x

Sejumlah warga berkumpul saat prosesi penutupan restoran cepat saji McDonald's di Sarinah, Jakarta, 10 Mei 2020. Petugas Satpol PP dibantu Polisi dan TNI, melakukan pembubaran terhadap massa yang berkumpul karena melanggar ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Twitter/@satpolpp_dki

Iklan

A. Windarto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 23 Mei 2020 09:48 WIB

Selebrasi Penutupan McD, Perayaan Mencari Aktor Baru Budaya Massa

Sebenarnya dalam selebrasi penutupan gerai McD tak ada rasa kehilangan apalagi ratapan. Karena segalanya telah diformat untuk dijadikan perayaan bertahannya budaya massa. Budaya yang telah bersolek menjadi industri dan tidak akan mudah punah ini selalu mampu memberi "selendang" bagi massanya. Di sana apapun siap dikorbankan, termasuk melepas yang menjadi miliknya sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Heboh selebrasi penutupan gerai McD di pusat perbelanjaan Sarinah Jakarta telah menjadi trending topic di jagad medsos. Pasalnya, selebrasi itu telah menciptakan kerumunan yang merupakan pelanggaran serius dari aturan PSBB di Ibukota RI.

Pertanyaannya, apa yang membuat selebrasi menjadi tampak begitu menentukan untuk diadakan sehingga menciptakan kerumunan? Sekedar perayaan belaka, atau telah menjadi bagian dari budaya massa yang oleh Walter Benjamin (1935) disebut sebagai "mereka yang tak tampak"?

Dalam konteks ini, selebrasi boleh dikatakan sebagai dampak dari perkembangan media massa modern, khususnya dalam industri film dan teknologi fotografi. Hal itu yang terjadi di pertengahan abad ke-20 telah menciptakan apa yang dikenal sebagai penonton, pendengar dan pembaca media massa. Mereka adalah massa yang sehari-hari tak pernah bertemu, saling kenal, apalagi bertegur sapa, terutama dengan para aktor yang menjadi tokoh-tokoh utama dalam media massa itu.

Itulah mengapa sebagai orang kebanyakan, wajahnya tak punya riwayat seperti pernah ditulis Goenawan Mohamad dalam salah satu Catatan Pinggir-nya (Tempo, 10/2/2013). Namun, mereka tetap memiliki pembayangan yang satu dan serupa bahwa apa yang ditonton, didengar, dan dibaca adalah "bernilai". Maka tak heran jika apapun rela dan bersedia untuk dikerjakan asalkan dapat mewujudkan pembayangan yang serba terbatas itu.

Inilah sesungguhnya yang terjadi pada selebrasi sebagai peristiwa atau fenomena budaya massa, termasuk dalam penutupan gerai McD di atas. Hal itu menjadi sesuatu yang menentukan lantaran ada yang merekayasanya secara kultural.

Melalui "tangan-tangan tak kelihatan" ("the inivisible hands") dari para pekerja media massa, segalanya dapat menjadi tontonan, pajangan atau pameran yang berdaya pukau sedemikian menggairahkan. Gairah terhadap komoditas itulah yang membuat orang ramai berasyik-masyuk dalam kekaguman dan siap menanggung segala risikonya.

Pada titik ini, apa yang dikaji oleh Benedict Anderson (1991/2001) sebagai "komunitas-komunitas terbayang" ("Imagined communities") menjadi signifikan dan relevan. Sebab di sanalah apapun siap untuk dikorbankan, termasuk melepas apa yang menjadi miliknya sendiri.

Selebrasi di atas memperlihatkan bahwa bukan soal penutupan itu yang membuat massa berkerumun. Namun, terlebih karena McD sebagai panggung selebritas telah disingkirkan dari hadapan khalayaknya. Penyingkiran ini membuat mereka seperti kehilangan cermin. Meski di cermin itu yang terlihat hanyalah "diri" yang tanpa aura, tanpa gelora, bahkan tanpa subjek. Namun di situlah ketrampilan untuk dapat berakrobat seperti dalam atraksi tong setan: berputar-putar dari bawah ke atas yang begitu terus selamanya, amat diperlukan.

Membosankan memang. Tapi justru itulah yang membuat kebanyakan orang terpikat asal dikerjakan dengan rapi tanpa perlu mengumbar banyak kata.

Karena itu, tak ada kehilangan, apalagi ratapan, sebenarnya dalam selebrasi itu. Karena segalanya telah diformat untuk dijadikan perayaan akan bertahannya budaya massa yang tak akan lenyap ditelan zaman. Budaya yang telah bersolek menjadi industri dan tidak akan mudah punah ini selalu mampu memberi "selendang" bagi massanya.

Dengan cara itulah, penutupan gerai McD bukan akhir dari segalanya, melainkan awal mula untuk menemukan aktor baru yang dapat ditampilkan. Penampilan yang mampu membuat orang banyak terpukau adalah instrumen yang paling menentukan secara teknis. Itu artinya, para pembeli atau konsumen setia dari gerai McD hanya perlu dituntun dan, jika perlu, dituntut dengan konstruksi "diri" dari panggung selebritas.

Maka bukan kebetulan jika Anya Dwinov yang nyaris ikut dalam kerumuman penutupan itu menjadi sosok yang layak untuk diberitakan di media massa (Kompas.com, 11/5/2020). Bukan karena dirinya telah populer sebagai pembawa acara, namun lantaran selebritasnya "bernilai" di hadapan kamera, alat perekam suara, atau catatan seorang jurnalis.

Nilai itulah yang saat ini menjadi ukuran di mana-mana meski mudah koyak dan boyak (hambar). Hal itu senada dengan yang pernah diujarkan oleh Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri AS yang pintar dan tersohor berikut ini: "Yang menyenangkan ketika jadi selebritas adalah bila kita membosankan orang banyak. Sebab mereka justru menganggap hal itu adalah kesalahannya sendiri".

Jadi, tak perlu gelisah jika saat McD ditutup terjadi kerumunan yang bikin resah banyak orang. Karena baik yang berkerumunan maupun yang resah sama-sama sedang menampilkan diri di depan media.

Dengan kata lain, keduanya memerlukan panggung selebritas yang di masa lalu digemari juga oleh Hitler dan Mussolini. Dua tokoh historis yang mampu menggemparkan dunia karena ramai-ramai telah diubah untuk menjadi pemimpin yang estetis secara politik. Singkatnya, pemimpin yang mampu membuat khalayak sedemikian terpukau lantaran "sang juara, sang bintang dan sang diktator" justru jadi pemenangnya.

Ikuti tulisan menarik A. Windarto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler