Tapi maaf, dari sekian banyak temannya, tidak sedikit yang kerap mengeluh karena temanku ini dianggap sering menyusahkan mereka. Kuketahui dari cerita mereka sendiri, sampai ada yang curi-curi bikin status. Sindiran ala emak-emaklah.
Bahkan salah seorang teman dekatnya pernah ngomel di depanku, “Si N ini kalo suaminyo di luar kota, pasti kito semua jadi korban. Ikut repot dibuatnyo!”
Padahal dia bukan tipikal penggosip, loh. Mungkin saking bosannya.
Suatu hari, teman yang tak pernah sungkan minta tolong ini bercerita. Waktu kecil, ia sangat dijaga oleh abang-abangnya. Tak boleh main jorok, tak boleh belajar naik sepeda. Sebagai adik perempuan, semua urusannya dilayani.
Nah, itulah hasil positif dari main ala cowok yang dulu kulakoni. Sulit menjelaskan apa hubungannya. Tapi menurut psikolog anakku dulu, didukung artikel dan buku psikologi yang pernah kubaca, itulah faktanya.
Anak yang begitu dilayani, tak punya pengalaman “menantang”, cenderung cari aman hingga dewasa. Masalahnya, ketika menua, tak ada abang yang menjaga kita lagi.
Lalu apa hubungannya dengan game ngebut? Itu hanya pelampiasan emosi saja. Tak ada urusan dengan gender. Kalau ada game banting-banting kuali, barangkali itu yang kupilih. Dan itu tak bisa kujelaskan pada bocah sembilan dan enam tahun di rumah ini.
Ikuti tulisan menarik syarifah lestari lainnya di sini.