x

Drs. Supartono, M.Pd.

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 1 Juni 2020 08:19 WIB

Langkah Keniscayaan Ketua Umum PSSI

Demi visi-misi tujuan mencapai prestasi dan penyelamatan PSSI, langkah Ketua Umum adalah keniscayaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kini ada yang mengungkapkan bahwa PSSI sudah seperti perusahaan milik sendiri, bisa jadi benar bila ditinjau dari dasar hukum PSSI bernama Statuta. 

Namun, bila roda organisasi PSSI tetap dijalankan harus "plek" sesuai statuta seperti yang sudah 90 tahun terjadi, maka  sepak bola nasional akan tetap terpuruk dan mustahil akan dapat meraih prestasi. 

Pasalnya, selama ini, statuta PSSI yang merujuk FIFA, dalam praktiknya, hanya menjadi kendaraan pihak-pihak yang berkepentingan dan bersama-sama voter bermain-main untuk kepentingan dan tujuan kelompok dan gerbong "mereka". 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sehingga, statuta PSSI tak ubahnya "Raja atau Ratu" yang tidak dapat disentuh apalagi di lawan oleh "rakyat". Dalam hal ini jelas, pemilik statuta itu adalah voter, dan voter pun menentukan jumlah voter dan kepentingan voter yang bersembunyi di balik statuta yang para voter ciptakan. 

Bila di Negara Kesatuan Republik Indonesia ada UUD 1945 yang amanah intinya dari, oleh, dan untuk rakyat, maka statuta PSSI yang menginduk "Kerajaan FIFA" menjadi dari voter, oleh voter, untuk voter. 

Organisasi PSSI yang ada di dalam NKRI, dengan statuta yang dari, oleh, dan untuk voter, tidak bisa disentuh serta dicampuri pemerintah RI apalagi direcoki rakyat atau publik pecinta sepak bola nasional. 

Anehnya, mengapa di negara lain, federasi sepak  bolanya dapat berprestasi untuk negara dan rakyat?

Artinya, atas kondisi ini, PSSI itu ibarat negara di dalam negara. Meski sepak bola menjadi olah raga yang paling digemari rakyat, bahkan Indonesia adalah temasuk negara terbesar yang rakyatnya gemar sepak bola, namun, rakyat yang selama ini menghidupi sepak bola, suporter membeli tiket dan atribut klub, sponsor mau terlibat karena pangsa massa suporternya, media televisi mau membeli hak siar, karena rating dan jumlah pemontonnya. 

Dari mana sepak bola nasional yang dikelola oleh PSSI dan Liga 1 dan 2 diampu oleh kepanjangan tangan PSSI bernama PT LIB bisa mengais uang? Karena statuta, para voter menjadi penguasa tertinggi PSSI, rakyat dan pemerintah yang selama ini mendukung dengan "dana dan fasilitas" hanya menjadi penonton dan orang luar. Tidak bisa menyentuh, masuk ke dalam, apalagi terlibat dalam roda kegiatan PSSI. 

Luar biasa, olah raga yang sangat digemari rakyat Indonesia, dibiayai oleh rakyat lewat berbagai stakehlolder terkait, hanya menjadi milik para voter dalam berbagai hal dan ketentuannya. 

Publik pun paham, jumlah voter dan para voter yang diatur oleh para voter dalam setiap Kongres Luar Biasa (PLB) PSSI, akan selalu dibuat dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan para voter yang bergerbong-gerbong, demi keuntungan mereka. Toh, pemerintah dan rakyat tetap tidak akan dapat ikut campur dan menyentuhnya. 

Sehingga, masalah sepak bola nasional akan berprestasi atau tidak, bukan urusan pemerintah atau rakyat Indonesia. Sebab, kerajaan PSSI yang dilandasi, dipagari, dan diatapi "statuta", tak akan ada ruang bagi pemerintah dan rakyat menembus ke dalamnya. 

Andai pemerintah dan rakyat Indonesia ingin sepak bola nasional berprestasi, itu terserah voters dan statuta PSSI yang tetap kokoh dan mencengkram PSSI. Karena itu, sebab PSSI ada di dalam NKRI, sejatinya pemerintah boleh berkoordinasi kepada FIFA, agar PSSI dibekukan dulu, lalu dibawah arahan pemerintah, di buat statuta PSSI yang amanah, di dalamnya menentukan voter baru yang tetap merujuk statuta FIFA. 

Setop orang-orang lama dan voter lama ada di lingkungan organisasi PSSI. Bila ini dilakukan, maka penjajahan sepak bola nasional oleh statuta dan voter akan usai. 

Kembali menyoal Ketua Umum PSSI, yang kini dipandang sebagai pemilik perusahaan sendiri, yakin publik sepak bola nasional juga memahami dan juga mengerti mengapa Ketua Umum bertindak seperti itu. 

Bahkan Ketua Umum Moch. Iriawan alias Iwan Bule yang duduk di “kursi panas” PSSI, sejak 2 November 2019, sudah dianggap sering melakukan off side, alias melanggar Statuta PSSI. Iwan Bule malah dianggap terbiasa melakukan diskresi, yaitu kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi (KBBI). 

Dengan demikian, Iwan Bule dianggap sudah kelewatan, dan melanggar seenaknya rambu-rambu Statuta PSSI. Hal yang dianggap menyalahi statuta adalah saat menunjuk adik iparnya, Maaike Ira Puspita, sebagai Wakil Sekjen PSSI. Berikutnya, saat Kamis, 28 Mei 2020, merekrut dua orang pensiunan jenderal TNI sebagai staf khususnya dan saat menunjuk plt PT Liga Indonesia Baru (LIB). Kira-kira pasal berapakah? Publik sepak bola nasional dapat menelusurinya. 

Akibat pelanggaran Iwan Bule, yang lebih menyeramkan, banyak pihak yang telah beropini baik di media massa maupun di blog pribadi bahwa jalan satu-satunya hanya Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI, untuk menggusur Iwan Bule, yang seolah-olah paham aturan, tapi doyan dan hobi melanggar aturannya sendiri. 

Bagi saya, atas pemahaman menyoal Kedudukan FIFA yang lebih tinggi dari sebuah kerjaan di jagat ini, kedudukan PSSI dan Statutanya yang tidak dapat disentuh pemerintah dan rakyat di dalam NKRI, maka "niat baik" Ketua Umum PSSI yang sekarang dianggap melanggar statuta dan suka melakukan diskresi adalah sebuah keniscayaan karena PSSI harus diselamatkan. 

Sepak bola nasional harus berprestasi. Keniscayaan atau keadaan yang tentu, pasti, dan tidak boleh tidak yang kini dilakukan oleh Ketua Umum PSSI dengan anggapan melakukan diskresi, karena belenggu statuta, maka para voter yang kini dalam roda organisasi sudah diwakili Exco, harusnya bijak dan melihat situasi dan kondisi. 

Ayo para voter dan Exco PSSI, sadarlah, pakai hati nurani Anda. Mengapa Ketua Umum melakukan hal seperti demikian? Pemerintah dan rakyat Indonesia sangat mendambakan prestasi sepak bola nasional. 

Bila Anda yang kini ada dibalik statuta PSSI tetap bergeming dengan kepentingan "gerbongnya" maka, barangkali tidak salah bila PSSI kembali dibekukan saja, agar kalian "enyah". 

Sekali lagi, apa yang kini dilakukan oleh Ketua Umum PSSI adalah "keniscayaan" sesuai visi-misi dan tujuan! Memang harus dilakukan dalam rangka menyelamatkan sepak bola nasional, menyelamatkan semua kelompok timnas, menyelamatkan Piala Dunia U-20, dan dalam rangka mengais prestasi untuk bangsa dan negara, bukan untuk kelompok dan gerbong-gerbong yang masih bernafas "mafia". 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler