x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 1 Juni 2020 12:57 WIB

Lutut sebagai Simbol: Dari Represi ke Penghormatan

Lutut bisa menjadi simbol represi--penindasan dalam relasi kuasa yang tidak seimbang antara polisi yang mungkin merasa berhak melakukan apapun dan warga yang tak berdaya karena diborgol dan dibaringkan tengkurap di atas aspal jalan. Namun warga mampu mengubahnya menjadi simbol penghormatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dengan tubuhnya yang tinggi besar, tak terbayangkan besarnya tekanan yang disalurkan Derek Chauvin, polisi Minneapolis, melalui lututnya ke tengkuk George Floyd yang berujung pada kematian lelaki berkulit hitam itu. "Aku tak bisa bernapas," kata Floyd berusaha memberitahu Chauvin, yang entah kenapa tak menggubris kata-kata menjelang tarikan napas terakhir Floyd itu.

Dalam peristiwa naas itu, lutut menjadi simbol represi--penindasan dalam relasi kuasa yang tidak seimbang antara polisi yang mungkin merasa berhak melakukan apapun dan warga yang tak berdaya karena diborgol dan dibaringkan tengkurap di atas aspal jalan. Sebagaimana bagian-bagian tubuh manusia lainnya, lutut pun memiliki makna. Dalam konteks tragedi kematian Floyd, lutut menjadi simbol represi dan kesewenangan kuas.

Represi itu sangat mungkin diwarnai oleh aroma racism profiling yang diwarnai prasangka bahwa karena George Floyd berkulit hitam maka ia dapat diduga memakai uang palsu untuk transaksi jual-beli. Protes yang menjalar dari satu kota ke kota lain di AS memperlihatkan bahwa banyak warga kulit putih yang muak dengan perilaku polisi yang dianggap kerap menyudutkan warga berkulit bukan putih.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Massa memiliki daya isap yang menarik kekuatan individu dan kemudian mengekspresikannya kembali sebagai kekuatan massa. memang tidak mudah dikendalikan. Ketika seseorang tenggelam di tengah massa, kekuatan-kekuatan yang semula tersimpan dalam individu akan mencuat; ketakutan yang semula menyelimuti akan berubah jadi keberanian; keramahan yang semula menghiasi wajah berganti jadi amarah. Ketika tenggelam di dalam massa, seseorang kehilangan sebagian dirinya dan menyerahkan sebagian dirinya yang hilang itu untuk jadi bagian dari massa.

Kerusuhan, karena itu, sukar dihindari ketika massa bergerak di kota-kota Amerika memprotes perlakuan polisi yang berujung pada kematian Floyd. Sebagian pemrotes niscaya penyeru keadilan yang sejati. Sebagian lainnya barangkali para penunggang yang senang menikmati panggung pelepas kepengapan hidup mereka. Bahkan, mungkin pula sebagian lainnya mencari peluang untuk membakar dan menjarah.

Namun, di Santa Cruz, California, sebagian masyarakat dan polisi setempat mengubah simbol lutut dari represi menjadi penghormatan. Dalam satu momen, Sabtu (30 Mei 2020), warga dan polisi bersama-sama berlutut di trotoar dan tepi-tepi jalan. Dalam hening sejenak, mereka mengenang George Floyd dan kematian tragisnya di kaki seorang polisi. Bagi mereka, lutut bukanlah alat penindasan, melainkan jalan penghormatan bagi mereka yang menjadi korban kesewenangan.

George Floyd, seorang warga biasa yang mendadak jadi mashur dalam tragedinya, telah berpulang. Setiap yang berjiwa, sesungguhnya, berhak atas kematian yang layak. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler