x

Suasana ruang Pelayanan Terpadu Kelurahan Tebet Timur, Jakarta Selatan, pada hari pertama masuk bagi PNS, Kamis, 21 Juni 2018. Tempo/Adam Prireza

Iklan

Uswah Hasanah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Mei 2020

Kamis, 28 Mei 2020 07:17 WIB

Sebuah Kritik terhadap Etika Pelayanan Publik

Dalam menjalankan tugas, keikhlasan tentu saja diperlukan. Apalagi bagi Aparatur Sipil Negara yang terjun dalam pelayanan publik atau masyarakat. Adab dalam melakukan pelayanan juga harus diperhatikan. Dalam hal ini, kita sama-sama harus belajar etika

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lima tahun yang lalu, saat saya genap berusia 17 tahun, sebagai warga Negara yang baik saya tentu mulai membuat Kartu Tanda Penduduk atau KTP. Saya dan teman saya kemudian pergi ke dinas penduduk dan pencatatan sipil (Dukcapil) Mojokerto untuk mengurusi KTP.

Awalnya memang berjalan lancar. Petugas yang berjaga di depan kantor mengarahkan dengan ramah, pun dengan anak SMK yang magang sebagai penjaga tiket antrian. Mereka ramah. Namun, permasalahan dimulai ketika kami memasuki sesi foto. Teman saya yang mendapat antrian duluan tentu saja masuk lebih dulu. Beberapa menit kemudian, dia keluar dengan wajah merengut.

Saya bertanya ada apa, “Petugasnya tidak enak. Wajahnya tidak ramah. Tidak ada senyumnya sama sekali. Galak” katanya. Saya hanya membatin, "Oh mungkin petugasnya kelelahan dengan banyaknya pengunjung hari itu."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tiba giliran saya, dan memang benar apa yang teman saya katakan. Mereka galak, tidak ramah, tidak ada senyumnya sama sekali dan mereka bersuara keras ketika mengarahkan saya untuk melakukan ini-itu. Saya mencoba memaklumi mereka yang masih magang dan mungkin belum terbiasa dengan pressure yang sedemikian rupa.

Dua minggu kemudian saya dan teman saya kembali untuk mengambil KTP cetak kami. Ketika nama kami dipanggil dan kami mengambil barang kami ke petugasnya, kami tidak menyangka bahwa KTP kami akan dilempar begitu saja di depan meja kami sambil berkata, "Selanjutnya" dengan suara keras dan tidak mengenakkan. Kami tentu saja kaget dan tidak menyangka akan mendapat perlakuan sedemikian rupa. Kami pergi dengan perasaan dongkol dan sumpahan serapah kepada para Aparatur Sipil Negara yang harusnya melayani masyarakat dengan ramah. Bukankah itu menunjukkan etika yang baik bagi kaum berseragam yang dibangga-banggakan itu?

Terjadi empat tahun yang lalu, saya bersyukur tidak melupakannya. Entah mengapa.

Dan terjadi lagi hari ini, saya mengambil beras bantuan di salah satu rumah punggawa desa. Baru saja mau bilang, wajah mereka tidak ada senyum sama sekali. Bahkan ketika saya ajak bicara, mereka diam saja dan menatap saya dengan tatapan sinis.

Sebenarnya saya biasa diperlakukan sedemikian rupa sejak lama oleh orang-orang. Namun, saya bertanya dalam hati kecil saya, “Apakah begini perlakuan pelayan publik kepada masyarakat?”

Saya berusaha positive thinking kalau saya memang yang salah, walau saya tidak tahu salah saya dimana. Yah, mungkin memang saya pernah membuat mereka marah atau apa. Namun saya mengingat kembali, saya tidak pernah berinteraksi dengan mereka atau terlibat urusan bersama mereka.

Saya pulang membawa berasnya dengan tanda tanya. Beberapa kali diperlakukan sedemikian rupa oleh Aparatur Sipil Negara dengan tidak ramah, apakah mereka tidak tahu etika pelayanan publik?

Sejak kecil saya dididik oleh bapak saya bahwa sebenci-bencinya kamu dengan seseorang, seburuk-buruknya harimu saat itu, sebanyak-banyaknya masalahmu, kamu harus menghadapinya dengan senyuman. Sebab senyum itu memperindah wajah tanpa biaya.

Kata-kata dari bapak itu saya pegang sejak lama dan saya terapkan dalam keseharian. Teman-teman saya memang tahu hari saya buruk, mereka tahu saya depresi, namun mereka juga tahu, bahwa saya ini anak yang kuat. Gara-gara apa? Saya selalu tersenyum, seolah-olah saya kuat padahal saya juga ambyar berkeping-keping.

Selain memperindah wajah tanpa biaya, ternyata senyum memang multifungsi ya? Menyembunyikan kesedihan dan menguatkan keadaan. Selain tentunya menjaga etika kepada orang lain. Senyum tentunya menunjukkan keramahan, tak akan ada ruginya jika kamu bersikap ramah atau tersenyum pada orang lain. Apalagi itu adalah kalangan ASN yang melayani publik.

Berdasarkan pengertiannya sendiri, Pelayanan publik berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 yaitu kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Jadi, pelayanan publik merupakan usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat dari penyelenggara pelayanan publik.

Menurut Denhardt (dalam Keban, 2008: 168) etika pelayanan publiK diartikan sebagai filsafat dan professional standart (kode etik), atau moral atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik. Definisi Denhardt tersebut menekankan etika pelayanan publik sebagai kode etik. 

Selain itu, Rohman, dkk (2010: 24) mendefinisikan bahwa etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik.  Definisi Rohman dkk tersebut menekankan penggunaan nilai-nilai luhur dalam pelayanan publik.

Jadi, jelas bahwa etika pelayanan publik merupakan penggunaan nilai-nilai luhur oleh seorang administrator dalam memberikan pelayanan publik. Nah, apakah contoh yang saya singgung diatas menerapkan etika pelayanan publik dengan baik berdasarkan nilai-nilai luhur? Hemmmm…..

 

Ikuti tulisan menarik Uswah Hasanah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu