Kelaparan Warga di Tengah Pandemi Covid-19, Sebuah Ujian Kepemimpinan
Kamis, 30 April 2020 08:42 WIB
Alin FM
Praktisi Multimedia dan Penulis
Sebuah video viral tentang kakak-beradik di Muara Enim, Sumatera Selatan. Sepasang anak keterbelakangan mental itu menderita kelaparan, karena sudah tidak makan selama 2 hari. Kondisi mereka baru terungkap ketika anggota TNI dan polri memberikan bantuan kepada warga terdampak Covid-19
Cerita pilu lainnya datang dari satu keluarga di Serang, Banten yang terpaksa mengonsumsi air galon selama dua hari dan mengonsumsi singkong karena tak kuasa lagi menahan lapar. Selama dua hari itu, keluarga Yulie hanya mengisi perutnya dengan air galon. Bahkan sebelum itu terjadi, kerap menahan lapar dengan merebus singkong yang ditanam di sekitar rumahnya. Meski singkong itu masih berukuran kecil dan belum layak konsumsi. Akhirnya Yulie Nuramelia meninggal.
Bahkan ada yang nekat mencuri beras, sekedar untuk bisa makan di tengah pandemi Covid-19. Aksi tersebut belum lama dilakukan warga Kelurahan Sari Rejo Medan, Kecamatan Medan Polonia, Medan. Saat diamankan, kepada polisi, pria berumur 40 tahun itu mengaku, lantaran tak ada lagi bahan makanan di rumahnya yang bisa dimakan.
Mereka tak punya banyak pilihan. Di tengah wabah pandemi Covid-19 saat ini, keluar atau diam di rumah sama-sama bisa berpotensi menyebabkan kematian. Mati karena Covid-19 atau mati kelaparan.
Fakta demikian memang banyak ditemukan di lapangan. Keputus-asa-an masyarakat miskin menghilangkan logika. Bagi mereka, urusan perut dan makan anak dan istri seperti berharga dibandingkan nyawa. Bahkan banyak para pekerja lepas harian yang sudah tak bekerja saat kebijakan physical distancing didengungkan.
Ratusan ribu buruh pun terseret gelombang pemecatan akibat lesunya industri di masa pandemi Covid-19. Angkanya berpotensi melonjak hingga jutaan, menambah banyak penganggur baru akibat terbatasnya lapangan kerja. Program penyelamatan pemerintah bagi kaum buruh terbentur soal ketersediaan data.
Ketua Harian Gugus Tugas Covid-19 Kota Bandung, Ema Sumarna menyatakan, Pemkot Bandung masih belum menyalurkan bantuan bagi warga miskin baru yang kondisi ekonominya terdampak pandemi Covid-19 dan tidak masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Pemkot Bandung menunggu kepastian data dari Pemerintah Provinsi Jabar.(galamedianews.com, 29/04/2020)
Selain data yang berantakan, program tidak bisa menyasar pekerja yang sebelum wabah Covid-19 masuk kelas menengah yang mungkin kini turun kelas menjadi miskin.
Berbagai stimulus dan subsidi yang digagas pemerintah dirasa kurang tepat dengan jaring pengaman sosial. Sebab selain banyak syarat juga hanya menjangkau beberapa golongan masyarakat saja. Sementara yang dibutuhkan rakyat hari ini bukan bantuan melalui aplikasi pencarian kerja atau pelatihan pra kerja, namun benar-benar berupa kebutuhan pokok. Keadaan ekonomi rakyat sedang terpuruk dari yang sebelumnya sudah buruk.
Fakta di lapangan menunjukkan potensi rakyat menengah bawah merasakan lapar dan kesulitan untuk bertahan hidup. Kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) makin membuat rakyat mati kutu, tak keluar rumah tak makan. Akhirnya kebijakan yang dipraktikkan bukan menyelesaikan persoalan, namun justru tumpang tindih bak lingkaran setan.
Pentingnya pemimpin dalam menghadapi pandemi mengingatkan kita Kisah Khalifah Umar bin Khattab dan Ibu Pemasak Batu. Khalifah Umar merasa bersalah lantaran telah membiarkan seorang ibu dan anaknya kelaparan. Ketika itu Daulah khilafah Islam tengah dilanda paceklik. Musim kemarau berjalan cukup panjang, membuat tanah-tanah di sana tandus.
Khalifah Umar bin Khattab kala itu tengah memimpin umat Islam menjalani tahun yang disebut Tahun Abu. Suatu malam, Khalifah Umar mengajak seorang sahabat bernama Aslam untuk mengunjungi kampung terpencil di sekitar Madinah.
Langkah Khalifah Umar terhenti di dekat sebuah tenda lusuh. Suara tangis seorang gadis kecil mengusik perhatiannya. Khalifah Umar lantas mengajak Aslam mendekati tenda itu dan memastikan apakah penghuninya butuh bantuan.
Setelah mendekat, Khalifah Umar mendapati seorang wanita dewasa tengah duduk di depan perapian. Wanita itu terlihat mengaduk-aduk bejana.
Setelah mengucapkan salam, Khalifah Umar meminta izin untuk mendekat. Usai diperbolehkan oleh wanita itu, Khalifah Umar duduk mendekat dan mulai bertanya tentang apa yang terjadi. Kenapa masak tak kunjung matang. Khalifah Umar dan Aslam segera melihat isi bejana tersebut. Seketika mereka kaget melihat isi bejana itu. Ternyata dimasak adalah batu.
Ibu itu memasak batu-batu ini untuk menghibur anaknya. Lalu ibu itu berkata "Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum."
Wanita itu tidak tahu yang ada di hadapannya adalah Khalifah Umar bin Khattab. Aslam sempat hendak menegur wanita itu. Tetapi, Khalifah Umar mencegahnya. Khalifah lantas menitikkan air mata dan segera bangkit dari tempat duduknya.
Segeralah diajaknya Aslam pergi cepat-cepat kembali ke Madinah. Sesampai di Madinah, Khalifah langsung pergi ke Baitul Mal dan mengambil sekarung gandum.
Tanpa mempedulikan rasa lelah, Khalifah Umar mengangkat sendiri karung gandum tersebut di punggungnya. Aslam segera mencegah. Tapi Khalifah segera menepis bantuannya. Sembari terseok-seok, Khalifah Umar mengangkat karung itu dan diantarkan ke tenda tempat tinggal wanita itu.
Sesampai di sana, Khalifah Umar menyuruh Aslam membantunya menyiapkan makanan. Khalifah sendiri memasak makanan yang akan disantap oleh wanita itu dan anak-anaknya.
Khalifah Umar segera mengajak keluarga miskin tersebut makan setelah masakannya matang. Melihat mereka bisa makan, hati Khalifah Umar terasa tenang.
Makanan habis dan Khalifah Umar berpamitan. Dia juga meminta wanita tersebut menemui Khalifah keesokan harinya dan memberikan uang kepada ibu tersebut.
Rindunya seorang pemimpin seperti Khalifah Umar di tengah wabah menjadi pandemi global dengan kacamata ketakwaan. Pemimpin yang langsung mengulurkan tangan demi mencegah rakyat jatuh tersungkur kelaparan dan kehabisan napas. Merindukan pemerintah yang mencintai hukum-hukum Allah. Mencintai Rakyat dan dicintai Rakyat. Rindu hadirnya Khalifah yang menyelesaikan urusan rakyat dengan tulus dan ikhlas. Kapan kah pemimpin itu hadir ditengah gelombang ujian manusia?.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya.” ( Bukhari Muslim).
Artinya, dosa akan menimpa pemimpin ketika tampuk kepemimpinan ada di pundak mereka tapi mereka lalai. kelalaian ini berupa gagalnya pemimpin menciptakan kesejahteraan bahkan membiarkan rakyatnya yang mati kelaparan.
Seandainya negeri ini meletakkan aturan dengan cara lock down seperti China, tentu persoalan penanganan pandemi Covid tak memunculkan persoalan yang lebih kompleks. Inilah kapitalisme, sistem hidup yang diambil dari pondasi lemah, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Masihkah kita mau mempertahankan sistem yang seperti ini?
Kita hanya bisa bermunajat kepada Sang Maha Perkasa, Allah SWT agar wabah pandemi Covid 19 cepat selesai. Meminta kepada Allah SWT Sang Pencipta Covid-19 menghentikan laju pergerakannya. Semoga Pandemi segera berakhir. Hanya bersandar kepada Allah SWT Sang Pencipta Corona agar Corona tidak menjangkiti manusia. Dan kita bisa hidup tanpa Corona.
Wallahu a' lam bish showab.
Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Masjid Sejatinya Milik Allah SWT
Jumat, 31 Maret 2023 13:54 WIBIbu Sang Santan kehidupan
Rabu, 15 Desember 2021 12:56 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler