x

Foto untuk artikel.

Iklan

Elias Sumardi Dabur

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 3 Juni 2020 06:06 WIB

Bisakah China Digugat Terkait Covid-19?

Covid-19 membawa nestapa tidak hanya bagi raga manusia, tapi juga berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan. Situasi menekan ini menimbulkan lahirnya tuntutan hukum terhadap pemerintah China di sejumlah negara. Bagaimana prospek langkah-langkah hukum ini? Dapatkah China di adili di pengadilan negara-negara bagian AS? Apakah China bisa diadili di Mahkamah Internasional?  

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Covid-19 membawa nestapa tidak hanya bagi raga manusia, tapi juga berdampak buruk terhadap kondisi ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan. Situasi menekan ini menimbulkan lahirnya tuntutan hukum terhadap pemerintah China di sejumlah negara.

Sebagaimana dilaporkan dalam pemberitaan media-media, gelombang gugatan hukum terhadap China saat ini terus bergulir. Sejak Maret hingga Mei 2020 ada 10 upaya hukum yang diajukan, mulai dari negara bagian Missouri dan Nevada, Amerika Serikat (AS), menyusul Inggris, Australia dan India. Belakangan, negara-negara bagian lain di AS, seperti California,  Florida, pennyslavania dan Texas juga mengajukan tuntutan hukum.

Enam negara bagian di AS mengajukan gugatan perwakilan kelompok (Class Action) mewakili setiap orang, badan hukum, kelompok usaha yang mengalami penderitaan, kerugian, kerusakan akibat Covid-19. Tuntutan mereka hampir identik: putusan injenctive relief. Tuntutan ini tidak secara langsung menuntut ganti rugi uang (monetary benefits), tapi lebih kepada tekanan kepada tergugat untuk mengubah perilaku.

Sementara itu, penggugat lain dalam petitum  menuntut China melakukan reparasi karena melanggar kewajiban hukum internasional dengan tidak melaporkan kejadian Covid-19 secara cepat dan transparan.

Bagaimana prospek langkah-langkah hukum ini? Dapatkah China di adili di pengadilan negara-negara bagian AS? Apakah China bisa diadili di Mahkamah Internasional?

Imunitas Kedaulatan

Upaya litigasi ini sayangnya bakal berbenturan dengan tembok besar hukum dan non-hukum. Penghalang besar pertama soal sikap China. Dalam kasus nyata saja terkait sengketa territorial di Laut China Selatan di antara China dan Filipina, China menganggap putusan tribunal internasional yang memenangkan Filipina tidak lebih dari secarik kertas.

Apalagi, dalam perkara yang belum dapat dibuktikan secara saintifik bahwa virus Covid-19 ini berasal dari China. Hal ini bisa diikuti dari protes keras pemerintah China kepada Presiden AS, Donald Trump yang sempat memakai frasa “virus China” untuk menyebut Covid-19.

Kesulitan lainnya, China dilindungi prinsip hukum sovereign immunity (Kekebalan kedaulatan). Secara singkat, doktrin ini menentukan pengadilan negara asing tidak dapat mengadili negara dan pejabat negara asing. Prinsip ini merefleksikan asas hukum “Par in parem, imperium non habet.” suatu negara berdaulat harus menghormati perbuatan dari negara berdaulat lainnya. Dan hakim dari negara berdaulat yang satu tidak dapat mengadili tindakan dari negara berdaulat lainnya.

Dalam hukum internasional, kekebalan kedaulatan ini memiliki kedudukan kuat.  Pada 2002, Mahkamah Internasional (The International Court of Justice) menguatkan kembali akan pentingnya prinsip imunitas ini dalam rangka memfasilitasi relasi internasional yang positif dan  efektif dalam kerjasama antarnegara serta menjaga stabilitas politik global dan keamanan.

Dalam perkembangannya, imunitas ini memang tidak lagi absolut. Ada restriksi atau pembatasan-pembatasan tertentu. Misalnya, jika negara bertindak dalam fungsinya sebagai pedagang atau melakukan aktivitas ekonomi di negara lain, imunitas kedaulatan itu tidak berlaku. Namun, membuktikan bahwa sebuah negara menjalankan peran sebagai pedagang tidak mudah.  

Demikian pula, dalam kasus pelanggaran atau kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti, aksi terorisme, pembunuhan, agresi, pejabat negara bisa dimintakan pertanggungjawaban secara hukum di Mahkamah Internasional.

Di Amerika Serikat, asas hukum publik ini diadopsi dengan diundangkanya “Foreign Sovereign Immunity Act of 1976 (FSIA)”. Diadopsinya Undang-undang FSIA ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada negara asing dari beban litigasi. Selain itu, dalam sistem hukum AS dikenal pula yurisprudensi Act of State Doctrine. Suatu prinsip hukum yang didasarkan pada keadaan khusus tentang pembatasan kekuasaan. Bukan saja diakui kedaulatan dari negara-negara asing, bahkan pihak swasta asing dalam suatu proses peradilan dapat mengajukan Act of State Doctrine ini.

China tentunya mengajukan alasan yurisdiksi (imunitas primer) dan yurisprudensi Act of Stae Doctrine (imunitas sekunder) sebagai dasar pembelaan untuk menolak diadili di pengadilan-pengadilan negara-negara bagian AS.

Selanjutnya: Hukum Internasional Tentang Penyakit Menular

Ikuti tulisan menarik Elias Sumardi Dabur lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler