x

Demokrasi di tangan pemimpin sembrono hanya jadi ilusi

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 8 Juni 2020 10:10 WIB

#SeninCoaching: Demokrasi di Tangan Pemimpin Sembrono, Jadi Ilusi

Siapa pun yang mengaku pemimpin, di level organisasi bisnis, nonprofit, apalagi di tingkat penyelenggaraan negara, tidak pantas menyebut diri sudah menjalankan kepemimpinan secara demokratis dan sesuai zaman, jika masih memilih jalan pintas membahayakan kesatuan bangsa. Penggunaan otot saja (kekuatan polisi dan tentara), pembungkaman opini publik, dan proses pengambilan keputusan yang kurang dewasa, dapat menyebabkan kepemimpinan seseorang tidak memiliki legitimasi lagi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: Is Democracy Pass to Oblivion?

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semester pertama 2020 menjadi periode penting bagi umat manusia. Dalam beberapa bulan terakhir ini kita telah sama-sama serentak di seluruh dunia dihadapkan dengan sejumlah peristiwa yang seperti beriringan terjadinya. Pandemi covid-19, ketegangan di Kawasan Laut China Selatan, ancaman terjadi konflik antara China dan India, serta kerusuhan sosial praktis di semua negara bagian AS, yang dipicu oleh kematian George Floyd, seorang black American, dalam penyiksaan polisi.

Pembelajaran yang kita peroleh dari kejadian-kejadian penting tersebut paling signifikan barangkali dari pandemi, kemudian dari kasus kerusuhan sosial di AS. Selebihnya kita belum sama-sama tahu, sampai sejauh mana ketegangan wilayah tersebut jadi konflik fisik – kita serahkan saja pada para ahli (experts) di bidang konflik teritorial.

Dari pandemi covid-19 banyak sekali – mungkin ribuan jumlahnya – ulasan yang menceritakan sederet hal baru yang dapat memperkaya kehidupan, hasil dari upaya-upaya mengatasi wabah, dari penelitian tentang vaksin, obat penangkal, sampai pembelajaran cara hidup baru. Di antaranya, kemampuan kita yang sudah bekerja dan para siswa untuk bekerja dan belajar secara online, dengan lebih intens.

Kesediaan kita untuk menahan diri tidak mengumbar ekspresi secara fisik – pelukan, cium pipi kiri dan kanan -- dalam hubungan antar manusia. Ditambah kemampuan adaptasi perilaku kita menghadapi tantangan-tantangan baru dan kecemasan yang menyertainya. Utamanya sejauh mana kita siap menjalani tatanan hidup baru, the new normal.

Paling fundamental dan patut kita dalami lebih jauh adalah pembelajaran tentang cara berpikir kita dan proses pengambilan keputusan, menyangkut kehidupan pribadi (profesi dan keluarga) masing-masing, untuk organisasi bisnis, institusi nonprofit, dan dalam membuat kebijakan publik di pemerintahan.

Utamanya terkait dengan bagaimana kita memahami resiko dan mengambil keputusan dalam kondisi sangat beresiko. Seperti sekarang, saat pandemi atau ketika demokrasi di AS (dan di negara-negara lain) tengah kehilangan pijakan, akibat perilaku para pimpinannya.

Investasi waktu dan kecerdasan kita untuk memahami lebih mendalam urusan ini sepertinya menjadi wajib, bukti kesungguhan kita menjemput masa depan yang lebih baik.

Resiko itu tidak independen atau bebas dari pola pikir dan budaya kita. Umat manusia telah menemukan konsep tentang resiko, untuk memahami dan mengatasi bahaya dan ketidakpastian dalam hidup. Bahaya itu real, tapi umumnya tidak ada sebutan “real risk” atau “objective risk”.

Itu kutipan penjelasan tentang resiko dari Paul Slovic, 82 tahun, professor psikologi Universitas Oregon dan Presiden Decision Research – perkumpulan para ilmuwan dari pelbagai bangsa dan negara yang melakukan studi tentang pengambilan keputusan di saat-saat yang beresiko. Salah satu bukunya, The Perception of Risk, jadi rujukan banyak pihak.

Selanjutnya: Demokrasi adalah Jalan Mendaki

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler