x

Corona

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 19 Mei 2020 06:40 WIB

Cara Unik Swedia Menanggulangi Wabah Covid-19

Menurut Pemerintah Swedia, kebijakan penutupan perbatasan, lockdown, meliburkan sekolah, dan social distancing yang ketat sebenarnya tidak memiliki bukti atau argumentasi ilmiah yang kuat bahwa akan efektif mencegah penyebaran wabah. Swedia memutuskan tidak melakukan apa-apa, dan tingkat mortalkitas lebih rendah dari Prancis, Italia, dan Inggris.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Swedia, negara Skandinavia yang berpenduduk 10,24 juta jiwa (data 2019), termasuk negara yang menerapkan cara unik dalam menanggulangi wabah Ccovid-19. Pakar Epidemi Negara Swedia, Anders Tegnell, pada April 2020 menegaskan "We would have done nothing and let coronavirus run rampant (kami tidak akan melakukan apapun, dan akan membiarkan virus corona merajalela). Karena itu, tidak ada pemberlakuan total lockdown dan social distancing juga sangat longgar.
 
Jika diringkas dan dibandingkan dengan pola penanganan di negara-negara lain, ada dua kebijakan utama Swedia yang berbeda dengan negara lain: not shutting down schools (tidak ada peliburan sekolah); and not having regulations forcing people to remain in their homes (tidak ada paksaan agar warga melakukan stay at home atau di rumah saja). Semua orang bebas berkeliaran. Dan tentu saja kebijakan itu harus dibayar mahal.
 
Sebagai catatan, kasus pertama Covid-19 di Swedia terdeteksi pada 31 Januari 2020. Dan sejauh ini, angka kasus di Swedia memang relatif paling tinggi dibanding negara-negara Skandinavia lainnya
 
Ssampai 18 Mei 2020, jumlah kasus Covid-19 di Swedia (30.377) tiga kali lipat dibanding Denmark (10.968). Kasus meninggal dunia di Swedia (3.698) bahkan hampir tujuh kali lipat dibanding kasus meninggal dunia di Denmark (548). Namun jika disandingkan dengan Italia, Perancis dan Inggris, tingkat mortalitas di Swedia relatif masih rendah.
 
Tapi, angka-angka itu tidak/belum mampu membuat pemerintah Swedia mengubah kebijakannya. Sebab menurut Johan Giesecke, pakar epidemi yang menjadi penasehat Pemerintah Swedia, jika nantinya dihitung selama periode satu tahun (Februari 2020 hingga 31 Januari 2021), jumlah kasus meninggal dunia di Swedia (diperkirakan) tidak akan jauh beda dengan jumlah kasus meninggal dunia di Denmark, Norwegia, Finlandia dan Norwegia.
 
Nah, jika jumlah kasus meninggal dunia nantinya tidak akan jauh beda, maka Swedia akan diuntungkan dalam dua hal: ekonominya relatif tidak tersendat, dan jumlah orang yang mengalami sakit mental akan lebih sedikit, jika dibanding negara-negara lain yang justru berlomba menerapkan lockdown, baik total ataupun terbatas.
 
Bahkan Johan Giesecke menegaskan, Swedia mungkin akan mencapai periode herd immunity pada Juni 2020 (ketika sekitar 40 sampai 60 persen pernduduk terinfeksi Covid-19).
 
Cuma, terkait dengan teori herd immunity, Swedia enggan disebut berjudi dengan teori herd immunity, yang secara teoritis mengasumsikan wabah akan menjangkiti sekitar 40 sampai 60 persen penduduk (atau sekitar 4 - 6 juta penduduk Swedia), yang kemudian membentuk semacam komunitas imun, yang berfungsi menjadi pelindung bagi warga lainnya (sekitar 4 juta jiwa) yang belum terjangkit.
 
Selanjutnya: Lockdown dan sosial distancing tak ada dasar ilmiah

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler