x

rakyat

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 3 Juni 2020 15:38 WIB

Sebab Rasis, Rakyat Amerika Demonstrasi dan Rusuh, Negara Lain Ikut Demonstrasi Solidaritas, Meski Menderita, Rakyat Indonesia Tetap Cintai Damai

Meski terus menderita dan merasakan ketidakadilan, rakyat Indonesia, cinta damai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat dunia dilanda pandemi corona, tidak ada yang menduga, tiba-tiba dunia dikejutkan oleh aksi demonstrasi yang diwarnai dengan penjarahan di Amerika Serikat (AS) akibat dari meninggalnya pria kulit hitam, George Flyd. 

Di lansir dari reuters, bukannya mereda, kerusuhan justru terus menggelinding dan membesar. Sebagai upaya untuk meredamnya, negeri adidaya tersebut mengerahkan Pasukan Garda Nasional ke 15 negara bagian dan Washington DC. 

Hingga kini demonstrasi yang diwarnai bentrok dengan aparat masih terjadi di Minneapolis, Boston, dan Washington. Di Minneapolis ribuan demonstran menggelar aksi pada Minggu malam di St Paul. Selama beberapa hari terakhir lebih dari 170 toko dijarah para warga yang tidak bertanggung jawab. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karenanya, selain mengerahkan Pasukan Garda Nasional, sedikitnya 40 kota di AS memberlakukan jam malam sebagai bentuk pencegahan. Presiden AS Donald Trump marah besar. Dia menyebut para demonstran sebagai “penjahat” dan kelompok anarkis. “Bersikap tegaslah para wali kota dan gubernur dari Demokrat. Panggil pasukan Garda Nasional sekarang,” pinta Trump. 

Sementara, atas kondisi yang kini masih terus berlangsung, aktivis hak-hak sipil menilai, video penangkapan George Floyd pada Senin 25 Mei 2020, telah memicu luapan kemarahan yang telah lama membara di Minneapolis dan kota-kota di seluruh Amerika Serikat (AS) sebagai dampak bias rasial persisten dalam sistem peradilan pidana AS. 

Akibat video penangkapan Floyd yang viral ke seantero negeri dan memperlihatkan ia terengah-engah saat lehernya dijepit dengan kaki oleh seorang polisi sembari merintih, "Tolong, saya tidak bisa bernapas," sebelum akhirnya meninggal dunia. 

Akhirnya, menyulut protes yang menyebar dengan cepat, baik secara damai maupun rusuh, juga sebagai ekspresi ketidakpuasan nasional yang mendalam terhadap klaustrofobia sosial dan tekanan ekonomi akibat pandemi virus corona. 

Kendati, isu utama kerusuhan kini tidak lagi sekadar akibat meninggalnya Floyd di tangan polisi, namun lebih mengarah kepada hal rasial yang telah lama membekas, namun demonstranpun bukan hanya dari kalangan rakyat kulit hitam, tetapi warga kulit putih pun turut bersatu padu dalam aksi demostran, kerusuhan, hingga anarkisme dan penjarahan. 

Ini menunjukkan bahwa rakyat Amerika tidak ada yang takut dan merasa tertekan untuk bebas turun ke jalan. Itulah kebebasan demokrasi di Negeri Paman Sam, yang rakyatnya tidak takut diintimidasi atau diciduk aparat pemerintah. 

Meski, tak dapat dihindari, bila demonstrasi sudah melibatkan jutaan massa dan lawannya adalah aparat pemerintah, pasti ada kisah anarkis hingga penjarahan, terlebih dalam situasi dan kondisi rakyat sudah tertekan ekonomi, sosial, dan budaya, di masa sulit pandemi corona. 

Atas situasi dan kondisi di Amerika terkini, membaca berbagai berita di media massa "dunia", ada negara yang senang dengan kondolisi di Amerika, ada yang menyindir, dll. Tentu yang melakukan hal itu adalah seteru Amerika. 

Namun di luar sikap seteru Amerika, sejatinya banyak negara yang akhirnya berpikir  bahwa kerusuhan semacam itu, dapat saja meletus di negaranya. Sehingga hal ini benar-benar menjadi kewaspadaan setiap negara yang mengikuti peristiwa di Amerika, agar peristiwa demonstrasi, kerusuhan, penjarahan, dan anarkisme tidak meletus di negerinya. 

Dalam berita yang disiarkan televisi nasional siang ini, Rabu (3/6/2020), bahkan di beberapa negara pun turut dilanda demonstrasi sebagai solidaritas atas kematian Floyd. Seperti di Prancis, Inggris, Turkey, Argentina, dll.

Dalam beberapa grup media sosial, juga ada yang mengkawatirkan kondisi kerusuhan bisa saja ditiru oleh rakyat Indonesia di tengah himpitan dan penderitaan yang kini terus dilakukan oleh pemerintah di situasi pandemi corona. 

Rakyat cinta damai, pemerintah wajib bersyukur

Melihat demonstrasi, kerusuhan,  anarkisme, dan penjarahan di Amerika yang pemicunya karena meninggalnya Floyd dan isu rasisme, maka pemerintah Indonesia harus bersyukur, sebab rakyat Indonesia yang sejak kepemimpinan Presiden Jokowi, juga sangat tertekan dengan berbagai kondisi, namun hingga kini, rakyat masih tetap santun dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. 

Sebelum kerusuhan Amerika, dunia malah sudah terlebih dahulu menyaksikan demonstrasi besar-besaran para mahasiswa di sejumlah wilayah di Indonesia. Bahkan secara historis, demonstrasi itu boleh disebut sebagai demonstrasi terbesar para mahasiswa di seluruh Indonesia pasca-reformasi. Namun, ternyata, dalam tempo singkat, mahasiswa malah langsung, "terbungkam". 

Melansir  dari Kompas.com, (24/09/2019) pemicu demonstrasi, berbeda dengan di Amerika, yaitu karena ada sejumlah tuntutan mahasiswa terhadap DPR dan Pemerintah yang menuntut Presiden Jokowi membatalkan Revisi Undang-Undang Komisi Pembaratasan Korupsi dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). 

Berikutnya, memprotes Rancangan Undang-Undang Pertanahan dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan karena dinilai tak sesuai dengan amanat reformasi. 

Saat mahasiswa menggelar demostrasi di DPR, ada empat poin tuntutan mahasiswa, yaitu merestorasi upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Merestorasi demokrasi, hak rakyat untuk berpendapat, penghormatan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, dan keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan kebijakan. 

Lalu, merestorasi perlindungan sumber daya alam, pelaksanaan reforma agraria dan tenaga kerja dari ekonomi yang eksploitatif. Dan, merestorasi kesatuan bangsa dan negara dengan penghapusan diskriminasi antaretnis, pemerataan ekonomi, dan perlindungan bagi perempuan. 

Dengan demikan jelas, bahwa aksi para mahasiswa turun berdemonstrasi yang tanpa anarkis dan penjarahan adalah representasi dari ketidakpuasan rakyat Indonesia terhadap kinerja Pemerintah dan DPR pasca-reformasi dan akibat dari pemeruntahan Jokowi.

 Pasalnya, pemerintah dan DPR dinilai gagal mengemban amanat rakyat yang telah memilih mereka untuk menyelesaikan sejumlah agenda reformasi. 

Lebih parah lagi, pemerintah bahkan dinilai telah mengebiri reformasi. Reformasi dianggap telah dikorupsi oleh para elite politik yang telah menjadi boneka mainan para oligark dan korporasi-korporasi nasional dan transnasional. 

Ini semua akibat dari sikap dan tindakan elite politik yang semakin tidak tahu diri, pragmatis, oportunis, korup, dan oligarkis. Wajah pejabat-pejabat publik dipenuhi oleh elite-elite dengan karakter semacam itu, politik disulap menjadi sarana pemuasan nafsu pribadi. Kepentingan rakyat dinomorduakan. Rakyat bahkan menjadi objek penindasan dan eksploitasi. 

Ini jelas merupakan bentuk penghianatan yang luar biasa terhadap komitmen reformasi dan demokrasi. Ironisnya, semua sikap dan tindakan itu masih terus dipertunjukkan meski dalam situasi pandemi corona. 

Rakyat semakin sengsara dan menderita, masih terus ditindas dengan berbagai kebijakan yang tak memihak dan jauh dari pembelaan hati nurani. Jauh dari amanah. 

Seharusnya, setelah reformasi yang bertujuan untuk menjaga agar negara tidak terlalu kuat berhadapan dengan rakyat yang menjadi pemegang kedaulatan yang utama, maka negara tidak boleh melakukan kekuasan yang cenderung menjadi despotik (penguasa tunggal yang berbuat sekehendak hati; kepala negara atau raja yang menjalankan kekuasaan dengan sewenang-wenang), otoriter, dan totaliter. 

Kini sangat terasa, rakyat hanya menjadi boneka mainan para penguasa yang bisa ditarik ke sana kemari dan terus berada di bawah tekanan dan penindasan, yang hanya dibutuhkan suaranya demi mereka dapat duduk di singgasana.

Jelas, rakyat menjadi trauma terhadap kisah politik Orde Baru. Namun, atas semua sikap dan tindakan pemerintah yang akhirnya mendorong rakyat Indonesia untuk menghilangkan karakter negara dan penguasa yang demikian, sejatinya reformasi lanjutan dipandang sebagai angin segar yang membawa rakyat keluar dari suasana antipolitik dan antidemokrasi, maka lahirlah demonstrasi mahasiswa terbesar yang bahkan akibatnya memakan korban nyawa yang lebih dari satu nyawa, sementara di Amerika, nyawa Floyd menjadi pemicu demonstrasi dan rusuh. 

Tindakan represi yang dilakukan oleh sejumlah aparat menjadikan mahasiswa bungkam dan diam sampai sekarang. Tidak ada lagi wakil rakyat yang dapat merepresentasikan suara hati rakyat, karena harapan kepada mahasiswa menjadi mandul. 

Terlebih, siapa pun yang akan mengritik pemerintah, kini harus hati-hati. Sebab, pengkritik berpotensi terjerat Undang-Undang ITE. 

Dari  berbagai literasi dan sumber berita di media massa Indonesia, deretan peristiwa sejak kepemimpinan Jokowi, akhirnya terdeskripsi bahwa kepemimpinan Jokowi disebut sebagai antipolitik, antipikiran, dan antiintelektual. 

Apakah dengan kondisi seperti itu, rakyat Indonesia akan meniru rakyat Amerika dengan demonstrasi turun ke jalan menentang ketidakadilan dan kesewenangan? Apalagi, rakyat sudah tak dapat lagi berharap kepada mahasiswa yang seharusnya menjaga marwah (martabat dan kehormatan) reformasi. 

Dari pengalaman sejak demonstrasi mahasiswa di bungkam, mahasiswa dimandulkan, rakyat Indonesia masih "santun" dan menerima kondisi yang tidak adil dan tindakan kesewenangan pemerintah. 

Rakyat dan berbagai pihak di Indonesia, tetap masih santun melakukan kritik, meski lebih sering tidak didengar dan diabaikan. Bahkan sebagai negara hukum, yang rakyat percaya bahwa "hukum" di Indonesia masih tetap milik penguasa, namun saat rakyat memenangi gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS, rasanya sampai sekarang masih seperti mimpi, kok bisa menang? Meski pada akhirnya Jokowi menaikkan iuran BPJS lagi dengan tanpa kompromi.

Dalam situasi pandemi corona, pemerintah yang tidak tegas dan terkesan setengah hati menangani corona karena lebih mementingkan ekonomi, bukan nyawa, pun lebih "mengerjai" pemerintah daerah karena pemerintah mau menghindar dari tanggungjawab bantuan ekonomi kepada rakyat. 

Jokowi wajib bersyukur

Yang pasti, dari semua kisah yang saya ungkap, Jokowi dan pemerintahannya, serta parlemen, wajib bersyukur, karena rakyat Indonesia sudah kebal dalam penderitaan namun tetap santun dan luhur budi. 

Bila selama ini rakyat terkesan tak sadar dan melanggar PSBB, itu semua semata karena urusan "perut" karena rakyat tetap harus berjuang sendiri. Faktanya, meski rakyat susah, pemerintah tetap bersikap dan bertindak "seenak hatinya", terbukti tidak ada demonstrasi, tidak ada kerusuhan, tidak ada anarkis dan penjarahan. 

Padahal, bila ada pihak yang memprovokatori, maka rakyat yang selama ini tertindas akan sangat mudah dinyalakan semangatnya untuk demonstrasi turun kejalan yang tidak mustahil akan lahir anarkisme, kerusuhan, dan penjarahan. 

Namun, terbukti pula, tidak ada provokator, rakyat tetap legowo. Rakyat Indonesia suka damai. Tidak mau menambah kesusahan dirinya sendiri. Untuk itu, sikap rakyat yang tetap diam dan damai, harusnya, disikapi dengan cerdas oleh pemerintah dan parlemen. 

Bukannya malah semakin merajalela bersikap dan bertindak "semaunya". Sekali lagi, meski beban hidup  dan persoalan rakyat Indonesia lebih berat dibandingkan soal rasisme di Amerika, rakyat kita tidak rusuh.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu