x

Sekelompok warga melintasi Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, memakai masker antisipasi wabah virus corona. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 31 Mei 2020 10:08 WIB

Setelah Lima Bulan Bersama Corona

Sudah lima bulanan (Januari – Mei 2020) corona telah menelanjangi hampir semua lini kehidupan manusia di seantero jagat. Ia telah menjangkiti lebih 6 juta orang dan merenggut nyawa lebih dari 360.000 orang. Kasus aktif masih lebih dari 3 juta orang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah lima bulanan (Januari – Mei 2020) corona telah menelanjangi hampir semua lini kehidupan manusia di seantero jagat. Ia telah menjangkiti lebih 6 juta orang dan merenggut nyawa lebih dari 360.000 orang. Kasus aktif masih lebih dari 3 juta orang.

Dan belum banyak yang tersingkap tentang tabiat sang virus, tingkat intensitas persebarannya dan bahkan asal-muasalnya kembali dipertanyakan: alami atau rekayasa? Dan jawabnya belum beranjak dari asumsi awal: corona masih misteri.

Akibatnya, banyak orang pintar jadi bego; yang kuat terlihat lemah; yang berkuasa tampak dan bahkan tergerus kontrol kekuasaannya; yang memang sudah lemah dan rentan makin cemas saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para ulama agama sibuk menggali ulang dalil dan argumentasi dari teks-teks suci atau yang semi suci untuk menjustifikasi fatwa yang merespon akibat hukum dari pagebluk.

Di berbagai ruang laboratorium yang steril, jajaran pakar virologi dan epidemi masih bingung untuk menuntaskan riset obat dan vaksninya.

Para sosiolog, yang memang tidak eksak itu, berbusa-busa mulutnya dalam berargumentasi tentang dampak sosiologis pagebluk.

Para ahli sains dan matematika sibuk dengan angka-angka dan pergerakan kurvanya, untuk memprediksi kecenderungan persebaran wabah corona, yang perkiraannya hampir semuanya meleset.

WHO yang menjadi “rujukan” semua negara, tampak lebih sibuk dan hanya mampu mengadvokasi tindakan dan langkah pencegahan. Akibatnya , banyak orang kemudian berasumsi takkan jauh bedanya jika pun diasumsikan WHO tak pernah ada.

Lalu ahli ekonomi sudah sigap dengan perkiraan angka-angka pertumbuhan ekonomi dan moneternya. Para ekonom maunya sih, nggak perlu ada lockdown atau social distancing.

Keceriaan di ruang-ruang kelas sekolah dan kampus, berganti dengan belajar online yang hambar. Corona merenggut keceriaan jutaan siswa sekolah, yang kangen bercanda dengan sesama teman.

Ribuan dan bahkan jutaan orang tiba-tiba kehilangan pekerjaan; yang tetap bekerja, gajinya tak utuh lagi. Semua kebijakan stimulus ekonomi, yang memang dirancang sebagai tindakan darurat, efeknya hanya cukup untuk menyambung hidup.

Lalu banyak orang berdemo menuntut lockdown dan social distancing segera dilonggarkan. Alasannya: seng makan mati, makan seng juga mati.

Efek lanjutannya adalah soal kesehatan jiwa, yang bakal menggerogoti pundi-pundi perusahaan asuransi kesehatan, bahkan setelah corona mereda.

Awalnya, banyak orang berasumsi akan mampu menanggulangi persebaran wabah corona. Tapi selama lima bulan ini, meski banyak kebijakan telah diambil dan diimplementasikan, tanda-tanda sukses penanggulangan itu belum memperlihatkan hasil yang menjanjikan.

Pilihan akhirnya menjadi krusial: pertama, mempertahankan lockdown dan pembatasan sosial dengan risiko semua lini bangkrut atau semi-bangkrut; atau kedua, melonggarkan lockdown dan pembatasan sosial dengan risiko menghadapi gelombang lanjutan wabah yang mungkin bisa lebih tak terkendali. Jawabannya: yang paling mungkin dilakukan adalah new normal.

Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 31 Mei 2020/ 08 Syawwal 1441h

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler