x

Ilustrasi Kepemimpinan. Pixabay.com

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 9 Juni 2020 09:00 WIB

Selain Covid-19, Musuh Kita Adalah Ego Sektoral dan Syahwat Pencitraan Para Pejabat

Di Jawa Timur, Gubernur Khofifah dan Walikota Surabaya Risma beberapa kali menunjukkan sikap dan keputusan yang bertabrakan. Sebelumnya masyarakat juga menyaksikan ketidak harmonisan Gubernur DKI Jakarta dengan pemerintah pusat. Kini pemerintah menggaungkan rencana new normal, tapi corona tampaknya belum mau berdamai. Maka, sembari memerangi corona sebagai musuh utama, pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu lebih gencar membasmi musuh dalam selimut: virus “ego sektoral” dan “syahwat pencitraan” yang menulari banyak pejabat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*)Naskah diambil dari Tajuk Koran Tempo, 9 Juni, dengan perubahan judul.

Silang kata dan tabrakan keputusan yang berulang antara Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menunjukkan betapa koordinasi masih menjadi masalah besar dalam penanganan wabah corona di negeri ini. Sebelumnya, hal serupa beberapa kali terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah DKI Jakarta, serta di antara kementerian dan lembaga yang sama-sama merupakan instansi pusat.

Di Jawa Timur, Khofifah dan Risma beberapa kali menunjukkan sikap dan keputusan yang bertabrakan. Keduanya, misalnya, bersilang pendapat soal penetapan status pembatasan sosial berskala besar, penanganan kluster corona di pabrik rokok Sampoerna, hingga berebut mobil tes PCR bantuan pemerintah pusat. Ketika kedua pemimpin wilayah itu sibuk saling tuding, kurva penularan Covid-19 di Jawa Timur terus menanjak.

Hingga kemarin (Ahad, 8 Juni), berdasarkan data resmi Kementerian Kesehatan, sudah 5.948 orang yang positif Covid-19. Sebanyak 483 orang di antaranya meninggal. Angka itu menjadikan Jawa Timur sebagai provinsi kedua dengan tingkat penularan Covid-19 terparah setelah DKI Jakarta. Khusus di Surabaya, dilaporkan ada 2.918 kasus positif dan 282 meninggal karena Covid-19. Surabaya sempat disebut sebagai zona hitam wabah. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelumnya, masyarakat juga menyaksikan betapa ruwetnya upaya pembatasan aktivitas di tempat umum untuk wilayah DKI Jakarta. Usul pemerintah DKI untuk menutup wilayahnya demi mengendalikan wabah beberapa kali terbentur persetujuan pemerintah pusat. Proposal Jakarta pun dipermak dari usul lockdown, karantina wilayah, hingga menjadi pembatasan sosial berskala besar. Pejabat DKI dan pejabat pusat juga beberapa kali bersilang kata ihwal bantuan sosial, pelarangan mudik, hingga pelonggaran pembatasan. Selain karena buruknya koordinasi, silang kata terjadi karena sebagian pejabat takut kehilangan muka dan sibuk memoles citra.

Karena buruknya koordinasi dan berlarutnya silang pendapat antar-pejabat, Indonesia kehilangan kesempatan emas untuk mengendalikan wabah pada fase awal. Indonesia kini menempati urutan ke-31 negara dengan angka kasus Covid-19 terburuk di dunia. Terakhir, pemerintah mengumumkan 31.186 kasus positif Covid-19, dengan 1.851 kasus kematian. Ketika di sejumlah negara tetangga kurva kasus Covid-19 cenderung menurun, di Indonesia kurvanya masih menanjak.

Meski pemerintah Indonesia terus menggaungkan rencana new normal alias hidup berdampingan dengan wabah, corona tampaknya belum menunjukkan isyarat mau berdamai. Maka, sembari memerangi corona sebagai musuh utama, pemerintah dan masyarakat Indonesia seharusnya lebih gencar membasmi musuh dalam selimut: virus “ego sektoral” dan “syahwat pencitraan” yang menulari banyak pejabat. Musim wabah bukan saatnya untuk pertunjukan ego sektoral. 

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu