x

Sjumlah calon penumpang dengan mengenakan masker menunggu rangkaian KRL Commuterline di Stasiun KA Tanah Abang, Jakarta, Sabtu, 16 Mei 2020. Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia akan menghadapi kehidupan normal yang baru (New Normal) di mana masyarakat harus hidup berdampingan dengan COVID-19 sehingga protokol kesehatan akan terus diterapkan secara ketat dalam waktu mendatang. ANTARA

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 31 Mei 2020 05:26 WIB

Normal Baru Butuh Konsistensi

Kesiapan menghadapi normal baru bukan hanya dari warga, tapi juga dari pemerintah dan kalangan kesehatan--fasilitas pemeriksaan, perawatan, peralatan, maupun tenaga medis. Tenaga medis akan bekerja keras lebih lama apabila upaya pemerintah dalam membatasi kasus-kasus baru tidak dilakukan secara optimal karena kurang konsisten.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Bagai diembus serentak ke berbagai kanal media sosial dan mainstream, istilah the New Normal atau normal baru kini memasuki ruang-ruang virtual warga. Argumen new normal disebarluaskan untuk meyakinkan masyarakat bahwa kita harus siap segera hidup berdampingan dengan virus corona mengingat vaksin anti corona belum ditemukan. Argumen ekonomi juga disodorkan: tidak semua orang mampu tetap tinggal di rumah dan terus hidup tanpa bekerja di luar rumah--tabungan yang menipis atau malah sebelumnya kosong, sedangkan pemasukan tidak ada. Banyak orang butuh pekerjaan. Banyak perusahaan akan tumbang bila tidak berproduksi secara berkepanjangan.

Oleh sebagian netizen, mungkin saja postingan normal baru yang mewabah itu diterima sebagai kebenaran begitu saja. Sudah menjadi kelaziman bahwa postingan apapun oleh penerima akan diteruskan ke orang lain atau ke grupnya tanpa diembel-embeli komentar apapun, apa lagi disertai catatan kaki atau catatan kritis. Kelaziman itu terbentuk karena materi postingan yang diterima barangkali sesuai dengan apa yang ia angankan atau harapkan.

Banyak netizen yang berperan sebagai distributor postingan tanpa cadangan rasa ingin tahu akan kebenarannya. Pokoknya kirim. Mungkin pula, sebagian besar netizen terbujuk oleh paragraf akhir materi postingan yang lazimnya berisi bujukan, imbauan, atau ajakan untuk menyebar kebaikan dengan mengirim postingan tersebut ke nomor-nomor kontaknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai gagasan, materi postingan itu menyebar dari satu gadget ke gadget lain dan tampaknya tanpa argumen pembanding ataupun pertanyaan apapun. Pertanyaan itu umpamanya: kapankah waktu yang tepat untuk kita memasuki normal baru? Apabila angka kasus positif Covid-19 belum lagi menurun secara konsisten dan wabah belum benar-benar terkendali, haruskah kita memaksakan diri untuk buru-buru beraktivitas di luar rumah?

Walaupun protokol kesehatan untuk new normal sudah dibuat, bagaimana protokol akan dipraktikkan secara patuh, baik oleh warga maupun pembuat aturan? Bagaimana pula perlindungan bagi yang sangat rentan terpapar virus Corona: mereka yang punya riwayat sakit lain, berusia lanjut, tinggal di permukiman padat, maupun sebab-sebab lain? Bagaimana protokol pengendalian risiko penyebaran kasus-kasus impor jika orang-orang asing dipersilakan masuk: wisatawan, pebisnis, ratusan tenaga kerja asing, dan sebagainya?

Hasrat untuk menormalkan gerak ekonomi memang dapat dimengerti, namun keselamatan jiwa warga tetaplah harus diprioritaskan. Harus ada kepastian dan keyakinan bahwa wabah sudah benar-benar terkendali. Apabila kasus positif Covid-19 kembali meningkat tajam, maka roda ekonomi akan sulit berjalan seperti yang diinginkan. Kita akan kembali sibuk merawat yang sakit dan membatasi penyebaran virus, tamu dari luar negeri pun akan enggan mengunjungi Indonesia karena penanganan dianggap tidak optimal.

Kesiapan menghadapi normal baru bukan hanya dari warga, tapi juga dari pemerintah dan kalangan kesehatan--fasilitas pemeriksaan, perawatan, peralatan, maupun tenaga medis. Tenaga medis akan bekerja keras lebih lama apabila upaya pemerintah dalam membatasi kasus-kasus baru tidak dilakukan secara optimal karena kurang konsisten.

Banyak kebiasaan baru yang harus kita jalani dalam normal baru, dan mengubah kebiasaan bukanlah perkara mudah. Aturan memang penting untuk ditegakkan, tapi konsistensi tidak kalah penting. Aturan yang berubah-ubah sangat dinamis hanya akan membingungkan masyarakat. Pengalaman tiga bulan yang baru lalu mestinya jadi pelajaran berharga bagi kita semua: bukan hanya warga yang dituntut untuk disiplin mengikuti aturan dan protokol kesehatan, tapi pembuat aturan pun mesti menjalaninya secara konsisten dengan cara yang baik, benar, dan adil. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler