x

Lulusan yang mengenakan topeng Guy Fawkes melemparkan topi mereka saat mereka berpose untuk foto mereka setelah upacara wisuda di Universitas Cina Hong Kong di Hong Kong, Cina, 7 November 2019. [REUTERS / Kim Kyung-Hoon]

Iklan

Uswah Hasanah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Mei 2020

Selasa, 26 Mei 2020 10:35 WIB

Kampus dan Perlombaan Cepat Lulus

Artikel ini membahas tentang kampus dan idealisme Mahasiswa yang ingin segera lulus. Timbul perdebatan diantara Mahasiswa, lebih baik lulus cepat, tepat waktu, atau waktu yang tepat? Artikel ini menjawabnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tujuan utama ketika masuk kampus adalah lulus. Terkait dengan masalah lulus kuliah, idealisme tiap mahasiswa berbeda-beda. Namun, paling sering yang saya temui adalah mahasiswa yang menggebu-gebu ingin lulus 3,5 tahun atau tepat waktu, dengan predikat cumlaude tentunya.

Bahkan, sejak menjadi mahasiswa baru, ketika proses pengukuhan sejatinya kita telah didoktrin untuk menyelesaikan kuliah lebih cepat atau tepat waktu. Tidak ada yang bilang “tidak mengapa, proses orang berbeda-beda. Asal kamu bisa menyelesaikan tanggung jawab saja”.

Tidak bermaksud memandang remeh idealisme mereka, karena saat menjadi mahasiswa baru, saya pun punya keinginan serupa sebelum kandas di tengah jalan. Saya bukanlah mahasiswa yang pintar atau menonjol di kelas. Bahkan angkatan saya pun mungkin tidak tahu siapa saya, saya cenderung biasa saja dan ghaib. Mentok di titik pasrah dan mulai menyerahkannya pada nasib yang semakin anomali. Saya mulai mengikuti arusnya. Toh ini adalah tanggung jawab saya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya juga menemui banyak mahasiswa lama yang awalnya memang memiliki idealisme demikian, sebelum akhirnya mereka juga seperti saya, pasrah dan hitung-hitung bisa lulus tanpa ancaman drop out. Mereka mulai pasrah akan nasibnya, seperti saya bilang, dengan atau tanpa bayangan DO dari kampus. Berulang kali dibina, namun jawabnya tetap sama. Alibi dengan proses yang berbeda-beda di tiap orangnya.

“Lebih baik lulus disaat yang tepat,” tutur salah seorang kakak tingkat saya yang telah terbayangi DO di depan mata. Tanpa bermaksud mencari pembenaran, saya setuju dengan pernyataannya. Lulus disaat yang tepat. Entah itu molor berapa semester, atau cepat di awal semester, asal tanggung jawab selesai.

Saya sendiri, optimis sekali bakal molor waktu studinya. Sudah terlihat diawal-awal. Dikarenakan beberapa hal yang membuat saya agak “gila” telah mengorbankan banyak hal dan waktu, dan dianggap terlalu nekat atau bahkan badung.

Ya, bisa dibilang saya ogah-ogahan di kelas. Saya cenderung lebih aktif di kegiatan luar kampus. Seperti membina anak jalanan, mengajar anak-anak tuna rungu, menjadi relawan dari sebuah yayasan anak yang terkena kanker, dan mencari pengalaman diluar kelas. Jangan ditiru. Pendidikan akademik itu tetap yang terbaik, jalan yang saya ambil tidak untuk kalian tiru. Walau kalian boleh-boleh saja. Terserah kalian saja. Asal tahu resiko dari perbuatan kalian.

Santai. Dalam hal akademik saya cukup santai. Ada tugas ya dikerjakan, dan selalu tepat waktu. Saya tidak tahu mengapa itu bisa terjadi. Jadi jangan tanya. Saya hanya berusaha. Dalam hal akademik dalam kelas, saya tidak begitu risau.

Di lingkungan kampus sendiri, tentunya banyak teman-teman saya yang prosesnya lebih cepat daripada saya. Ada yang menjuarai lomba karya tulis ilmiah, lomba debat, PKM nya disetujui, dan berbagai hal lain yang membuat saya minder karena sampai detik ini saya merasa belum mencapai apa-apa. Perlombaan yang saya ikuti mungkin hanya setingkat penulisan puisi atau cerpen yang mentok jadi juara harapan atau terbaik ketiga.

IPK saya tentunya jauh dibawah teman-teman saya, walau ternyata aman dan lumayan tinggi bagi saya yang usahanya belum mumpuni. Tapi sekali lagi, saya tidak merisaukannya. Saya focus mencari skill dan mengembangkannya. Dicap seseorang sebagai wanita tanpa keistimewaan apa-apa membuat saya merasa dendam dan ingin menunjukkan yang terbaik. Walau bukan di dunia perkuliahan. Mencari kehidupan yang sebenarnya, itu adalah tujuan.

Memang, saya sudah terbiasa menghadapi kerasnya kehidupan dengan berbagai problematika yang muncul mendadak dan bersama-sama. Nah, jika kalian mencari jawaban mengapa saya begitu santai, jawabannya adalah karena saya terlalu lelah hingga saya bingung untuk melakukan apa-apa.

“IPK itu tidak penting. Hanya sekedar angka-angka belaka. Yang penting kamu punya skill yang bisa diandalkan,” tutur salah seorang kakak tingkat disebuah kedai kopi malam itu waktu berbincang dengan saya. Ia adalah mahasiswa semester akhir yang nilainya terbilang pas-pasan namun bisa menjual produk pencuci piringnya sendiri. Bisa dibilang, ia adalah wirausahawan yang sukses untuk ukuran teman-teman sebayanya. Ia pekerja keras dan saya setuju dengan perkataannya, walau pasti diantara kalian ada yang was-was. Tidak mengapa, perasaan seperti itu jangan ditipu. Cukup nikmati saja. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Memang, teman-teman saya banyak yang meriusaukan angka-angka itu. Merosot nol koma sekian saja sedihnya menjadi-jadi. Mereka tidak tahu bahwa ada yang merosot banyak namun masih tetap terlihat baik-baik saja. Jika kalian pernah menjumpai meme yang serupa seperti yang saya bahas, mungkin kalian akan paham. memang mereka mengkhawatirkan masa depannya yang tergantung pada IPK, atau anak-anak pejuang beasiswa yang memerlukan IPK nya tetap baik. tak mengapa, itu juga bagus. kalian adalah pejuang juga. Ini hanyalah masalah relativitas. Bukan bermaksud pembandingan.

Selama ini, saya bertemu banyak orang yang hebat dan menginspirasi. Tidak muluk-muluk soal Bill Gates atau Mark Zuckerberg. Namun orang sederhana, yang belum terjamah hidupnya. Yang lebih berharga kisah hidupnya, bijaksana pemikirannya, tertata bahasanya, ataupun mengharukan perjuangannya. Salah satunya adalah kakak tingkat saya yang seorang wirausahawan sabun cuci piring tadi.

Ada juga yang tidak terlalu menonjol di kampus, namun dia menjadi relawan yang loyal, contoh berikutnya adalah mereka yang mengabdi setulus hati. Prestasi bukanlah soal angka yang harus kamu raih, prestasi bukanlah soal kamu yang terbaik dalam tiap ujianmu, bukanlah soal nilai. Tapi prestasi adalah soal pengembangan diri. Kamu lebih baik dari kemarin saja sudah termasuk prestasi. Kamu bisa bangun pagi tepat waktu, merapihkan kamarmu, itu sudah termasuk prestasi. Ayolah, hargai hal-hal kecil dalam hidup maupun diri kalian.

Saya sendiri, yang sadar bahwa saya biasa-biasa saja, mulai mencari jati diri. Ditolak berkali-kali oleh media, saya memulai lebih baik magang saja disebuah media atau tempat lain. Petualangan pertama adalah di Majalah Surabaya City Guide (dikenal dengan SCG). Saya bertemu dan belajar lebih cepat tentang dunia kepenulisan di sana.

Banyak rupanya dari mereka yang IPK nya bisa dibilang rendah dulunya, tidak mengikuti kegiatan apa-apa dan molor waktu studinya. Saya merasa bahwa mereka bisa mendengarkan saya karena rata-rata usianya jauh diatas usia saya. Yah, mereka adalah orang-orang hebat, tak perlu retorika ndakik-ndakik, tak ada pandangan meremehkan ketika saya tidak bisa melakukan tugas dengan baik, tak ada kerut wajah tidak enak.

Mereka welcome dengan kehadiran saya, mereka menerima segala kekurangan dan kelebihan saya, mereka rela mengajari saya banyak hal. Yah, saya belajar banyak dari orang-orang diluar sana. Pengembangan diri saya yang lain adalah ketika berbincang dengan masyarakat sekitar. Entah itu tukang becak, penyapu jalan, dan lain sebagainya. Orang-orang tangguh yang membuat saya tak bisa berhenti mengucap syukur.

Petualangan kedua adalah saya yang mencoba magang di Kearsipan Negara, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dan apply ke banyak media. Saya mulai melamar kemana pun saya ingin apply magang. Tidak ada yang tahu akan hal ini. Hanya orang-orang terdekat saya saja yang tahu dan mengetahuinya.

Iseng-iseng, disertai dengan harapan, saya mulai mengirim permohonan magang ke media. Menjadi jurnalis adalah keinginan saya sejak lama. Berbekal ilmu yang tidak seberapa yang saya dapatkan di Lembaga Pers Mahasiswa Islam. Saya nekat. Didorong keinginan tersebut, saya mengirim lampiran hasil karya tulis artikel, surat magang dan CV ke beberapa media. Diantaranya adalah Tirto.id, Tempo, Kompas.com, Detik.com, CNN, Alinea,bdan lain sebagainya. Entah media mana mana yang akan menerima saya. Menunggu lama sekitar 6 bulan (bahkan saya sendiri sudah lupa kapan saya kirim email ke mereka), akhirnya ada pemberitahuan dari salah satu media tersebut. Senang dan antusias tentunya!

See? Jangan anggap diri kalian rendah jika kalian terlambat berproses. Tidak mengapa kalian berjalan sementara teman-teman kalian berlari, toh pemandangan akan lebih indah dinikmati ketika berjalan. Jiwa kompetisi tidaklah salah, namun menerima diri sendiri dan mengembangkan potensi yang dipunya akan menimbulkan perasaan lega.

Orang-orang hebat tidak melulu lahir secara instan, mereka membutuhkan waktu ditempa. Jangan malu jika kalian lulusnya lama, jangan malu ketika kalian mengulang salah satu atau bahkan beberapa mata kuliah. Tidak mengapa kalian tidak lulus tepat waktu asal kalian mendapat pengalaman berharga, tidak mengapa asal waktu kalian tidak terbuang sia-sia. Jangan berkecil hati atau insecure terhadap diri sendiri. Nikmati saja, pasti sampai pada tujuan yang kalian idamkan!

Ikuti tulisan menarik Uswah Hasanah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler