x

hut

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 30 April 2020 07:32 WIB

Antara Corona, HUT di Indonesia dan Manca Negara

Pandemi corona juga mempengaruhi tradisi dan budaya hari ulang tahun di Indonesia dan manca Negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Hari ini, aku ulang tahun, lho!" Rasanya, ucapan seperti itu akan jarang ditemui di masyarakat kita, meski teman dan kerabatnya sampai lupa hari bahagianya itu. Tapi, dalam hati seseorang, akan bergumam seperti itu, andai rekan ada kerabatnya, benar-benar sampai lupa hari kelahirannya, meski selalu ingat hari bahagia rekan dan kerabatnya. Apakah Anda pernah mengalami hal seperti itu?

Kini, akibat pandemi corona, perayaan hari ulang tahun (HUT) semua tak dapat dirayakan seperti tradisi dan budaya seperti waktu normal.

Pandemi corona dengan berbagai model pencegahan, antisipasi, dan penanganan Covid-19 (PAPC19) di berbagai negara, tak terkecuali juga menghentikan tradisi/budaya perayaan HUT, baik ulang tahun seseorang, ulang tahun organisasi, hingga ulang tahun berdirinya kota atau negara. Khususnya untuk ulang tahun seseorang. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Khususnya untuk hari ulang tahun (HUT) seseorang, dalam kondisi normal, sebelum dunia maya berkembang pesat, bila di luar negeri akan menjadi berkah untuk yang merayakan HUT. Namun, berbeda dengan perayaan HUT di Indonesia. 

HUT di +62 

Seseorang yang ulang tahun di Indonesia bagi yang sudah terbudaya saling merayakan, akan terkena kesulitan. 

Ketika seharusnya yang berulang tahun merasa bahagia dengan pencapaian sebelumnya dan termotivasi buat pencapaian lebih tinggi di usia yang baru, saat HUT justru dapat tekanan bertubi-tubi. 

Beberapa tradisi dan budaya HUT yang biasanya malah membikin sulit adalah adanya kebiasaan untuk menagih traktiran pada kawan yang ulang tahun. Seolah siapa yang HUT, maka dia yang berbahagia harus mentraktir. 

Sehingga, bila seseorang sudah terjebak pada tradisi dan budaya HUT yang dirayakan di lingkungannya, baik di keluarga, sekolah, kampus, atau tempat kerja hingga tempat perkumpulannya, maka bila saatnya HUT tiba, maka akan dibuatnya pusing. 

Terlebih, biasanya seseorang yang di posisi demikian, di antara mereka pasti sudah saling hafal tanggal HUTnya. Maka, saat HUT tiba, akan sulit bagi seseorang untuk menghindar dari tradisi dan budaya yang sudah kental di antara mereka. 

Sering kali pula, seseorang harus menabung atau bahkan sampai berhutang demi untuk perayaan HUTnya. Begitu pun bila budaya ini terjadi pada anak-anak, maka orangtua yang harus bertanggungjawab menyiapkan tradisi HUT anaknya. 

Selain persoalan wajib menanggung beban untuk mentraktir teman-temannya, seseorang yang merayakan HUT juga wajib rela dikerjai. Seperti disiram tepung, diguyur air comberan, sampai dilempar telur, bahkan biasanya telur busuk. Diikat ditiang, dan segala penyiksaan ala kolonialisme lainnya. 

Sebetulnya sangat menyebalkan, namun si peraya HUT selalu dipaksa buat senang dan menerima kalau itu sebagai  tanda teman/keluarga/rekan sayang dan perhatian. Sebetulnya di mana senangnya? Malah dikerjai dulu. Ada yang pura-pura dimarahin bos, diputusin pacar, dll. 

Pokoknya prank dulu sampai sedih, nangis, dan kebingungan. Baru kue datang setelahnya.  Ironisnya, demi perayaan HUT, dengan maksud memberikan kejutan, malah ada yang sampai nyawa melayang, hingga si peraya HUT usianya benar-benar hanya sampai di hari HUT itu, karena becanda yang kelewatan, tanpa dipikirkan kondisi si peraya HUT dan kira-kira apa akibatnya.

Lain cerita kalau yang merayakan HUT orang kaya/OKB, artis, dan selebritis. HUT malah jadi gaya hidup dan sok pamer kekayaan. Malah? ada HUT anak balita saja, hadiahnya mobil miliaran rupiah dll.

Itu adalah tradisi dan budaya perayaan HUT sebagian besar masyarakat kita, Indonesia. 

HUT di luar negeri

Berbeda dengan tradisi dan Budaya HUT di +62, di luar negeri si peraya HUT justru biasanya akan selalu dapat kejutan tak terduga yang super membahagiakan. 

Saya kutip dari hipwee.com (27/2/2019), budaya HUT di Amerika, Eropa, bahkan Jepang, kue adalah elemen kejutan utama buat orang yang berulang tahun. Kadang mereka dapat pesta kejutan. 

Pesta bahkan sangat tertata, dipersiapkan, dan dibiayai oleh kawan-kawannya. Begitulah seterusnya, tradisi dan budaya itu saling dipikul bersama secara bergiliran, sehingga siapa pun yang merayakan HUT benar-benar bahagia seutuhnya. 

Kembali mengingat tradisi HUT di kita, rasanya sedih dan iri hati kalau ingat masa kecil atau lihat orang luar negeri. Ketika ultah, orang di sekitarnya berusaha menjadiakan dia orang paling bahagia di dunia. 

Kesedihan lainnya, bila seseorang merayakan HUT, ternyata orang-orang disekililingnya, baik keluarga, sahabat, teman, rekan organisasi/grup/kantor, ternyata lupa HUT kita. 

Rasanya, tega sekali ya, kok mereka sampai lupa/tak ingat HUT saya. Padahal selama ini, saya juga selalu ingat HUT setiap dari mereka. Namun, selain sedih, kondisi ini malah menjadikan diri kita tak terbebani harus mentraktir mereka, dan kita tidak harus berteriak, hey! Hari ini aku HUT, lho! Sebab, budaya HUT yang membikin kita jadi tertekan, malah membuat kita jadi nyaman bila tanggal HUT kita tidak diingat oleh "mereka". 

Bahkan, sejak hadirnya medsos, kini bila seseorang merayakan HUT, biasanya sebelum ada tuntutan untuk adanya perayaan dan traktiran, maka bila salah satu anggota grup yang kebetulan ingat tanggal HUT seseorang, akan menjadi pemula dalam ucapan HUT. 

Berikutnya, anggota grup yang lain, akan langsung ikutan mengucapkan selamat HUT disertai dengan doa.

Namun, tahukah kalian? Apakah kalian yakin, bahwa semua anggota grup benar-benar ingat tanggal HUT kita dan benar-benar tulus ucapan HUTnya untuk kita. Masih dapat meragukan untuk kita. 

Tradisi HUT baru?

Di luar dari persoalan itu semua, rasanya memang perlu lahir tradisi baru, perayaan HUT di Indonesia seperti di Amerika, Eropa, dan Jepang, yaitu benar-benar membuat si peraya HUT bahagia, bukan tertekan, dibuat sulit, bawa perasaan (baper) karena tanggal HUT tak diingat/dilupakan. 

Atau biasakan merayakan HUT seperti zaman nenek moyang kita, cukup dengan mendoakan agar si peraya HUT sehat, berkah, dan sukses untuk menjalani sisa hidupnya. Biasanya juga ada sekadar potong tumpeng yang mencerminkan budaya nenek moyang. 

Seperti sekarang, saat wabah corona datang, perayaan HUT pun hanya berupa ucapan dan kiriman doa, tidak membuat si peraya HUT harus tertekan dan kerepotan.

Jadi hikmah ada corona, kembali mengingatkan bahwa HUT itu, terpenting adalah doa.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler