x

Ilustrasi Kepemimpinan. Pixabay.com

Iklan

Rusmin Sopian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 25 Mei 2020 16:25 WIB

Budaya Ngerindeng Amanah para Pemimpin, Ogah Mundur Meski Bersalah

Tradisi kepemimpinan kita adalah tradisi mencari seribu dalih dan kambing hitam padahal diirnya bersalah. Para pemimpin kita memegang erat prinsip pameo king can do no wrong. Maka jika bersalah yak mau mundur. Padahal dundur dari jabatan bukanlah sikap lari tanggung jawab. Mundur dari jabatan adalah sikap patriotik ketika amanah dirasakan tak memiliki manfaat bagi publik dan rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berita pengunduran diri Bupati Bener meriah mengisi narasi ruang publik di tengah kegembiraan Hari Raya Idul Fitri 1441 H. Bupati Bener Meriah menyampaikan pengunduran dirinya itu saat sholat Ied. Kesehatan menjadi alasan pengundurannya.

Sebelumnya dua Staf Khusus Presiden, Andi Taufan dan Adamas Belva Delvara juga mengisi ruang narasi publik minggu ini. Narasi pro dan kontra berselancar di berbagai kesempatan dan ruang publik.

Mundur dari jabatan atau amanah, bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini. Banyak perilaku heroik dari para pejabat di Nusantara ini yang melakukan perilaku pengunduran diri dari jabatan karena menganggap gagal tugas yang diembannya. Perilaku patriotik ini sudah menjadi budaya bagi para pejabat yang berintegritas di negeri ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di Indonesia, budaya mundur dari jabatan bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan sudah dilakukan oleh Wakil Presiden RI yang pertama Bung Hatta. Bung Hatta mundur karena merasa jabatan yang diembannya tak memiliki arti yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas dan rakyat Indonesia.

Mengundurkan diri dari jabatan karena menganggap gagal dan tak mampu mengemban amanah itu juga dilakukan Mantan Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito dan Dirjen Perhubungan Darat beberapa waktu lalu. Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito merasa gagal karena tidak mampu memenuhi target pemasukan pajak 2015. Dari Rp 1.294 triliun yang ditargetkan, hanya tercapai Rp 828 triliun atau hanya terealisasi 64 persen. Sigit pun mengundurkan diri dari jabatan Dirjen Pajak.

Kemudian Dirjen Perhubungan Darat Djoko Sasono mengundurkan diri karena merasa tidak mampu mengatasi kemacetan di Indonesia. Mundur dari jabatan juga diaksikan oleh Yudi Latif. Tokoh ini mundur dari jabatannya sebagai Kepala Badan Pemantapan Ideologi Pancasila.

Seorang teman yang mengabdi sebagai Aparatur Sipil Negera (ASN) di sebuah daerah pernah mengungkapkan bahwa dirinya tidak mau menerima amanah jabatan yang hendak diberikan karena posisi itu sangat tidak sesuai dengan pengalaman kerjanya dan bidang keilmuannya.

Mengapa budaya mengundurkan diri penting kita suarakan? Adalah untuk menegaskan bahwa hakikat dari jabatan adalah untuk mengemban amanat rakyat dan untuk menjalankan tugas sebaik-baiknya. Jika amanat dan tugas itu tak bisa atau gagal dijalankan, mundur merupakan keniscayaan. Apalagi pada saat sang pejabat terbelit kasus hukum, dengan mengundurkan diri artinya melepaskan kekuasaan agar proses peradilan bisa berjalan dengan fair. Jika tidak mau mundur dari jabatannya, besar kemungkinan ia akan mempergunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi jalannya proses hukum.

Mengundurkan diri dari jabatan karena gagal mengemban amanah dan karena masalah merupakan refleksi keteladanan dan cermin dari adanya rasa malu dan menjunjung tinggi tanggung jawab. Tanggungj awab pejabat negara adalah memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ketika ia gagal memenuhi kebutuhan itu lantaran korupsi atau kasus-kasus lain, seyogyanya dengan kesatria meminta maaf dan mengundurkan diri.

Bagi setiap pejabat yang tidak memperlakukan kekuasaan sebagai segala-galanya, mengundurkan diri merupakan hal yang lumrah dan sangat beradab.

Pada sisi lain, sudah sejak lama, etika dan agama mengajari kita untuk meminta maaf, tatkala kita telah melakukan sesuatu hal, yang entah disengaja ataupun yang tidak disengaja, yang menjadikan pihak lain, misalnya, merasa tersinggung, menderita, tersakiti, atau terabaikan. Karenanya, setiap individu, siapapun dia, termasuk juga para pemimpin, memang seharusnya senan­tiasa bersedia meminta maaf jika memang merasa telah melakukan kesalahan, sekecil apa pun kesalahan itu.

Tradisi kesediaan meminta maaf secara terbuka ini hampir tidak dimiliki oleh para pejabat publik dan pemimpin kita. Sebuah keironian. Tidak sedikit pemimpin dan pejabat publik di negeri ini, yang jelas-jelas telah melakukan berbagai kesalahan, namun mereka tidak pernah bersedia meminta maaf secara terbuka kepada publik atas perilaku kekeliruan yng dilakukannya.

Justru yang paling sering terjadi dan diaksikan para pejabat publik dan pemimpin kita adalah sibuk mencari-mencari dalih dan kambing hitam. Dengan demikian, sejauh ini, tradisi meminta maaf tampaknya bukan bagian dari tradisi kepemimpinan kita.

Tradisi kepemimpinan kita adalah tradisi mencari seribu dalih dan si kambing hitam. Para pemimpin kita selama ini lebih suka memegang erat prinsip King can do no wrong. Dalam benak mereka, pemimpin itu selalu benar, tidak pernah salah.

Tak heran, karena masih menganut prinsip usang yang tak sesuai dengan kebermajuan zaman yang menganggap pemimpin itu selalu benar dan tidak pernah salah serta merasa tinggi strata sosialnya di mata masyarakat, masih ada dan bahkan terlihat perilaku “ngerindeng” (Bahasa Toboali) mendekati dengan harapan meminta sesuatu atau mendapatkan sesuatu kepada pemegang amanah rakyat. Dengan harapan mendapatkan amanah dari pemberi amanah yang sebenarnya adalah penerima amanah dari publik lewat kamar-kamar kecil di TPS-TPS.

Pada sisi lain, kita mestinya berkontemplasi diri dengan mesti bersikap satria dan bersemangat patriotik untuk menyatakan bahwa buat apa memiliki jabatan, kalau jabatan dan amanah yang kita emban justru tak membawa dampak positif bagi rakyat dan kebermajuan daerah dan bangsa. Bahkan dengan jabatan yang kita emban itu, malah membuat pemberi amanah dihujat publik bahkan di catat dalam catatan kelam sejarahnya sebagai pemimpin sepanjang masa, karena gagal menempatkan pejabat yang berkualitas.

Sejarah telah mencatat sepak terjang pemimpin besar dan berkaliber Bung Hatta yang tidak pernah menghambakan diri kepada kekuasaan. Bagi Bung Hatta, kekuasaan adalah instrumen untuk memperjuangkan cita-cita bersama demi kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan bangsa dan negara.

Tokoh Proklamator ini tidak pernah mengambil keuntungan pribadi, baik saat menjabat sebagai Wakil Presiden maupun saat pensiun, yang tetap menjaga nama besar, teguh memperjuangkan prinsip dan menjaga martabat dirinya, sehingga terus menjadi catatan putih dan bersih serta menjadi bagian dari keteladanan bangsa ini hingga akhir zaman yang akan dicatat dalam sejarah peradaban bangsa ini dan dunia.

Toboali, 2 ramadan 1441 H

Ikuti tulisan menarik Rusmin Sopian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu