x

Salah satu upaya penyelematan dari paparan virus Corona dengan memakai masker

Iklan

MUHAMMAD DHIYA ULHAQ

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Mei 2020

Kamis, 21 Mei 2020 06:48 WIB

Antisipasi Terhadap Covid-19, Ibarat Berlari dari Masjid Karena Dikejar Singa

Beberapa bulan belakangan, pro-kontra terkait justifikasi pelaksanaan salat berjemaah di masa pandemi terus terjadi,terutama dapat ditelisik di media elektronik dan sosial. Bagi sebaik penganut agama Islam, salat berjemaah di mesjid dalam masa pandemi COVID-19 dianggap sebagai pembuktian akan tinggi dan konsistennya level keimanan mereka. Untuk itu, tulisan ini bertujuan memutuskan kesimpangsiuran ini dalam konteks ilmu tentang hukum Islam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Merebaknya kasus virus Corona (COVID-19) yang diduga berasal dari Wuhan, RRT berlanjut pada pandemi yang tersebar ke seluruh dunia sejak bulan Januari 2020. Menurut WHO, COVID-19 merupakan salah satu dari tiga jenis Coronavirus yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan, mulai dari flu biasa hingga penyakit parah berujung kematian.

Selain COVID-19, dua turunan dari Coronavirus lain yang membahayakan manusia ialah pandemi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2002 dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) tahun 2012.

Lebih lanjut, Virus COVID-19 menyerang saluran pernapasan dan sering kali menimbulkan gejala yang hampir sama seperti pneumonia, di antaranya sesak napas, batuk, dan demam dengan masa inkubasi selama 14 hari. COVID-19 ini dapat ditularkan melalui percikan air liur (droplet) yang memasuki mulut atau hidung dan paparan benda mati di mana virus ini bertahan. Hingga saat ini, belum terdapat vaksin dari COVID-19.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menarik ke belakang, masuknya kasus Covid-19 ke Indonesia pertama kali dilaporkan oleh pemerintah pada tanggal 2 Maret 2020. Pada saat itu, seorang ibu dan anak positif tertular dari warga negara Jepang yang berkunjung ke Indonesia. Semenjak saat itu pemerintah terus melakukan himbauan terhadap setiap warga negara untuk melakukan physical distancing walau angka pasien yang terinfeksi virus ini terus melonjak tajam.

Dalam lingkup sosial, terdapat problem kesimpangsiuran antara pelarangan dan tindakan memperbolehkan salat berjamaah di segenap tempat ibadah, termasuk mesjid milik masyarakat muslim di Indonesia. Beberapa bulan belakangan, pro-kontra terkait justifikasi pelaksanaan salat berjamaah di masa pandemi terus terjadi, terutama dapat ditelisik di media elektronik dan sosial.

Bagi sebagian penganut agama Islam, salat berjamaah di masjid dalam masa pandemi Covid-19 dianggap sebagai pembuktian akan tinggi dan konsistennya level keimanan mereka. Walaupun mayoritas ulama di Indonesia (termasuk MUI) bersepakat bahwa salat di rumah merupakan cara paling efektif dalam menjauhkan diri dari segala mara bahaya musabab virus ini, namun amaran ini sering kali tidak diindahkan masyarakat.

Dalam tinjauan fikih atau ilmu tentang hukum Islam, salah satu ulama kondang di Indonesia yaitu Ustadz Abdul Somad memandang bahwa keutamaan salat berjamaah di masjid dalam masa pandemi disebut gugur melalui sebuah hadis sahih.

“Mengutip hadis, bila kamu mendengar ada suatu wabah di suatu negeri atau daerah, maka janganlah kamu datang ke negeri atau daerah itu. Juga, jikalau wabah itu menghampiri sedangkan kamu berada di dalam negeri itu, maka jangan pula kamu keluar dari negeri itu semata hanya untuk melarikan diri”. kata ulama pemilik gelar doktor dari Omdurman Islamic University Sudan itu.

Ia kemudian menganalogikan Covid-19 sebagai singa yang mengejar manusia. “Dalam hadis lain disebutkan bahwa larilah engkau dari orang yang terkena penyakit menular seperti engkau lari dari singa. Jadi secara fiqih sederhana saja, jauhi tempat kerumunan termasuk masjid, inilah aturan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad sejak 14 abad yang lalu dan hal tersebut dilaksanakan di seluruh negara Islam, termasuk halnya di Maroko dan Mesir dengan sistem pendidikan agama Islam terbaik”.

Ia juga memaparkan sejarah kasus wabah di Kota Madinah dan Mesir yang terjadi pada tahun 1392M serta kemudian membandingkannya dengan kasus pandemi Covid-19 dewasa ini. “Pada zaman dahulu sekeliling Kota Madinah dikelilingi tembok dan pintu gerbang. Jika terjadi suatu wabah di negeri itu, orang yang berada di dalam tembok itu tidak boleh keluar dan orang dari luar tidak boleh datang ke dalam”.

Kemudian dijelaskan bahwa tindakan berkumpul secara berjamaah di masjid pada saat wabah mendatangi Mesir pada abad 14M merupakan suatu kesalahan. Sejarah mencatat bahwa ketika wabah penyakit kulit tersebut datang, penduduk Mesir yang berjumlah 20 juta kemudian terjun drastis sebanyak 17,5 juta penduduk meninggal dunia hingga menyisakan 2,5 juta penduduk.

Setelah ditelisik, kematian masal akibat wabah ini dilatarbelakangi oleh aksi berkumpul bersama dan beribadah dalam rangka menolak bala serta mengharapkan hilangnya wabah penyakit kulit pada masa itu. Namun kenyataannya, wabah semakin menyebar dengan dilaksanakannya kegiatan berkumpul secara beramai-ramai tersebut. Tindakan semacam ini nyatanya tidak sesuai dengan anjuran Nabi Muhammad dalam kaitan kepercayaan umat Islam.

Berlanjut pada problematik pandemi Covid-19 saat ini, kompleksitas yang muncul jauh meningkat dan multi-faktor jika dibandingkan dengan wabah masa lampau. Ulama asal Kota Pekanbaru ini menyebut bahwa COVID-19 tidak kasat mata seperti halnya wabah penyakit kulit.

“Saat ini scoop-nya lebih meluas lagi, tidak hanya di suatu kampung tapi di seluruh dunia terkena pandemi, dan virus ini secara spesifik masuk ke dalam gedung-gedung termasuk masjid. Terlebih lagi, hingga kini belum ada teknologi modern praktis yang dapat mengetahui bangunan atau masjid serta manusia mana yang terpapar virus. Maka dari itu, tidak ada solusi lain kecuali kita tetap berada di rumah masing-masing karena anggapannya rumah masing-masinglah yang terjamin steril”.

Dapat disimpulkan bahwa dalam konteks fikih atau ilmu tentang Islam, anjuran untuk tidak salat berjamaah di masjid pada saat pandemi telah meraih konsensus antar alim ulama Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Ustaz Abdul Somad kemudian menyarankan agak perdebatan elementer dapat dihentikan dan opsi ritual ibadah di rumah segera ditempuh.

“Para pengurus masjid diharapkan tidak hanya sampai pada level menutup masjid tetapi juga kemudian merancang tutorial pelaksanaan ibadah di rumah melalui instrumen elektronik audio-visual dan dibagikan secara daring ke masyarakat muslim di seluruh Indonesia. Untuk segenap pengurus masjid, mari rancang tutorial pelaksanaan ibadah mulai dari tata laksana tarawih di rumah, witir, tadarus, salat Zuhur pengganti Jumat, sampai salat tutorial Idul Fitri di rumah yang disertai dali-dalil fikih untuk mencerdaskan umat” tutur dia.

Ikuti tulisan menarik MUHAMMAD DHIYA ULHAQ lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler