasional, yang mengaku menjadi pelaku sepak bola (pemain, pelatih, ofisial, pembina, pemilik klub, pemilik SSB, orang tua SSB dan suporter, dan stakeholder terkait) khususnya dalam grup-grup di media sosial, menyatakan alergi bila ada warganet/netizen yang berbagi informasi di luar masalah sepak bola, apalagi masalah politik, lihatlah! Organisasi PSSI itu, selama ini di dalam kepengurusannya tidak pernah lepas dari permainan intrik, taktik, dan politik (ITP) namun lemah penguasaan diri akan ilmu dan tata cara berorganisasi yang benar. 

"Tolong ya, grup ini hanya untuk sepak bola", "maaf, jangan share masalah politik di grup ini", "setuju, grup ini hanya bicara bola saja, tidak ada politik", dll.

Itulah kalimat pengingat baik dari admin maupun peserta grup, yang mencerminkan bahwa para pelaku sepak bola di grup-grup media sosial ini "bak katak dalam tempurung". 

Tidak pernah membuka mata hati dan pikiran bahwa permainan sepak bola, mulai dari pembinaan, pelatihan, hingga kompetisi, lalu cara mengorganisasi tim, SSB, Klub, Timnas, Askot, Askab, Asprov, PSSI, AFF, AFC, FIFA, semua dijalankan, lekat dengan intrik, taktik, dan politik. 

Jadi, betapa terlihat masih terbelakangnya pola berpikir "pelaku" sepak bola nasional kita, betapa nampak "duduk di tempat" sebagian besar dari mereka, yang masih berpikir sepak bola adalah sepak bola. 

Tidak pernah berpikir bahwa menjalankan sepak bola tanpa ITP maka hanya melahirkan prestasi "masalah". Bila pelaku sepak bola dapat menjalankan ITP, kemudian mampu mengelola ketiganya dengan bijak, berbesar hati, simpati, empati, dan rendah hati dalam sepak bola,  maka dapat dipastikan pelaku ini adalah sosok cerdas intelektual dan emosional. 

Cerdas mengelola intrik, taktik, dan politik

ITP yang kesannya negatif, di tangan sosok pelaku sepak bola yang cerdas akan dikelola dengan positif. ITP itu akan muncul dalam pelaksanaan menjadi strategi dan program jitu demi meraih "prestasi". ITP yang berupa strategi dan program-program jitu terlahir dari sosok cerdas ini, karena terus terbuka, mau belajar, membaca, menganalisa, kreatif, imajinatif, sehingga strategi dan program yang lahir pun inovatif, terus seiring sejalan dengan perkembangan zaman. 

Pengurus utama PSSI selalu muncul karena dipilih voters, pun dengan berbagai intrik, taktik, dan politik yang "sangat" mudah dibaca. Jadi, lingkaran pengurus PSSI hingga kapan pun akan berputar-putar seperti itu. 

Tidak lahir dari visi misi yang sama, tetapi lahir dengan egoisme pribadi dan kelompok yang mengusungnya (cukong). Hanya bongkar pasang dan saling "jual beli" demi keuntungan pribadi dan golongan, tidak ada pengaderan, inilah biang kerok mengapa hingga 19 April 2020, tepat PSSI berulang tahun yang ke-90, organisasi PSSI tetap ada kisruh dan nampak tidak semakin dewasa, meski umurnya sudah lebih tua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Harus lahir PPKPSBN

Saya selalu menyebut, PSSI tidak pernah lepas dari masalah dan benang kusut, pasalnya, akar masalahnya, siapa pun yang duduk di kepengurusan PSSI tak lulus syarat dalam kecakapan berorganiasi, karena belum ada lembaga yang mengeluarkan sertifikat calon pengurus PSSI. 

Bila ada lembaga yang mendadar dan menempa para calon pengurus PSSI, lalu mengeluarkan sertifikat lulus bagi pesertanya, maka calon-calon pengurus yang dari berbagai bidang dan ahli, tentu akan menjadikan pintu bagi organisasi PSSI untuk memulai hidup baru, sebagai organisasi yang sehat dan kuat, karena pengurusnya sudah dibekali pondasi tata cara manajemen organisasi yang benar. 

Tinggal apakah dalam pemilihannya, vitors yang bak anak raja, sebagai pemilik mutlak PSSI statuta yang dibuat oleh mereka sendiri ini, akan tetap bemain dalam peta TIP? Peta cukong? itu masalah lain lagi yang pembahasannya juga panjang.

Kasus terbaru menyoal Sekjen PSSI, yang dalam regulasinya bukan hak voters untuk memilih, namun menjadi hak Ketua di bantu Exco-nya, maka memilihnya wajib dan harus lebih ketat. Sebab, Sekjen sama dengan "otak" nya organisasi. Salah memilih Sekjen, fatal akibatnya. 

Bila pengurus PSSI seharusnya memiliki ijazah dari PPKPSBN, maka seorang Sekjen juga wajib lebih memiliki sertifikat profesional sesuai jobnya, tidak sekadar ijazah dari PPKPSBN.

Karena selama ini, tidak sesuai jalur, maka tak heran bila lagi-lagi, Sekjen yang sudah ada mundur. Lalu, di pilih lagi, mundur lagi. 

90 tahun usia PSSI, namun jauh dari prestasi, sebab voters yang diamanahkan oleh publik pecinta sepak bola nasional dapat memilih pengurus PSSI yang tidak pernah "ditatar" kepemimpinan dan keorganisasian sepak bola, tidak memiliki sertifikasi/ijazah sebagai calon pengurus, selalu salah alamat dan lebih memilih uang buat dirinya, ketimbang memikirkan harapan masyarakat. 

Andai statuta PSSI itu bisa diubah oleh publik, tentu, sangat mudah mendudukkan pengurus dan organsasi PSSI secara benar dan profesional. 

Sekali lagi, mundurnya Sekjen sebagai "roh/otak program" PSSI, yakin tidak berdiri sendiri. Pasti hasil dari sebuah efek domino masalah. 

Jadi, bila yang mengemuka, Sekjen mundur, sejatinya publik tahu sedang terjadi apa di dalam manajemen kepengurusan PSSI sekarang yang akar masalahnya timbul karena apa? Dan PSSI terus dimanfaatkan sebagai kendaraan kepentingan.

Sungguh memilukan, di usia 90 tahun, PSSI masih begini. Mungkin, Kemenpora atau stakeholder terkait segera membentuk lembaga untuk mengader calon-calon pengurus PSSI, buka lowongan secara profesional dan transparan, seleksi para calon dari berbagai bidang, didik, dibina, ditempa, hingga yang lulus perolah Ijazah dari Pusat Pelatihan Kader Pengurus Organisasi Sepak Bola Nasional (PPKPSBN). 

Siapa yang memiliki ijazah PKPSBN, dialah yang layak dipilih menjadi pengurus organisasi sepak bola nasional baik di PSSI, Asprov, Askab, maupun Askot, dan pengurus klub hingga SSB. 

Meski sudah 90 tahun, lahirnya wadah PKPSBN, masih belum terlambat, sebab individu pengurus tak profesioal masih dibiarkan terlibat dalam organisasi sepak bola nasional yang memang wajib di setop, dicekal, namun selalu terlindung oleh statuta.

Selamat ulang tahun Organisasi PSSI. Kepada para pencetus dan pendiri PSSI, mohon maaf, bila organisasi ini belum mampu membanggakan kalian "di sana".

Bapak Presiden, Bapak Menteri Pemuda dan Olahraga, itulah sedikit analisis saya, yang sekiranya dapat membantu percepatan prestasi sepak bola nasional. Bila, hal ini terus dibiarkan, maka seabad (100 tahun) usia PSSI pun, sepak bola nasional akan terus begini.

Drs. Supartono, M.Pd. (Pengamat sepak bola nasional, pendidikan nasional, dan sosial)

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler