x

supartono jw

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 25 Mei 2020 16:04 WIB

Hati-Hati Menentukan Tahun Pelajaran Baru, Ingat Perjuangan Daoed Yoesoef

Situasi pandemi corona yang tak tahu akan sampai kapan, membuat tahun pelajaran baru di Indonesia juga wajib di pikirkan dengan cermat dan matang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengawali 1 Syawal 1441 Hijriah, Minggu (24/5/2020) saya mengucapkan Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin, teruntuk redaksi Indonesiana.com, rekan-rekan penulis, dan pembaca Indonesiana. Semoga kita semua menjadi manusia yang benar-benar fitrah. Aamiin. 

Berikutnya, di hari yang penuh kemenangan ini, Idul Fitri 1441, di situasi pandemi corona, tadi pagi, saat usai melaksanakan salat Id di rumah bersama keluarga dan merayakan Lebaran juga #didepanrumah saja, saya langsung teringat masalah pendidikan. 

Sebabnya, di depan rumah itu, saya masih melihat ada masyarakat yang baru pulang dari salat Id di masjid maupun di lapangan terbuka. Sementaar wabah corona terus memangsa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melihat kondisi ini, saya jadi teringat fakta pendidikan kita, lalu memikirkan saran Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan apa yang diinformasikan oleh Mendikbud menyoal rencana tahun pelajaran baru, yang banyak diisi berita hoaks. Karenanya, saya perlu menulis artikel ini. 

Bilakah sejarah pendidikan zaman Daoed Yoesoef di Indonesia akan terulang? Bila benar terulang, apakah tidak akan terputar kembali masalah yang sama. Sebab, saat Daud Yoesoef pun, sekolah dimundurkan karena alasan yang logis dan masuk akal, meski tetap menjadi mesalah yang tidak mudah saat itu. 

Corona, kenaikan/kelulusan "gratis" 

Andai saja, manusia dan dunia tahu, bahwa pandemi corona tidak mudah dijinakkan. Khususnya untuk masyarakat Indonesia, bisa jadi, sekolah dan universitas di Indonesia tidak akan memberikan kenaikan kelas/tingkat dan kelulusan, maaf, secara "gratisan". 

Bila mengacu pada ungkapan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim bahwa, guru dan siswa mengalami kerugian saat masa pandemi Covid-19. Pasalnya, kegiatan belajar mengajar (KBM) daring tidak berjalan optimal sehingga bisa dipastikan banyak siswa tidak bisa menguasai seluruh mata pelajaran yang diajarkan. 

"Kalau tidak ingin guru dan siswa rugi besar mending tahun ajaran baru diundur ke Januari saja biar jelas persiapannya," kata Ramli kepada JPNN.com, Sabtu (23/5). 

Maka, bisa dijadikan indikator mengapa saya menyebut naik kelas/tingkat/lulus sekolah/kuliah gratisan. Selama ini, saat kondisi belajar normal saja, tanpa pandemi corona, sejatinya siswa tidak digaransi dapat menguasai pelajaran, dan naik kelas/tingkat/lulus sekolah/kuliah benar-benar mampu secara teori dan praktik. 

Sebab, kondisi belajar-mengajar memang masih sangat lekat tetap belajar-mengajar, bukan mendidik. Siswa/mahasiswa hanya belajar mengejar target nilai ulangan/tes/ujian demi naik kelas/tingkat/lulus, lalu peroleh ijazah. Sehingga, setelah melewat ulangan/tes/ujian biasanya siswa/mahasiswa akan lupa materi pelajaran/mata kuliahnya, karena belajarnya jadi sistem kebut satu malam (SKS). Ini budaya belajar di Indonesia, setelah lepas dari penjajahan. 

Guru lebih fokus mengajar karena beban kurikulum yang harus tuntas, lupa kewajiban mendidik, sehingga sekolah hanya menjadi kegiatan rutinitas yang "tak dalam" dan "tak lahirkan" siswa/mahasiswa berkarakter, cerdas, luhur budi, dan santun. 

Indikator lain yang cukup signifikan dan akuntabel adalah hasil penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) untuk Indonesia tahun 2018 yang diumumkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada akhir Desember 2019, kemampuan baca siswa rendah, skor matematika dan sains di bawah rata-rata, dan sejak mengikuti penilaian PISA tahun 2000, siswa Indonesia mengalami tren penurunan. 

Padahal, pengukuran PISA bertujuan untuk mengevaluasi sistem pendidikan dengan mengukur kinerja siswa di pendidikan menengah, terutama pada tiga bidang utama, yaitu matematika, sains, dan literasi. 

Atas kondisi itu, bagaimana kenaikan dan kelulusan siswa/mahasiswa di musim corona ini? Apa yang dapat digaransi oleh guru/dosen/sekolah/universitas? Sementara, apa yang diungkapkan oleh ketua IGI, belajar daring di tengah kondisi corona tak normal. Fakta lainnya, masih kurang meratanya kesejahteraan rakyat di seluruh pelosok tanah air, seperti belum terjangkaunya listrik, dan perkakas digital. 

Di kota besar saja masih banyak yang tak punya handphone dan pulsa. Maka, tidak salah bila ada netizen atau masyarakat yang menyebut Angkatan Tahun Pelajaran 2019/2020 adalah "Angkatan Corona", yaitu angkatan yang dapat kenaikan kelas/tingkat dengan rapor/nilai corona, pun ijazah corona karena dapat "keringanan dan permakluman" alias "gratis". 

Daoed Yoesoef dan tahun pelajaran irisan 

Andai pemerintah tahu, corona akan panjang, dan bila Daoed Yoesoef masih hidup, apakah beliau akan mengingatkan agar kenaikan dan kelulusan sekolah/kuliah ditunda seperti pada zamannya? Mungkin tidak.

Masyarakat Indonesia mungkin banyak yang belum tahu, mengapa sekolah di Indonesia sekarang dimulai dari bulan Juli, bukan Januari. 

Sekadar mengingat sejarah, dan agar masyarakat Indonesia khususnya generasi muda mengetahui, sejak merdeka tahun 1945, pendidikan di Indonesia menetapkan bulan Januari sebagai awal tahun pelajaran baru dan bulan Desember sebagai akhir tahun pelajaran. 

Bila mengingat sejarah itu, saat itu kira-kira saya masih duduk di bangku SD kelas 5, tiba-tiba menjelang kenaikan kelas, dapat kabar, kenaikan sekolah di undur, sekolah diperpanjang. 

Praktis tahun pelajaran 1979 akhirnya menjadi tahun pelajaran 1979/1980 dan belajar 1,5 tahun. Kecewa, sedih, dan berbagai perasaan campur aduk, gara-gara Daoed Yoesoef, sekolah Jadi 1, 5 tahun, padahal tidak ada wabah corona. 

Daoed Yoesoef, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Indonesia, membuat kebijakan tahun pelajaran diubah. Sejak tahun 1979, waktu tahun pelajaran baru menjadi bulan Juli. Hal tersebut ditandai dengan UU No. 0211/U/1978 yang mengatur tentang pengunduran tahun pelajaran baru, yaitu memulainya di bulan Juli dan mengakhirinya di bulan Juni. 

Daoed yang menjabat sebagai Mendikbud sejak tahun 1978 hingga 1983 juga masuk dalam zaman Orde Baru (Orba), saat itu membuka pemikiran baru yang tentu saja memunculkan beragam reaksi. 

Adalah Prof. Soenarjo yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri saat itu, adalah sosok yang menentang keras pemikiran Daoed. Menurut Soenarjo, tak selayaknya peserta didik dijadikan kelinci percobaan akibat berubahnya sistem pendidikan. 

Seperti Soenarjo, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, juga memberi kritik senada. Ia menyatakan bahwa menteri tak bisa seenaknya mengubah sistem pendidikan. 

Menghadapi pertentangan itu, Daoed tak bergeming. Tetap kukuh dengan pemikirannya, bahkan menambah wacana untuk merealisasikan pengunduran waktu tahun pajaran baru, dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengundur kelulusan peserta didik dan mengisi waktu tunggu dengan mengajarkan materi tambahan. 

Daoed Joesoef juga membuat keputusan, bahwa wali murid hanya perlu membayar 50 persen biaya SPP selama jeda waktu pengunduran tahun ajaran baru. 

Sebab, saat itu saya masih kelas 5 SD, maka hanya bisa kecewa. Sementara, karena waktu itu zaman Orba, sepertinya dengan adanya kebijakan Daoed Yoesoef, semua stakeholder pendidikan dan pemerintah semuanya seperti bak kerbau dicucuk hidungnya, menurut saja, tak ada yang membantah, tak ada unjuk rasa, apalagi demonstrasi. Tetapi faktanya juga, memang semuanya setuju. 

Bayangkan bila kebijakan Daoed dilakukan zaman sekarang, di kondisi normal pula tanpa corona. Kira-kira apa yang bakalan terjadi dengan "masyarakat +62" yang tetap masih banyak belum  cerdas intelgensi dan personaliti karena kondisi. 

Namun, agar tak gagal paham, mengapa Doed Yoesoef akhirnya mulus menjalankan kebijakannya, memundurkan kenaikan dan kelulusan sekolah, membuat tahun pelajaran jadi irisan 1979/1980? 

Dari beberapa literasi, dan saya kutip dari kumparan.com (16/7/2018), inilah alasan mengapa pemikiran Daoed Yoesoef terlaksana. 

Pertama, tahun pelajaran baru yang awalnya dimulai pada bulan Januari, ternyata menyulitkan proses perencanaan pendidikan. Selain itu, tahun pelajaran baru yang dimulai pada bulan Januari, kontras dengan akhir tutup buku anggaran. Oleh karena itu, kebijakan ini dibuat untuk menyesuaikan dana anggaran awal tahun. 

Kedua, kebijakan ini juga dengan mempertimbangkan penetapan ajaran baru di luar negeri. Pertimbangannya, memperhatikan masa depan anak-anak Indonesia yang ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri yang rata-rata dimulai pada bulan Juni. Sehingga, memudahkan peserta didik Indonesia yang ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri. 

Ketiga, terkait iklim, libur panjang bulan Desember di Indonesia, bertepatan dengan musim hujan. Karenanya, agar anak-anak bisa menikmati waktu liburnya, maka dilakukan pemikiran mengubah waktu tahun pelajaran baru menjadi bulan Juli. 

Memang, pertimbangan karena alasan anggaran, menyesuaikan dengan kalender pendidikan di luar negeri, dan masa libur yang tidak efektif karena musim hujan, mengakibatkan pemikiran Doed Yoesoef moncer, dan hingga kini, sudah 41 tahun, ide cemerlang Daoed Yoesoef masih di adopsi di pemerintahan Indonesia, meski telah berganti beberapa kali Presiden, Menteri Pendidikan, dan Kurikulum Pembelajaran Nasional. 

Bila dikaitkan dengan cara-cara bijak Doed Yoesoef mengubah tahun pelajaran, bukan karena musibah seperti corona, namun karena pertimbangan cerdas untuk kemajuan dan perkembangan bangsa, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di bawah Mendikbud Nadiem, pun harus lebih cerdas menyikapi pendidikan di Indonsia di saat corona. 

Jangan blunder

Rasanya, bila mengikuti saran Ketua IGI, maka seharusnya mustahil pemerintah mengubah kembali tahun pelajaran di Indonesia ke zaman Orba. Itu artinya mundur ke belakang. Sebab, alasan membuat tahun pelajaran di tangan Daoed Yoesoef  menjadi irisian memang logis dan tepat. 

Meski, akibat pandemi COVID-19. Kemendikbud menyatakan pemerintah belum menentukan mulainya tahun pelajaran baru sekolah pada 2020, maka sambil menunggu situasi wabah, saya berharap, Nadiem tidak membikin blunder, sebab pemikiran Daoed Yoesoef 41 tahun yang lalu sudah menyesuaikan dengan pendidikan di luar negeri. 

Kecuali, karena sama-sama terkena wabah, tahun pelajaran baru di luar negeri juga turut berubah. Dan, tidak mustahil, dua negara Eropa yang sudah coba-coba membuka sekolah lagi, Finlandia dan Prancis pun, siswa dan gurunya langsung diserang corona lagi. Belum lagi bila berpikir virus corona akan bergelombang. Ada yang sekarang sudah fase gelombang dua.

Untuk itu, menyoal kapan tahun pelajaran baru di Indonesia di mulai, Nadiem Makarim juga membantah soal informasi yang beredar tentang tahun pelajaran baru yang dilakukan bulan Juni 2020 mendatang. 

"Mohon menunggu dan saya belum bisa memberikan statement apapun untuk keputusan itu. Karena dipusatkan di gugus tugas. Mohon kesabaran. Kalau ada hoax-hoax dan apa sampai akhir tahun, itu tidak benar," kata Nadiem saat melakukan rapat kerja virtual dengan Komisi X, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (22/5/2020). 

Melihat apa yang telah diperjuangkan oleh Daoed Yoesoef, maka saran IGI dan kebijakan Kemendikbud di bawah kendali Nadiem, jangan sampai membuat blunder lagi, jangan asal main mundur saja, jangan sampai "mencla-mencle". Harus cerdas dan cermat, karena peninggalan Daoed Yoesoef, awal tahun pelajaran di ubah dari Januari ke bulan Juli, sudah melalui kajian dan pemikiran cemerlang. 

Dan, satu hal lagi yang perlu saya ingatkan, jangan memberi kenaikan kelas/kelulusan "gratisan". Percuma rapor dan ijazah yang diperoleh siswa, namun kemampuan dan keterampilan serta karakter siswa/mahasiswa tidak sesuai dengan nilai rapor dan ijazahnya, karena "karbitan". 

Terlebih, fakta bahwa pelajaran daring di musim corona tak berhasil, sementara nilai PISA dari hasil belajar normal sebelum corona pun jauh dari harapan. 

Sekali lagi, sekolah dan kuliah, seharusnya menelurkan siswa dan mahasisa yang bukan hanya memiliki kemampuan teori dan praktik pelajaran, namun menguasai dan terampil dalam karakter kehidupan, menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur, cerdas, dan rendah hati. Maka akan kreatif dan inovatif, bukan menjadi bangsa pengekor/pengikut/pemakai produk anak bagsa lain. Tidak mudah dijajah oleh bangsa lain, dan oleh anak bangsa sendiri. Aamiin.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler