x

Mbah Minto. Instagram/@ucup_jbsklaten

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 8 Mei 2020 07:09 WIB

Viral Mbah Minto, Tak Sekedar "Aku Populer, Maka Aku Ada"

Popularitas menjadi soal pelik manakala manusia era media sosial menjadikannya perkara eksistensial layaknya Rene Descartes yang berujar, "Aku berpikir, maka aku ada." Dalam konteks popularitas, ujaran itu bisa diadopsi menjadi "Aku populer, maka aku ada." Dan untuk mencapai tujuan eksistensial ini, manusia era medsos sanggup melakukan apapun, dari yang kretif nan jenaka seperti viralnya mbah Minto, hingga yang tak bermutu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Popularitas atau ketenaran atau viralitas di masa kini merupakan persoalan eksistensial yang sangat penting bagi sebagian manusia. Bahkan, agar ia eksis sebagai manusia, dalam pengertian diakui sebagai 'seseorang' oleh khalayak, sebagian orang sanggup melakukan apa saja. Tanpa pengakuan khalayak, sebagian orang merasa dirinya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa.

Makin jelas bahwa popularitas dan pengakuan menjadi persoalan eksistensial yang bisa sangat mengganggu tidur seseorang. Siang malam tidurnya tidak nyenyak memikirkan mau ikut filsafat eksistensialnya Sartre atau Nietzsche. Media sosial pun ditengok dan dianggap ampuh untuk mendongkrak popularitas sebagai upaya menegakkan eksistensi diri: "Ini lho aku!" Bahkan, sebagian orang sudah menambahkan pernyataan eksistensialnya dengan berkata: "Emangnya siapa loe!" sebagai ungkapan menyerang eksistensi orang lain.

Kata viral menjadi mantra ampuh yang menandai melejitnya popularitas seseorang dalam waktu sesaat. Tiba-tiba saja, Ucup dari Klaten dan mbah Minto menjadi bintang baru yang menghiasi gadget, antara lain dengan kontennya yang mengundang gelak di tengah kepengapan orang dicekam Corona. Percakapan pendek mbah Minto di desa dan cucunya yang tinggal di perantuan menjadi katup pereda ketegangan. Buahnya: popularitas. Banyak yang memuji percakapan kedua figur populer baru itu sebagai ringkas dan kreatif. Obrolan mereka tidak aneh-aneh, bisa dinikmati sembari memasak takjil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, banyak orang yang berusaha meraih popularitas dengan membuat konten apapun yang tidak perlu berpikir cerdas, melainkan asal nyleneh. Contohnya: bikin konten youtube bingkisan berisi sampah sayuran dan batu untuk transpuan di Bandung. Maunya nge-prank, tapi kehilangan kemanusiaannya. Bumerang bekerja secara otomatis dan memukul balik orang-orang yang malas berpikir kreatif tapi ingin populer ini. Pembuat konten di youtube ini kemudian memang populer, tapi dalam konotasi negatif.

Di masa pandemi seperti sekarang, ketika kerja kreatif menghadapi tantangan baru, sebagian pekerja kreatif juga mencari cara agar tetap diingat oleh masyarakat, setidaknya para penggemarnya dan follower-nya. Sebagian berhasil menjaga ketenaran, setidaknya ia diingat publik dengan menjalin koneksi dan komunikasi melalui konser dari rumah dan ditonton khalayak melalui live streaming di internet.

Sebagian lainnya mencari-cari cara agar tetap diliput media dan dibicarakan publik, misalnya cerita tentang potong rambut di rumah, belajar masak, atau pergi jalan-jalan ketika banyak orang tinggal di rumah. Repotnya pula, banyak orang mau-maunya mengikuti dongeng mereka. Memang, tidak ada popularitas tanpa massa.

Popularitas menjadi soal yang pelik manakala manusia era media sosial menjadikannya perkara eksistensial layaknya Rene Descartes yang berujar, "Cogito ergo sum," "Aku berpikir, maka aku ada." Dalam konteks popularitas, ujaran itu bisa diadopsi menjadi "Aku populer, maka aku ada." Dan untuk mencapai tujuan eksistensial ini, manusia era media sosial sanggup melakukan apapun. Beda dengan Mbah Minto yang sederhana dan Pak Ndul yang ujarannya penuh filosofi itu. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler