x

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 2 Juni 2020 17:19 WIB

Stop Pemberangusan Suara Kritis

Mungkin terlalu berlebihan menyamakan pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan Soeharto. Namun tak salah pula jika sebagian kalangan khawatir “masa kegelapan” seperti di bawah penguasa 32 tahun Orde Baru itu bakal kembali, setelah melihat berbagai pemberangusan dan teror terhadap suara kritis akhir-akhir ini. Agar tidak jauh memburuk, Presiden Jokowi sepatutnya memerintahkan pengusutan berbagai tindakan inkonstitusional tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*)Naskah ini diambil dari Tajuk Koran Tempo, 2 Juni 2020

Mungkin terlalu berlebihan menyamakan pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan Soeharto. Namun tak salah pula jika sebagian kalangan khawatir “masa kegelapan” seperti di bawah penguasa 32 tahun Orde Baru itu bakal kembali, setelah melihat berbagai pemberangusan suara kritis akhir-akhir ini.

Teror terhadap penyelenggara diskusi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada merupakan contoh terakhir pemberangusan itu. Memang, kita belum mengetahui siapa pelaku intimidasi yang membuat diskusi berjudul "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" itu dibatalkan. Meski begitu, pelakunya jelas bukan orang yang iseng mengingat modus teror yang sistematis.

Sangat mengherankan, ada pihak yang ketakutan atas penyelenggaraan diskusi mahasiswa. Padahal, acara daring itu hanya membahas soal teori pemakzulan presiden dengan mendatangkan guru besar tata negara. Secara teori, pemecatan presiden di tengah periode pemerintahannya dimungkinkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Syarat dan prosedurnya cukup panjang. Secara praktik, usaha ke arah pemakzulan saat ini bukanlah perkara mudah, terutama karena Jokowi menguasai sebagian besar kekuatan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Usaha menggagalkan diskusi mahasiswa itu dengan intimidasi sangatlah keterlaluan. Selain memberangus kebebasan akademis dan menindas kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi, teror itu merupakan perbuatan kriminal. Pelaku meretas akun media sosial panitia untuk kemudian mengumumkan pembatalan diskusi. Mengatasnamakan unit kepolisian di Yogyakarta dan organisasi keagamaan, peneror mengancam akan membunuh panitia dan orang tuanya. Pengecut itu juga membajak akun sejumlah anggota panitia untuk memesan ojek online. Bentuk teror semacam ini mengindikasikan pelakunya bukanlah orang biasa.

Teror diskusi di Yogyakarta ini menambah panjang daftar intimidasi terhadap pengkritik pemerintah yang marak terjadi belakangan ini. Para pegiat hak asasi manusia memaparkan bahwa bentuk teror terhadap suara kritis selama pemerintahan Joko Widodo beragam, dari kriminalisasi, peretasan telepon seluler dan akun media sosial, pembunuhan karakter, hingga ancaman fisik.

Pada akhir tahun lalu, peretasan telepon seluler diarahkan kepada akademikus dan aktivis yang menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tindakan ilegal serupa diarahkan kepada Ravio Patra, peneliti dan aktivis yang mengkritik, antara lain, aktivitas staf khusus milenial Presiden. Ia kemudian dijadikan tersangka, disergap polisi di jalanan, diinterogasi tanpa pengacara, sebelum kemudian dibebaskan dalam status saksi karena tekanan publik.

Berbagai teror itu mengingatkan kita pada tekanan pemerintah Orde Baru terhadap kebebasan berpendapat. Agar tidak jauh memburuk, Presiden Jokowi sepatutnya memerintahkan pengusutan berbagai tindakan inkonstitusional tersebut. Ia juga semestinya meminta segala peretasan ilegal oleh aparat dihentikan. Tanpa sikap tegas Jokowi, tak salah jika orang membandingkannya dengan Soeharto.

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB