x

Demokrasi di tangan pemimpin sembrono hanya jadi ilusi

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 8 Juni 2020 10:10 WIB

#SeninCoaching: Demokrasi di Tangan Pemimpin Sembrono, Jadi Ilusi

Siapa pun yang mengaku pemimpin, di level organisasi bisnis, nonprofit, apalagi di tingkat penyelenggaraan negara, tidak pantas menyebut diri sudah menjalankan kepemimpinan secara demokratis dan sesuai zaman, jika masih memilih jalan pintas membahayakan kesatuan bangsa. Penggunaan otot saja (kekuatan polisi dan tentara), pembungkaman opini publik, dan proses pengambilan keputusan yang kurang dewasa, dapat menyebabkan kepemimpinan seseorang tidak memiliki legitimasi lagi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menurut Paul Slovic, cara publik mempersepsikan resiko berbeda dengan para pakar (experts). Publik cenderung menilai resiko lebih banyak dipengaruhi emosi, mudah terombang-ambing oleh hal-hal biasa, sulit memilah-milah mana probabilitas kecil dan mana yang dapat diabaikan. Para pakar, yang juga tidak bebas dari bias mereka, mengukur resiko berdasarkan kalkulasi berapa nyawa (atau jumlah tahun) yang jadi korban.

Barangkali perilaku pimpinan dan masyarakat Swedia dapat kita jadikan contoh, bagaimana resiko ditafsirkan sesuai pola pikir dan budaya masyarakatnya. Perilaku mereka berbeda dengan, katakanlah, orang-orang Vietnam dalam menyikapi resiko wabah covid – 19.

Terkait jumlah orang meninggal, publik sesungguhnya punya pembeda yang variatif – misalnya, kematiannya indah, dalam kondisi tetap beriman kepada Tuhan, atau jiwanya tengah terpuruk, batinnya kotor. Ini yang tidak tercatat dalam statistik yang dipakai kalangan para ahli.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Paul Slovic kurang setuju dengan kecenderungan pengambil keputusan mengenyampingkan suara masyarakat dan lebih mengunggulkan pendapat para experts. Ketika mereka tidak bersepakat mana yang jadi prioritas dalam proses pengambilan keputusan, sepatutnya kedua pihak diajak saling menghormati wawasan dan kecerdasan masing-masing.

Sebagaimana kita sudah simak bersama melalui mainstream news dan dari pelbagai artikel, dalam menangani wabah, belakangan ini pengambilan keputusan di level organisasi sampai di pemerintahan di banyak negara prosesnya tidak mulus. Menimbulkan keresahan di kalangan stakeholders dalam menghadapi Board of Directors dan menurunkan kepercayaan publik kepada pemerintah masing-masing.

Dalam pemerintahan yang demokratis, sumber daya negara – dana, intellectual resources, birokrasi -- tentunya akan dialokasikan dengan lebih memihak kepada kepentingan publik. Rasional atau tidak, rasa takut itu menyakitkan dan melemahkan energi publik. Tugas para pembuat kebijakan adalah menghilangkan rasa takut di kalangan masyarakat, disamping melindungi mereka dari bahaya yang sebenarnya, kata Daniel Kahneman, professor psikologi di Princetown University, pemenang Hadiah Nobel untuk Ekonomi, dan penulis buku Thinking Fast and Slow (2011).

Di sejumlah negara, seperti Jerman dan Inggris, juga Amerika, di antara para pakar sendiri kadang terjadi perbedaan pendapat dalam mengatasi wabah. Ditambah dengan agenda para tokoh politik setempat yang memerlukan panggung, selisih pendapat para experts tersebut menambah kegalauan publik. Di mana-mana, termasuk di Indonesia, terjadi pembangkangan masyarakat terhadap aturan agar hidup bersama secara lebih bertanggungjawab, walau pun itu demi keamanan bagi semua pihak.

Menjalankan demokrasi secara konsisten seperti menempuh jalan pendakian yang terus-menerus. Selain mengikuti persyaratan dasar, di antaranya pemimpin dipilih lewat pemilu (dengan segala rekayasa di dalamnya), para pengambil keputusan di negara yang mengaku demokratis memerlukan kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan kecerdasan spiritual sekaligus dalam porsi jauh lebih besar ketimbang menjalankan pemerintahan berbasis authoritarianism, fascist. Di masyarakat yang meyakini demokrasi sebagai cara terbaik dalam hidup bersama, banyak hal belum predetermined.

Sedangkan di negara totaliter, nyaris semua urusan manusia sudah ditentukan oleh polit biro penguasa, yang diperlukan kemudian adalah kepatuhan total masyarakat. Maka mereka cenderung lebih mengandalkan otot, kekuatan tentara, kewenangan para pengintai, dan pemaksaan publik (pembungkaman perbedaan pendapat). Pemerintahan fasis dan otoriter, sebagaimana Hitler, Stalin, atau Mao Zedong kita ketahui bersama telah menimbulkan malapetaka bagi umat manusia.

Gaya pemerintahan Amerika sekarang yang cenderung meniru Hitler (supremasi kulit putih) dan membangun sekat peradaban, telah memposisikan demokrasi hanya ilusi. AS menjadi rentan. Di tengah kegalauan publik dan ketidakpastian hidup akibat pandemi dan tekanan ekonomi, petugas polisi yang rasialis dan menyiksa George Floyd mati, sangat mudah memicu kerusuhan sosial.

Kejadian di AS memberikan pembelajaran penting bagi kita. Proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan publik memang makin pelik di tengah wabah dan dalam tekanan ekonomi. Situasi dapat makin teruk manakala presidennya berperilaku sembrono.

Di antaranya, ketika mendorong pemakaian hydroxychloroquine untuk mengatasi covid-19, Presiden Trump tidak saja telah sembarangan bicara, kurang mau berpikir, dan mencemaskan publik sekaligus kalangan pakar. Ia kejeblos lebih dalam lagi. Proses dan metode penelitian pemakaian hidroksiklorokuin yang bahkan sempat mempengaruhi WHO dan pengambil keputusan di beberapa negara Amerika Latin tersebut belakangan terbukti tidak dapat diandalkan.

Menurut hasil investigasi The Guardian, materi yang konon hasil penelitian itu bahkan disusun oleh penulis science fiction dan penyaji “konten dewasa”. Pemasoknya, Surgisphere, perusahaan kecil di AS bidang “analis kesehatan” dengan segelintir karyawan, diindikasikan memberikan data palsu.

Lebih dari presidennya yang sering diberitakan bersikap ugal-ugalan, kerusuhan sosial yang melanda AS adalah ledakan dari tumpukan sederet masalah. Dari politik dalam negeri, situasi sosial, ekonomi, sampai pelbagai faktor lain, yang utamanya ditimbulkan oleh perilaku kepemimpinan presidennya dan para pengambil keputusan kebijakan publik yang mendukungnya. Mantan Mentri Pertahanan Jenderal James Mattis mengatakan, perilaku Trump selama tiga tahun terakhir ini telah memecah-belah kesatuan bangsa. Sekarang, tentara mau dia adu dengan masyarakat sipil, yang harusnya mereka lindungi.

Siapa pun yang mengaku pemimpin, di level organisasi bisnis, nonprofit, apalagi di tingkat penyelenggaraan negara, tidak pantas menyebut diri sudah menjalankan kepemimpinan secara demokratis dan sesuai zaman, jika masih memilih jalan pintas membahayakan kesatuan bangsanya.  

Penggunaan otot saja (kekuatan polisi dan tentara), pembungkaman opini publik, dan proses pengambilan keputusan yang kurang dewasa, apalagi hanya berdasarkan “fakta-fakta” yang diinterpretasikan sepihak (oleh pendukung kekuasaan), dapat menyebabkan kepemimpinan seseorang tidak memiliki legitimasi lagi. Di tangan orang-orang semacam ini, demokrasi hanya akan jadi ilusi.

Hasil penelaahan di 154 negara di dunia antara 1995 sampai 2020, melalui 25 proyek survei internasional dan cross country survey terbaru yang dikelolah firma poling YouGov, menyebutkan, ketidakpuasan publik atas kehidupan masa kini yang kapitalistis sebagai representasi pemerintahan demokratik, telah meningkat pada 2019. Utamanya di negara-negara maju -- bagaimana pula di negara-negara yang baru belajar maju?

Para peneliti Cambridge University Centre for the Future of Democracy menganalisis data bersumber dari empat juta orang, termasuk dari negara besar yang dianggap menerapkan demokrasi -- seperti Inggris, Amerika, Brazil, Mexico, dan Australia. Hasilnya: tingkat kepuasan mereka terhadap pelaksanaan demokrasi rendah. "Across the globe, democracy is in a state of malaise," kata Dr Roberto Foa, dari Cambridge's Department of Politics and International Studies (POLIS).

Kalau kita memilih peran ingin lebih bermakna bagi sesama umat manusia, sekarang saatnya menentukan sikap, mau berdemokrasi seperti apa dalam memimpin keluarga, komunitas, organisasi bisnis, dan institusi pemerintahan yang diamanahkan kepada kita. Hidup di era new normal bukan sekedar soal pakai masker dan social distancing, lebih utama adalah berdemokrasi secara lebih baik, menggunakan akal sehat dan kecerdasan batin. 

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(https://sccoaching.com/coach/mcholid1)

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler