Dunia urban yang direpresentasikan dalam wilayah kota, adalah ‘kuali pergolakan’ nilai, budaya, etnis, agama, suku, kepentingan-kepentingan dan semua yang mungkin bisa dibayangkan. Pergolakan ini memberi output beragam. Ia bisa menjadi suatu kerukunan ketika hukum dan peradaban tinggi mengemuka sebagai landasan kepatuhan dan kepatutan.
Tetapi evolusi urban tidaklah semulus itu. Ia lahir dari muara pertemuan dengan merujuk kepada kepentingan-kepentingan. Dengan begitu, pertemuan dari berbagai latar belakang, kepentingan dan tujuan berpeluang menimpulkan kompetisi dan gesekan-gesekan.
Majemuknya tujuan pencapaian yang diinginkan orang-orang dalam ranah perkotaan membuat mereka relatif lebih agresif. Itu karena watak kota yang begitu kental dengan hal-hal yang materialistik, hedoinistik dan pragmatis, membuat orang-orang di dalamnya berada pada titik kompetisi hidup yang sengit. Yang merasa kurang akan memburu terus, yang berlebihan lebih bersemangat lagi untuk mendapatkan, yang berkuasa akan memperbesar pengaruh penaklukannya.
Gesekan-gesekan inilah yang kemudian menjadi konflik, entah itu konflik insidental atau berkepanjangan. Inilah yang kemudian menjadi akar kekerasan dalam relasi-relasi dunia urban. Kekerasan membawa hukumnya sendiri yang dipicu dari majemuknya latar belakang pribadi-pribadi, pencapaian ekonomi, lemahnya daya survival. Bahwa kekerasan memang bukan hanya terjadi pada kehidupan kota, namun melihat dari gambaran sosiologis perkotaan, peluang kekerasan itu lebih banyak berpeluang terjadi pada kehidupan kota.
Dunia urban membuka lebih lebar segala kemungkinan. Ini pula yang menjadi dasar kuatnya motivasi orang-orang memburu apa yang menjadi tujuannya. Karena motiviasi ini, tak jarang terjadi persinggungan konflik kepentingan. Sejarah perkotaan di mana pun di dunia, menawarkan fakta-fakta itu.
Relasi kuasa dalam dunia urban, bukan saja terbangun dalam tatanan kenegaraan, melainkan juga dalam kehidupan-kehidupan riil di masyarakat. Tuan tanah, saudagar, para mafioso, organisasi gang jalanan, adalah contoh gambaran betapa relasi kuasa itu terbangun di kehidupan perkotaan.
Kompetisi hidup dalam dunia urban dengan, misalnya, pencapaian yang tak sama bisa memunculkan lemahnya ketahanan moral dan norma yang berimplikasi kepada prilaku yang tak terduga. Jika mereka merasa lemah dalam kekalahan kompetisi kehidupan, mereka akan bertahan dalam belas kasihan orang; jika mereka merasa berani di balik kekalahan dalam kompetisi hidup dalam dunia urban,mereka berpeluang melakukan tindak kriminal (mencuri, merampok, menjambret, membegal atau membentuk kelompok kriminal).
Dalam kondisi seperti itu, keberadaan kaum perempuan adalah sangat rawan. Kekerasan sebagaimana yang digambarkan di atas ialah menyangkut kuasa fisik, dan ini sepenuhnya adalah dunia lelaki. Maka bukan tanpa alasan kemudian jika Mariana, sebagaimana telah dikutip di atas, berujar ‘Ketika Anda perempuan, Anda bisa terancam pembunuhan’.
Karena kekerasan menyangkut kekuatan fisik, maka perempuan adalah yang paling tak berdaya. Kehidupan dunia urban yang tak statis itu, yang selalu akan berkembang dan berubah itu, apa pun bentuk dan zamannya, memang selalu menyimpan sisi kelamnya.
Selanjutnya: Garda perlindungan kaum perempuan
Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.