x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Senin, 4 Mei 2020 06:55 WIB

Jurnal Predator sebagai Jalan Pintas Publikasi Ilmiah

Kini makin banyak jurnal predator sebagai jalan pintas publikasi ilmiah. Jurnal predator ini sengaja dibuat atas nama publikasi ilmiah untuk mencari uang. Kenapa namyak akademisi mengirim karya ke sana?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siapapun yang merasa ilmuwan atau akademisi, publikasi ilmiah pasti dianggap suatu yang penting. Tapi sayang, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya terjebak pada jurnal predator, yakni jurnal yang sengaja dibuat atas nama publikasi ilmiah untuk mencari uang.

Praktiknya sederhana, menerima sebanyak mungkin artikel tanpa menyaring kualitas penelitian. Jurnal predator, saya menyebutnya pasar gelap publikasi ilmiah.

Mungkin, akibat tingkat kebutuhan yang tinggi di kalangan akademisi, entah untuk kepangatan atau tunjangan. Atau apalah. Intinya banyak akademisi yang begitu bernafsu untuk mempublikasikan ‘seolah-olah” hasil riset mereka di jurnal-jurnal internasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apalagi bagi akademisi “penghamba” Scopus, yang begitu bangga sudah punya ID Scopus. Sementara hari-harinya, kerjanya ngobrol tanpa mau membaca tanpa mau menulis. Saya hanya bertanya: Kok Anda bisa punya Scopus dan ter-jurnal? Anda hebat dan luar biasa, selamat untuk itu semua.

Jurnal predator bisa jadi jalan pintas karena adanya tuntutan publikasi ke jurnal nasional terakreditasi ataupun jurnal internasional. Jurnal predator pasti bisa memuat artikel ilmiah dengan cepat. Asal cocok biayanya. Apalagi bila urunan, kan tidak terlalu besar pula.

Kenapa di jurnal predator? Karena di jurnal internasional bergengsi sudah pasti sulit bisa ditembus. Selain sudah ter-akreditasi, jurnal bergengsi pasti punya standar yang tinggi dan antrean-nya pun lama. Karena memang jurnal bergengsi dikenal untuk artikel-artikel ilmiah yang ditelaah pakar seilmu (peer- reviewed) yang sangat ketat.

Karena itulah, jurnal predator jadi alternatif atau jalan pintas yang menggiurkan. Karena itu harus dipahami, jurnal predator itu bisnis. Bolehlah disebut “kewira-usahaan” yang mengeksploitasi publikasi ilmiah. Apalagi yang bentuknya OAJ (Open Acces Journal), sangat mudah karena daring sistemnya. Tapi intinya, mereka bertekad meraup uang sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas artikel yang dipublikasi.

Ini kisah nyata untuk mengecek adanya jurnal predator. Sorokowski dkk pernah membuat seorang tokoh fiktif yang melamar kerja di 360 jurnal ilmiah untuk posisi editor. Curriculum vitae tokoh ini sengaja dibuat tidak layak untuk melamar sebagai editor jurnal ilmiah, misalnya: 1) tidak memiliki publikasi ilmiah yang terindeks, 2) tidak ada pengalaman bekerja di jurnal ilmiah, 3) karya-karya yang dicantumkan semuanya palsu dan tidak dapat ditemukan di mesin pencari. Apa hasilnya?

Hasilnya, 40 jurnal yang terdaftar pada daftar hitam Jeffrey Beall menunjuk tokoh ini menjadi editor. Respon umumnya cepat, dalam hitungan hari hingga jam. Bahkan ada 4 yang menunjuk langsung menjadi editor-in-chief  tanpa proses wawancara. Itulah “predator”.

Lalu, apa masalahnya dengan jurnal predator?

Tentu tidak ada masalah bagi yang tidak menggemarinya. Saya pun bukan termasuk “penghamba” Scopus. Saya hanya menulis dan meneliti saat mampu, selebihnya tidak peduli mau dipublikasi di mana. Tapi prinsip yang saya pegang, saya tidak mau ikut pada permainan kotor atas nama ilmiah. Tidak mau jadi predator. Karena di jurnal predator, sangat jelas, akademisi dimangsa kapitalis.

Tapi bila ditelisik, dampak negatif dari adanya atau publikasi di jurnal predator adalah 1) mengancam kualitas publikasi ilmiah, 2) jadi lahan empuk plagiarisme – jiplakan 3) menguras kocek karena biaya publikasi yang mahal, 4) menjadi jalan pintas yang tidak bertanggung jawab, 5) karya tidak dipilih berdasar kualitas hanya mementingkan kuantitas, dan 6) membentuk reputasi buruk pada akademisinya dan kampusnya.

Jurnal predator itu ada banyak dan di mana saja ada. Bahkan dekat dengan akademisi, dekat dengan para dosen. Ini realitas. Sekalipun tidak ada kriteria baku jurnal predator, tapi cara kerjanya bisa dilihat dan dirasakan.

Beberapa ciri jurnal predator bisa dicek, misalnya durasi penyuntingan artikel yang sangat cepat. Konferensi-nya baru kemarin dan tiba-tiba sebulan kemudian sudah tayang artikelnya ter-indeks katanya. Pasti ada ada biayannya, bila perlu bisa pilih judul artikelnya.  Selalu ada banyak klaim palsu di jurnal predator seperti impact factor palsu, editorial board yang namanya dicatut tanpa izin dari individu bersangkutan, serta nomor international standar serial number jurnal palsu dan sebagainya.

Jadi, hindari jurnal predator.  Jangan sampai akademisi terjebak pada nafsu publikasi ilmiah ter-indek Scopus dan sebagainya. Tapi harus mengorbankan integritas keilmuan dan sikap ilmiah yang selama ini katanya dijunjung tinggi. Jangan sampai apa yang diomong berbeda dengan apa yang dilakukan. Rileks saja dalam publikasi ilmiah. Karena semua ada prosesnya ada mekanismenya.

Saya kadang bertanya kepada diri sendiri. Memang saya sehebat apa sih terus bisa cepat-cepat segalanya? Walau saya sendiri sudah 25 tahun lebih mengajar. Di jurnal internasional, saya hanya ikhtiar. Bila bisa lolos syukur bila tidak pun rileks saja. Asalkan saya tetap mau membaca, menulis dan menulis terus.

Insya Allah, bila waktunya tiba pasti tayang. Jangan jadikan jurnal predator sebagai jalan pintas, itu sudah cukup… #JurnalPredator #SikapIlmiah

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler