x

nasi anjing

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 27 April 2020 12:17 WIB

Kasus Nasi Anjing: Berbagilah dengan Empati

Kisah nasi anjing ini wajib menjadi pelajaran bagi semua pihak. Meski maksud pemberi nasi anjing mendekatkan dengan istilah "nasi kucing" dari segi porsi, secara sosial budaya dan agama, bagi warga muslim kata anjing sendiri sudah berkonotasi negatif (haram) meski secara hewani, anjing memiliki karakter setia. Maksud baik berbagi di tengah pandemi corona, jangan lupakan empati, agar tak membuat resah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbagai kasus, tiap waktu bergulir di Indonesia terkait wabah pandemi corona menerpa, belum berhasil terurai, sebab korban terpapar dan meninggal terus meningkat. Lalu terbaru muncul polemik mudik dan pulang kampung yang juga membuat berbagai pihak bersuara. 

Belum reda semua persoalan tersebut, akibat dari corona juga muncul kasus baru, Nasi Anjing. Bila maksud baik, tidak terkomunikasikan dengan benar, maka akibatnya ada miskomunikasi. Itulah yang terjadi pada Nasi Anjing. 

Nasi anjing=melecehkan, Polisi bertindak cepat

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kisahnya warga Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara dikejutkan dengan penerimaan bantuan makanan siap santap berlogo kepala anjing. 

Bantuan tersebut diterima warga Warakas yang tinggal di sekitar Masjid Babah Alun pada Minggu (26/4/2020) dini hari. Pemicunya adalah, di bungkusan makanan itu terdapat tulisan 'Nasi Anjing, Nasi Orang Kecil, Bersahabat dengan Nasi Kucing #Jakartatahanbanting'. 

Kontan, warga merasa dilecehkan. Apalagi penerima bantuan makanan yang sebagian besar beragama Islam, melihat ada logo kepala anjing pada bungkus makanan. 

Akibatnya, pembagian makanan siap santap itu bukan sesuai maksud dan tujuan baik, sebaliknya malah menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Tak pelak, atas peristiwa yang dianggap melecehkan itu, warga pun melaporkan peristiwa pembagian makanan berlogo anjing tersebut ke polisi. 

Polisi bertindak cepat atas laporan masyarakat. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus menyebut Satreskrim Polres Metro Jakarta Utara telah menyelidiki kasus nasi anjing itu. 

Polisi juga sudah mendatangi lokasi pembuatan nasi anjing itu dan mendapati bahwa nasi anjing itu halal. "Mendapati bahwa pembuatan nasi dengan bahan halal," kata Yusri Yunus dalam keterangannya, Senin (27/4/2020) kepada awak media. 

Yusri menyebut pembuat nasi bungkus itu juga telah menjelaskan alasan memilih diksi 'nasi anjing'. Yusri menyebut 'nasi anjing' dipilih karena anjing dianggap hewan yang setia. "Istilah yang digunakan dengan nama anjing karena menganggap anjing hewan yang setia dan nasi anjing karena porsinya lebih besar sedikit dari nasi kucing dan diperuntukkan untuk orang kecil untuk bertahan hidup," ucap Yusri. 

Dijelaskan pula bahwa isi lauk-pauk di dalam bungkusan nasi anjing itu bahan yang digunakan adalah cumi, sosis sapi, teri, dan lain-lain. 

Karenanya, kasus ini terjadi sebab salah persepsi antara pembuat/pemberi nasi dengan penerima nasi. Untuk itu, rencana tindak lanjut polisi adalah mempertemukan para pihak dengan disaksikan tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat termasuk TNI hingga membuat video klarifikasi terkait bahan makanan tersebut. 

Kepolisian juga meminta pihak pemberi makanan untuk mengganti istilah nasi anjing dengan istilah lain yang tidak menimbulkan persepsi lain. 

Menghargai dan empati

Kisah "nasi anjing" ini wajib menjadi pelajaran bagi semua pihak. Meski maksud pemberi nasi anjing mendekatkan dengan istilah "nasi kucing" dari segi porsi, secara sosial budaya dan agama, bagi warga muslim kata anjing sendiri sudah berkonotasi negatif (haram) meski secara hewani, anjing memiliki karakter setia. 

Selain itu, menjadi pertanyaan, apakah si dermawan tidak berpikir akan akibatnya, minimal mengkalkulasi bahwa sebutan nasi anjing, plus logo anjing dalam bungkus akan sangat sensitif? 

Harus ada pemikiran simpati dan empati yang tepat dan benar di saat masyarakat kini sedang dilanda keterpurukan ekonomi. Namun, akibat kata anjing, warga merasa dilecehkan. 

Mungkin benar,  si pemberi nasi anjing berpikir simpati, adanya perasaan peduli dan perhatian pada masyarakat, bukan karena rasa kasihan dan nasib. 

Namun, si pemberi nasi anjing jangan-jangan lupa menempatkan diri pada posisi orang/masyarakat yang dijadikan obyek berbagi kesedihan bersama. Sehingga, kurang rasa empati. Kurang mampu melihat situasi dari perspektif orang lain, yang di dalamnya melibatkan sudut pandang, emosi, dan kesulitan yang dialami seseorang/masyarakat. 

Bila si pemberi nasi anjing, sebelum memberikan/berbagi, menempatkan diri pada posisi mereka dan merasakan apa yang mereka rasakan, yakin tidak akan ada kata-kata nasi anjing, yang bahkan bungkus nasinyapun sangat "niat" diberikan logo kepala anjing. 

Dari peristiwa ini, di tengah situasi corona, jangan memancing di air keruh. Jangan menyentuh hal-hal sensitif (sosial-agama). Jangan pula mencari popularitas "instan". Jangan pula ada maksud terselubung. Kasus nasi anjing, adalah sebuah xermin kondisi masyarakat kita. Hati-hati!

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler