x

Iklan

Muhammad Radhi Mafazi

Penulis Bebas
Bergabung Sejak: 15 Januari 2020

Kamis, 21 Mei 2020 09:31 WIB

Pesan Terakhir Ramadhan 1441 H untuk Rasa Kemanusiaan

Ramadhan 1441 H, akan segera meninggalkan manusia. Selayaknya seorang bijak bestari, Ramadhan kali ini ingin mengajarkan sesuatu pada manusia. Tidak lepas dari beratnya Ramadhan kali ini yang jauh dari kata gembira secara kultural. Inilah visualisasi pesan terakhi dari Ramadhan 1441 H kepada manusia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Ketidakpastian masih menjadi momok bagi dunia pada hari ini, seolah sedang diliputi oleh kabut kecemasan yang begitu tebal. Kebingungan yang semakin hari tak kunjung reda, konsekuensi dari debat tanpa sebab akibat yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Beberapa kali harapan coba menyinari dunia yang sedang diliputi kegelapan, dengan temuan-temuan yang diklaim muktahir oleh empunya, ternyata hal itu mungkin dianggap congkak oleh sang khalik, hingga datangnya hanya semu semata, kembali lagi tertelan kabut huru hara umat manusia di dunia.

Seiring berjalannya waktu, hingga tak terasa bulan yang agung segera meninggalkan umat manusia. Penghambaan manusia pada Tuhan, yang nilainya masih disetarakan sendiri hanya sebatas pada materi, menambah beban mental pada dunia hari ini. Seolah angka, tidak lagi bisa dipercaya ke akuratannya, sebagian dari umat manusia memilih berpasrah dan mendamaikan diri dengan pandemi ini. Memaafkan keadaan adalah jalan satu-satunya, selanjutnya berubah mengikuti. Tetapi itu tidak mudah, semua perlu proses perubahan.

Perubahan di segala lini kehidupan kini sudah dapat terlihat secara nyata, dari sudut pandang manapun, mulai yang bersifat positif seperti budaya gotong royong sedang naik daun, hingga sudut pandang negatif, seperti halnya kriminalitas yang semakin tumbuh subur. Menarik seolah setiap hari pada bulan Ramadhan kali ini benar-benar berat, seperti ingin memberikan pesan yang sarat dengan makna terhadap sisi kemanusiaan umat manusia yang sering diabaikan oleh dirinya sendiri, hingga banyak dari mereka yang terperosok dan menurunkan derajat kemanusiaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Layaknya seorang bijak bestari yang akan meninggalkan suatu tempat, penulis mencoba meramu pesan-pesan terakhir dari Ramadhan di tengah pandemi, dalam beberapa paragraf, dengan wujud visualisasi kata, semoga membuat kita  sadar.

Keterasingan dari Dunia

Manusia mempunyai sifat dasar sebagai makhluk sosial, sekalipun kita mendiagnosa diri ini sebagai orang dengan kepribadian Introvert. Manusia dengan kepribadian apapun, mempunyai cara tersendiri untuk bersosialisasi secara langsung dengan sesamanya. Budaya komunal bangsa ini sudah ada sejak dahulu, sehingga berkomunikasi secara langsung dan berkumpul menjadi suatu kebutuhan primer. Hal ini bisa dilihat dengan adanya pos ronda/cakruk di suatu perkampungan, terlebih lagi di era ini para milenial sering berkumpul di warung-warung hitz.

Berkerumun dan berbicara ngalor-ngidul, sudah menjadi darah daging dari budaya bangsa ini, bahkan gagasan kemerdekaan juga lahir dari obrolan para pemuda yang berkumpul. Pandemi yang semakin hari jumlah kasus  makin meningkat. Mau tidak mau ini menjadi titik balik perubahan budaya manusia, khususnya manusia Indonesia.

Perubahan menutut manusia untuk beradaptasi, banyak dari individu yang menderita berbagai gangguan mental karena tidak siap untuk beradaptasi, menurut  WHO yang dimuat  laman tempo.co  bahwa isolasi, ketakutan, ketidakpastian dan gejolak ekonomi, berpotensi menyebabkan tekanan psikologis.

Bahkan menurut data dari penelitian, mengenai prevelansi tekanan mental di tengah krisis setinggi 60% di Iran dan 40% di Amerika pada petugas medis, selain itu Laporan dari WHO di luar petugas medis banyak orang yang tertekan akibat dampak kesehatan dan konsekuensi dari isolasi. Seolah tidak mau menjadi terasing, keterasingan masih menjadi hantu yang menakutkan bagi manusia hingga mengakibatkan gejolak mental yang luarbiasa pada manusia.

Keterasingan terhadap dunia masih menjadi momok yang menakutkan bagi manusia di zaman milenial. Sadarlah, bahwa sebagian kita, sudah lama terasing dari dunia pada zaman ini, dimana segala aktifitas manusia pada zaman ini terfasilitasi dengan berbagai media sosial yang mempunyai beragam daya guna. Sifat ke aku-an yang begitu kental, dengan berbagi kegiatan yang kita anggap bahagia di khalayak umum, hingga tidak ada batasan privasi. Sifat ke aku-an sendiri merupakan konsep dari hidup memiliki, gagasan Erich Fromm dalam bukunya berjudul The Art of Living.    

Erich Fromm (2018) dalam bukunya The Art of Living, juga menjelaskan individu yang mengalami keterasingan akan mengalami kecemasan dan ketidak sadaran terhadap identitas dirinya, sikap individu semacam ini menggap dirinya tawanan dari dirinya sendri, yang terkunci dan tentu saja merasa ketakutan. Ini akibat dari sifat narsistik kita selama di media sosial, seolah diri kita sendiri menganggap diri ini adalah benda yang selalu diekspos. Agar bisa keluar dari keterasingan, mulai bentuk kesadaran diri dengan respon kreatif.

 Seolah ingin mengingatkan manusia agar berhenti mengeluh terhadap keterasingannya, inilah bunyi pesan pertama dari Ramadhan yang akan berakhir, pada sisi kemanusiaan kita,

“Manusia, sejak memasuki periode ini, engkau sudah memilih menjadi terasing. Sekarang berpura-pura sedih, agar segala bentuk ibadahmu bisa dilakukan di luar dengan berbagai kegiatan nan jauh dari keinginan Rabb mu, jangan takut untuk terasing dari kefanaan dunia ini”.

Mengingatkan Bagian yang Hilang

Pada dasarnya, manusia itu adalah baik, hal ini sempat diingatkan oleh User Experience Design, bernama Sulaiman Syahrod, para pengguna Instagram pasti tidak asing dengan dirinya, kontennya sempat menjadi viral dengan hastag #WeShouldAlwaysBeKind. Singkat cerita pada saat wawancaranya dengan salah satu stasiun radio swasta, berangkat dari nilai yang ditanamkan oleh ibunya  perihal “semua manusia pada dasarnya baik”  hingga suatu saat dirinya pernah tertipu dengan seseorang, lalu menanyakan nilai kehidupan yang ia yakini. Sampai akhirnya ia sadar bahwa rezeki bisa diganti, tetapi keyakinan mengenai pada fitrahnya manusia baik itu yang susah dikembalikan kepercayaannya.

Seolah kehilangan arah, beberapa manusia lupa cara memanusiakan dirinya sendiri, dan memanusiakan manusia lain di sekitarnya. Hingga pada akhirnya di bulan Ramadhan saat kasus Cvid-19, penyebab dari pandemi ini angka kasusnya semakin naik, lalu kejahatan semakin menggila, tetapi kebaikan yang dilakukan secara kolektif juga tak kunjung padam. Sadarkah kita, bahwa sifat dasar kita ini adalah penolong atau dalam bahasa sosial disebut Altruisme.

Altruisme, bukan hanya sekedar sifat tolong menolong terhadap sesama, perilaku ini sampai pada titik merasakan apa yang dirasakan orang lain, khususnya penderitaan. Bukan hal yang mudah menaruh empati terhadap orang lain. Tetapi setiap manusia mempunyai kemampuan ini, kadang mereka abaikan begitu saja, dalam keriuhan jalanan ketika ada seorang yang menderita ia memilih mengabaikan, padahal dalam hatinya ia ingin membantu, dan pasti ia merasakan juga.

Menurut Goleman (2018) keadaan tesebut adalah “kesurupan urban”, yaitu dalam keadaan riuh kita sering terserap ke dalam diri ini, hal ini kita lakukan sekedar untuk mempersiapkan diri melawan kelebihan stimulus dari keriuhan yang ada di sekitar kita. Pada dasarnya manusia merasakan penderitaan sesamanya, karena ini adalah sifat dasar manusia.

Kebaikan manusia akan terus selalu dikenang begitu juga kejahatan bahkan ketika rohnya telah terpisah dari jasadnya, seperti kata pepatah gajah mati meninggal gading, harimau mati meninggalkan belang. Namun inilah pesan kedua dari Ramadhan pada langkah perjalanan terakhirnya,

“Ada hal engakau lupakan, di tengah riuhnya dunia yang sedang kacau ini,  yaitu kebaikan dirimu sendiri. Itu yang mengangkat derajat mu daripada makhluk lainnya, adanya budi baik dari lubuk hati mu merupakan anugrah yang tidak dimiliki makhluk ciptaan-Nya yang lain”

Kemenangan yang Paripurnaan

Segala masalah kemanusiaan yang terjadi selama pandemi seolah tidak ada habisnya, dari mulai kejahatan yang semakin hari bertambah sadis, hingga surat bebas covid yang diperjual belikan. Seolah manusia pada hari ini tidak sadar, mereka sudah dikukung oleh wabah, tetapi tingkahnya malah semakin terjerumus dalam kafanaan dunia.

Tetapi ada yang menarik perihal kemanusiaan ini, ada beberapa manusia yang enggan menerima bantuan, bahkan akhir-akhir ini di grup medsos, ada pedagang sayur yang memberikan dagangannya kepada orang yang melintasi jalan tersebut. Hasil  tempaan dari Ramadhan bagi orang yang sadar, mulai terlihat. Kadang kita lupa, perlu penderitaan untuk menggapai kemenangan.

Ramadhan merupakan paket latihan menderita, yang dijadwalkan setiap setahun sekali, masa pelatihannya selama satu bulan, dirumuskan oleh para filsuf dari aliran stoa. Manampiring (2019) dalam bukunya yang berjudul Filosofi Teras, latihan menderita memiliki fungsi yaitu hedonic adaptation, menurut para ahli, apapun yang membuat kita senang pada akhirnya akan kehilangan kenikmatanya seiring dengan berjalannya waktu.

Tujuan dari latihan penderitaan yang terpenting adalah menyadari kenikmatan yang selama ini kita dapatkan. Bahkan menurut pendapat dari Irvine, dimuat dalam buku Filosofi Teras, bahwa  pelatihan yang rutin (setahun sekali menurut para filsuf stoa) dapat mengguncang base level diri sendiri, sehingga kita dapat menghargai apa yang telah dimiliki.

Sehingga, pada akhir bulan suci ini, kemenangan yang kita rasakan begitu nikmat. Sadar bahwa selama ini kita melupakan pemberian yang sering kita anggap remeh. Inilah pesan terakhir dari Ramadhan untuk kemanusiaan kali ini, sebagai penutup tulisan kali ini,

“Manusia, pelatihan dariku, kini hampir genap, tugasku kali ini agak mudah, tetapi tidak bagimu, keterbatasan gerak karena pandemi ini. Membuat harus di rumah, aku senang ketika sifat dasarmu sebagai seorang alturisme, kau sadari di bulan ini, berbagi dengan sesama, tidak perlu menunggu datangnya diriku di pertemuan berikutnya, kini akan kusudahi langkah kakiku. Kemenangan ini hanya bisa engkau nikmati pada hati yang sudah tertempa, tetap jadi manusia baik, inilah kemenangan paripurna untukmu”

 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Radhi Mafazi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler