x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 20 April 2020 08:58 WIB

Covid-19, Kontroversi antara Virus Rekayasa dan Virus Alami

China dituding merekayasa virus korona. Saya membayangkan, para Petinggi China di Beijing mungkin akan merespon dengan mengatakan, “Emang gua pikirin”. Secara historis, hampir semua kasus besar yang diasumsikan dan diyakini oleh publik sebagai hasil rekayasa, pada akhirnya hanya menjadi “wacara abadi” di halaman buku-buku fiksi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

China dituding merekayasa virus corona. Saya membayangkan, para Petinggi China di Beijing mungkin akan merespon dengan mengatakan, “Emang gua pikirin”.

Begitu Pemerintah China resmi mengumumkan terjadinya wabah covid-19 di Wuhan pada 31 April 2019, kontan bermunculan berbagai spekulasi bahwa covid-19 adalah virus hasil rekayasa, yang bocor dari laboratorium Wuhan Institute of Virology/WIV di kota Wuhan. Spekulasi itu dan bantahannya telah-sedang-dan-akan terus bergulir.

10 Argumen kelompok yang mendukung asumsi rekayasa

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, sebagai salah satu negara superpower (anggota tetap Dewan Keamanan PBB), adalah wajar jika China memiliki proyek senjata kimia dan biologi, seperti China memiliki senjata nuklir. Yang menarik, orang pertama yang mewacanakan bahwa covid-19 mungkin merupakan bagian dari proyek senjata biologi China (melalui email yang dimuat di harian Washington Post edisi 27 Januari 2020) adalah seorang pakar intelijen, Dany Shoham, mantan perwira intelijen militer Israel. Dan seperti umumnya analisa intelijen, keterangan Dany Shoham adalah model analisis yang mengambil kesimpulan dengan asumsi terburuk: hasil rekayasa.

Kedua, laboratorium Wuhan Institute of Virology (WIV), yang dikelola oleh Chinese Academy of Sciences, memang kebetulan berlokasi di Wuhan, episenter pertama wabah covid-19. Seandainya WIV berlokasi di kota lain (Shanghai misalnya), mungkin akan sulit diasosiasikan dengan kemungkinan terjadinya kebocoran dan/atau perembesan virus dari laboratorium. Dan seperti diketahui, WIV difungsikan sebagai "bank virus" terbesar di Asia, menyimpan sekitar 1.500 (seribu lima ratus) jenis virus (virus strain).

Ketiga, selama periode puncak wabah covid-19 di Wuhan, tak satupun pejabat China yang terjangkit. Fakta ini diasosiasikan dengan asumsi bahwa semua jajaran pejabat China sudah menyiapkan vaksinnya alias sudah menjalani vaksinasi.

Keempat, sejak 2017, China telah menekan perjanjian kerjasama dengan WHO (World Health Organization). Sebuah perjanjian yang di-setting sebagai sub-bagian dari mega proyek infastruktur global China yang disebut Belt and Road Initiative (BRI). Sampai sekarang, bentuk kerjasama ini tak pernah jelas maksudnya. Sebab apa hubungannya WHO dengan proyek BRI? Diduga, perjanjian itu merupakan bagian dari persiapan China agar WHO kelak memuluskan jalan bagi China untuk mengolah proyek global yang disebut health silk-road (jalan sutra kesehatan). Realisasinya, pada 21 Maret 2020, disimbolkan dengan sebuah kereta kargo China berangkat dari kota Yiwu membawa bantuan kesehatan menuju Madrid, Spanyol, dengan menempuh jarak lebih 13.000 km. Perjalanan kereta kargo ini tak mungkin dilakukan secara cepat, jika tak didahului pandemi Covid-19.

Kelima, periode waktu dan kronologi penyebaran wabah covid-19 di Wuhan memang sangat fantastis: berlangsung selama 99 (sembilan puluh sembilan) hari, jika dihitung sejak diumumkan resmi pada 31 Desember 2020, sampai pencabutan lockdown di Wuhan pada 08 Maret 2020. Dan angka 99 hari itu mengisyaratkan banyak tanda tanya, bagi mereka yang suka mengutak-atik angka.

Keenam, selama periode puncak wabah covid-19 di Wuhan, ada sebuah pabrik berteknologi tinggi di pusat kota Wuhan yang tetap beroperasi: pabrik pembuat chip (Yangtze Memory Technologies/YMT). Para pekerjanya yang berjumlah sekitar 300 insinyur plus pekerja voluntir tetap bekerja full-time secara reguler dengan sistem ship. Mereka diangkut dengan kereta gerbong khusus, lalu diantar-jemput dari stasiun Wuhan ke markas YMT. Selama periode lockdown, para pekerja itu "disekap” di sebuah penampungan di lingkungan YMT, tidak boleh keluar selama periode lockdown. Dan lagi-lagi, tak satupun dari pekerja YMT yang terjangkit positif covid-19. Mereka juga diasumsikan sudah divaksinasi.

Ketujuh, sebuah group peneliti China mempbulikasikan risetnya di jurnal ilmiah The Lancet pada Januari 2020, yang berkesimpulan bahwa pasien pertama covid-19 di Wuhan sama sekali tidak memiliki kontak lansung dengan pasar hewan di Wuhan, begitu juga 13 orang dari 41 kasus positif pertama Covid-19 di China. Kesimpulan ini membantah narasi yang mengatakan bahwa covid-19 berasal dari pasar hewan dan seafood di Wuhan. Dan karena itu, kemungkinannya bocor dari lab WIV.

Kedelapan, boleh jadi memang Covid-19 tidak sengaja disebarkan, tetapi terbuka kemungkinan terjadi semacam “kecelakaan di laboratorium” yang menyebabkan virus menular ke salah satu atau beberapa personil/pekerja di lab WIV, dan akhirnya menyebar ke luar laboratorium.

Kesembilan, bahwa China memerlukan momentum untuk menancapkan posisinya dan pengaruh globalnya di bidang ekonomi dan juga di bidang kesehatan masyarakat global. Dan penyebaran virus rekayasa adalah cara yang paling efektif dan efisien untuk merealisasikan tujuan itu.

Kesepuluh, secara politik global, tujuan utama dari rekayasa covid-19 adalah “mempecundangi sekaligus mempermalukan Amerika Serikat cq Presiden Donald Trump”. Dan sejauh ini, tujuan ini terlaksana dengan sangat baik dan dengan cara yang hampir sempurna.

Selanjutnya: Ini ilustrasi rekayasa yang terjadi

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler