x

Ilustrasi garis polisi. thecoverage.my

Iklan

Irsyad Muhta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Mei 2020

Kamis, 21 Mei 2020 21:46 WIB

Polemik Pembatasan Kegiatan Keagamaan di Tengah Pandemi Covid-19

Kebijakan mengenai pembatasan kegiatan keagamaan ditolak oleh beberapa orang. Tujuan ditetapkan kebijakan tersebut semata-mata hanya sebagai upaya menghalau laju penyebaran Covid-19. Namun, tuduhan-tuduhan sesat dan kafir tidak jarang dilayangkan pada kebijakan tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada awal tahun 2020, dunia dikejutkan dengan munculnya virus Covid-19 yang tersebar ke 190 negara. Virus ini dipercaya pertama kali muncul di Wuhan, China sejak akhir tahun 2019. Di Indonesia, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa kasus positif pertama kali dicatatkan pada tanggal 2 Maret 2020. Hingga Rabu (20/5/2020), tercatat lebih dari 18 ribu kasus positif dan lebih dari seribu kematian yang terjadi di Indonesia.

Sebagai upaya untuk mengurangi laju penyebaran Covid-19, WHO memberikan anjuran-anjuran preventif. Kemudian, berdasarkan anjuran tersebut, pemerintah Indonesia membuat kebijakan terkait melalui Permenkes Nomor 9 Tahun 2020.

Dilansir dari CNN (2020) salah satu pasal dalam peraturan tersebut, yakni pasal 13 mengungkapkan bahwa, diperlukan adanya pembatasan kegiatan keagamaan. Akan tetapi, beberapa pihak menolak kebijakan yang sering kali dianggap sesat tersebut. Terdapat dua alasan penolakan tersebut bisa terjadi, pertama, agama yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kedua, kurangnya pengetahuan dan banyak kabar simpang siur tentang Covid-19.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sila pertama dalam Pancasila sebagai dasar negara berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” mengisyaratkan bahwa kehidupan masyarakat Indonesia harus berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Meskipun Indonesia bukan negara dengan suatu agama sebagai dasar negara, namun agama menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Pew Research Center (2015), 95% masyarakat Indonesia mengatakan bahwa agama merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupannya. Hal tersebut dibuktikan dengan fakta bahwa agama dianggap sebagai identitas dan kebutuhan bagi masyarakat Indonesia.

Menurut jajak pendapat yang dilakukan BBC pada tahun 2004 tentang kolom identitas agama dalam KTP, ditemukan fakta bahwa pentingnya identitas agama bisa disamakan dengan pentingnya identitas nama bagi masyarakat Indonesia.

Agama memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, bahkan dapat dikatakan jika agama kini sudah menyatu dengan seluruh aspek masyarakat. Maka dari itu, lahir sebuah keharusan untuk memiliki sikap religius karena dianggap sebagai salah satu ciri kebaikan.

Banyak orang yang setuju dengan pernyataan bahwa sikap religius berbanding lurus dengan kebaikan. Salah satu tindakan yang sering digunakan sebagai ukuran religiositas seseorang adalah dengan beribadah. Sayangnya, beribadah yang selama ini diketahui oleh mayoritas orang adalah dengan pergi ke tempat-tempat ibadah dan melakukan kegiatan keagamaan. Padahal seharusnya, ibadah adalah cara manusia berkomunikasi dengan Tuhannya yang tentu bisa dilakukan dengan cara masing-masing, selama tidak melanggar aturan apa pun.

Beribadah dengan cara yang tidak umum semacam itu akan dianggap sebagai tindakan yang tidak wajar. Bahkan, tuduhan-tuduhan sesat atau kafir tidak jarang dilayangkan pada seseorang yang memiliki tata cara beribadah yang berbeda. Oleh karena terintegrasinya kehidupan masyarakat dan agama, wajar apabila banyak sekali penolakan terhadap pembatasan kegiatan keagamaan.

Agama seharusnya menjadi hubungan yang personal antara penganut dan Tuhannya. Beribadah tidak selalu berarti salat berjamaah di masjid, melakukan kebaktian di gereja, atau ritual-ritual semacamnya. Banyak cara yang bisa dilakukan dan dianggap sebagai ibadah apabila itu cara pribadi untuk berkomunikasi dengan-Nya seperti, senyum tulus, bersyukur, atau introspeksi diri.

Maka dari itu, ritual-ritual atau kegiatan di tempat ibadah sangat mungkin untuk dialihkan ke rumah masing-masing. Kebijakan pemerintah bukan untuk mengkafirkan atau sebagai ajaran yang sesat, tapi semata-mata hanya sebagai upaya menghalau penyebaran Covid-19.

Selanjutnya, alasan yang kedua adalah persepsi masyarakat mengenai ancaman dan bahaya yang ditimbulkan Covid-19 dan kebijakan ini beragam. Tujuan utama dari pembatasan sosial dan kegiatan keagamaan adalah mengurangi laju penyebaran Covid-19. Namun, tidak jarang terdengar narasi-narasi yang seolah-olah memprovokasi seperti “Tuhan ada untuk melindungi Saya dari virus”, “Hidup dan mati Saya ada di tangan Tuhan bukan di tangan virus”, atau “Jangan takut sama virus, itu juga ciptaan Tuhan”. Narasi-narasi demikian seolah-olah memberikan justifikasi kepada masyarakat untuk melanggar kebijakan yang telah ditetapkan. Sekalipun kebijakan yang ditetapkan memiliki tujuan untuk kebaikan bersama.

Pelanggaran tersebut juga didukung dengan adanya teknologi yang digunakan untuk mengakses informasi tanpa batas. Menurut penelusuran yang dilakukan Voi.id (2020) di Desa Cikarawang, Bogor, Jawa Barat, masih banyak warga yang tidak mengetahui tentang informasi mengenai perkembangan Covid-19.

Bahkan, ada yang beranggapan bahwa virus ini merupakan senjata biologis dari China untuk menghancurkan Indonesia setelah terjadinya situasi panas di perairan Natuna. Kurangnya informasi ini juga membuat warga setempat masih melakukan ibadah secara berjamaah di tempat ibadah setempat.

Penolakan terhadap pembatasan kegiatan keagamaan juga bisa muncul dari adanya informasi yang disebarkan tanpa proses pemilahan dan penyaringan. Oleh karena itu, masyarakat bisa saja menerima informasi yang salah mengenai tujuan dari pembatasan kegiatan keagamaan.

Pada saat seperti ini akan muncul banyak misinformasi dan hoaks yang apabila disebarkan tanpa melalui proses pemilahan dan penyaringan akan menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. Semua informasi mengenai Covid-19 dapat diakses secara bebas, termasuk kebijakan pemerintah.

Namun, tetap dibutuhkan kecerdasan dalam bermedia sosial sebagai upaya dalam mencari informasi yang valid dan terpercaya. Perlu adanya cek ulang fakta apabila mendapat kabar yang menghebohkan di grup WA atau media sosial yang lain. Akan tetapi, sering kali orang menyebarkan informasi agar dianggap paling up-to-date, tapi informasi yang disebarkan ternyata salah. Bahkan lebih parahnya, menyebarkan informasi yang hanya berisi hasutan maupun provokasi.

Meskipun agama telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Indonesia, bukan berarti kita harus buta dengan alasan kebijakan pembatasan kegiatan keagamaan. Keimanan tidak akan tumbang hanya dengan dua bulan tidak pergi ke masjid ataupun gereja, kecuali memang sudah tidak beriman sejak awal.

Hoaks juga seharusnya diredam agar tidak menimbulkan keresahan yang tidak penting. Informasi yang tersebar seharusnya tentang penanganan dan kabar terbaru tentang Covid-19, bukan teori konspirasi yang menggunakan metode “cocoklogi”. Kesudahan dari pandemi ini, paling tidak di Indonesia, ditentukan oleh setiap orang tanpa terkecuali. Oleh karena itu, lebih baik ikuti saja aturan dan kebijakan pemerintah sampai pandemi ini selesai dan dinilai aman untuk beraktivitas seperti semula.

Ikuti tulisan menarik Irsyad Muhta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler