x

kisah ramadan

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 21 Mei 2020 09:03 WIB

Tradisi Belanja Lebaran dan Melanggar PSBB

Meski dalam situasi pandemi corona dan adanya peraturan PSBB, masyarakat tak mau kehilangan momentum belanja Lebaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tradisi dan budaya yang baik, menjadi buruk bila melanggar peraturan. 

(Supartono JW.21052020

Meski dalam situasi pandemi corona dan adanya peraturan PSBB, masyarakat tak mau kehilangan momentum belanja Lebaran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ibadah Ramadan Tak Biasa kini sudah memasuki hari ke-28, di fase keistimewaan 10 hari terakhir (dijauhkan dari api neraka). 

Dalam pandemi corona dan dalam peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ternyata tradisi belanja Lebaran tak dapat dihentikan. Dalam seminggu terakhir, di sejumlah kota besar seolah sedang tak ada PSBB, masyarakat justru berbondong menggeruduk pasar tradisionil dan mal. 

Semua kepadatan dan berjubelnya pasar dan mal terus tersiar di berbagai media dan tersorot kamera televisi. Bahkan di grup-grup media sosial, juga berseliweran video-video tentang padatnya pasar dan mal yang dijejali oleh pengunjung, baik ibu-ibu, bapak-bapak, ibu dan bapak dan anaknya, hingga anak-anak muda. 

Semua bersatu berhimpitan di pasar dan mal secara normal. 

Mirisnya, meski dalam PSBB, mal tetap buka, karena ternyata mengantongi izin. Namun, hampir di semua manajemen mal terlihat mengabaikan protokol kesehatan yang menjadi syarat operasional PSBB. 

Sejatinya, bila pasar dan mal tetap buka dan mengabaikan prasyarat dan protokol kesehatan sesuai PSBB, namun masyatakat memiliki kesadaran dan mampu mengendalikan diri untuk tetap di rumah, maka pasar dan mal dipastikan akan tetap sepi pengunjung. 

Jadi, masalahnya sebenarnya ada pada masyarakat yang tetap tak rela Lebaran tanpa tradisi baju baru dan lainnya. Selain itu, juga ada hal mendasar yang masih sangat menonjol, yaitu kecerdasan intelegensi dan personaliti masyarakat yang masih rendah. 

Rendahnya kecerdasan intelegensi dan personaliti masyarakat ini, akhirnya menjadikan masyarakat tidak memahami dan mengabaikan  situasi dan kondisi di lapangan, yaitu pasar dan mal. 

Paradigma masyarakat, langgar PSBB

Disadari, pertama, masih banyak masyarakat yang tidak membaca dan memahami penjelasan para ahli tentang bahaya virus corona. Faktanya, jangankan berpikir untuk orang lain, untuk diri dan keluarganya juga abai. 

Berdesakan di pasar atau mal, bapaknya menggendong anak yang balita, semetara ibunya menggandeng anak yang lain, pun tanpa mengunakan masker. 

Kedua, di antara kerumunan dan berjubelnya masyarakat di pasar dan mal, yakin juga ada masyarakat yang sudah membaca, sudah menonton dan sudah mengetahui betapa bahayanya virus corona, namun karena mereka melihat masyarakat lain juga beraktivitas begitu bebas dan terlihat biasa-biasa saja, aman-aman saja, tidak ada masalah, maka masyarakat yang paham pun ikut berbaur, ikut meniru, dan ramai-ramai melanggar PSBB. 

Ketiga, Sangat dihafal oleh masyarakat Indonesia yang patuh, masyarakat yang masih abai ini, bukannya tidak tahu dan tidak memahami aturan PSBB dan betapa bahayanya virus corona, tetapi masyarakat golongan ini adalah masyarakat yang mengedepankan paradigma, "hidup dan mati, Allah yang mengatur". 

Untuk kelompok ini, terbukti hingga sekarang paling sulit untuk patuh, sulit diperingati, sulit dinasihati, apalagi kalau ditegur, semisal tidak pakai masker, maka akan berbalik marah dan tersinggung kepada si penegur baik itu petugas maupun masyarakat awam. 

Bahkan sudah tak terhitung, kelompok masyarakat seperti ini sampai tak berpikir panjang dan melakukan tindak kekerasan, seperti menendang hingga memukul karena tak terima ditegur.

Keempat, sangat menonjol juga adanya kelompok masyarakat yang masih belum rela dan belum mau melepas kebiasaan tradisi dan budaya menjelang Lebaran, yaitu berbelanja, meski dalam kondisi sulit dan pandemi corona. 

Kelima, masalah lain, yang juga hampir sama di seluruh Indonesia, selain masyarakat baru mendapatkan gaji dan THR, masyarakat lainnya juga rata-rata baru mengantongi uang dari BLT, bantuan sosial Covid 19. 

Jadi, bila disimpulkan, saya melihat dalam diri masyarakat ada lika jenis paradigma, mengapa masyarakat tetap menjejali pasar dan mal, yaitu pertama kelompok masyarakat yang tidak tahu/tidak paham. Kedua, masyarakat yang tahu, tapi abai karena melihat masyarakat lain aktivitas seperti biasa. Ketiga, masyarakat yang berpedoman, hidup mati, Allah yang mengatur. Keempat, masyarakat yang tak mau melepas tradisi Lebaran, dan kelima tetap memaksa belanja karena punya uang. 

Di luar dari persoalan pada masyarakat sendiri, hampir di semua wilayah Indonesia, semua aparat dan petugas yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk menghalau masyarakat agar kembali ke rumah, nampaknya seragam tak dilakukan. 

Hal ini kontradiksi dengan apa yang dilakukan oleh aparat dan petugas di pintu-pintu chekpoint larangan mudik, yang hampir seragam pula mampu menghalau para pemudik yang coba memaksakan diri dan berhasil di buat putar balik. 

Atas kondisi ini, masih ada tersisa dua hari ibadah Ramadan. Apakah pemerintah dengan aparat dan petugas PSBB tetap akan membiarkan masyarakat berkeliaran dan berdesakan ke pasar dan mal? 

Bila itu masih terjadi, siapa yang salah? Bila akibatnya  masyarakat semakin banyak yang terpapar virus corona, siapa yang salah? Pemerintah dengan aparat dan petugas PSBBnya atau masyarakat yang memiliki lima paradigma itu? Susah meski dalam pandemi corona, tradisi belanja lebaran tetap dipentingkan meski harus melanggar PSBB.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB