x

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 12 Juni 2020 14:29 WIB

Covid 19: Menunda Duka dan Mimpi #PULIHBERSAMA

Kisah ibu Ami menyadarkan kita ada korban akibat pandemi ini. Ia menceritakan apa adanya agar kita semua sadar risiko dan berbagi perhatian dengan mereka yang terdampak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 “No one ever told me that grief felt so like fear.” CS Lewis.

 

“Segera sesudah memakamkan suami saya yang meninggal karena Covid, sendirian, saya harus menunda duka saya”. Itulah cerita haru dari ibu “Ami” seorang anak manusia yang kehilangan kekasih hatinya dalam era pandemi Covid. Sebuah kisah yang pasti kita susah alami di hari hari biasa, kendati kesedihan akibat meninggalnya keluarga bisa menimbulkan situasi yang mirip.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun ketiadaan pendamping di pemakaman, ketidakbisaan langsung dihibur oleh keluarga dan keharusan isolasi membuat kepedihan berganda yang tidak mudah untuk dilukiskan dengan kata. Ketika ia harus terpisah selamanya dengan sang suami, ia juga harus terpisah sementara dengan semua buah hatinya, karena jahatnya dampak Covid ini. Kepedihan juga adalah ketakutan baginya.

Kisah menunda duka ini, adalah mungkin kisah pertama kali yang pernah dipublikasikan oleh seorang yang terdampak alias korban Covid 19. Ibu Ami rela menceritakan ini dalam sebuah acara yang dihadiri oleh ratusan orang secara online dalam sebuah webinar yang diadakan oleh sebuah organisasi peduli anak Save The Children untuk meluncurkan serial kampanye “Gerakan#PulihBersama”.

Dari kisahnya kita mendengar realitas yang terjadi pada korban Covid. Korban yang ditinggalkan kekasih hatinya ini harus menunda duka. Dalam kesendirian untuk mencari penyembuhan karena juga sudah terpapar virus jahat ini. Dia harus mengatur emosinya agar tidak larut dalam kedukaan mendalam yang dapat berakibat buruk pada imunitas tubuhnya. Sebuah perasaan yang aneh, ditinggal suami, berpisah dengan anak anak, tapi dukanya harus ditunda.

Dalam upaya kecintaannya pada kehidupan dan masa depan anak anaknya, ia berhasil mengatasi masa isolasi dan penyembuhan yang tidak mudah. Dua minggu paling sulit dalam sejarah hidupnya berhasil ia lewati untuk bisa kembali bersama dengan mereka yang juga sangat merindukan bunda di saat mereka kehilangan ayahanda tercinta. Sebuah momen yang amat sangat emosional bagi semuanya.

Namun penundaan duka bukanlah satu-satunya hal yang harus dihadapi. Ketika duka itu akhirnya bisa diekspresikan, paling tidak dengan lepas, ia pun harus menyadari ada penundaan yang lain. Dalam sedih yang masih terbaca dengan jelas, Ami menceritakan keharusan ia harus menunda mimpi. Tidak pernah terbayangkan ada interupsi kehidupan yang begitu menyesakkan kalau bukan karena Covid-19.

“Saya harus menunda mimpi saya dan mimpi anak anak," kata dia. Ketika sang ayah sebagai sumber penghasilan keluarga telah tiada serta ditambah dengan situasi ekonomi yang memburuk, maka ada mimpi yang harus ditunda. Paling tidak keterpaksaan pindah sekolah anak-anak ke sekolah yang tidak berbayar menimbulkan goncangan baru kepada anak-anak yang harus berpisah dengan teman-teman baiknya di sekolah yang terdahulu.

Masih banyak lagi tantangan dan kesedihan yang mungkin tidak bisa diungkapkan dari kisah ibu Ami. Waktu yang kurang dari 10 menit tidak dapat mengkisahkan kepedihan, kehilangan dan bahkan ketiadaan harapan untuk menjalani hidup ke depan. Dalam kehancuran hatinya inilah ia tangguh berbagai kisah kepada banyak orang tentang siapa seorang manusia dalam kondisi terdampak Covid-19.

Namun dari cerita itu, siapapun kita bisa mendengarkan secara langsung bahwa apa yang diinformasikan setiap hari dalam pemutakhiran data Covid-19 bukanlah sekedar angka. Dalam laporan meninggalnya satu orang, ada ikutan lain yang harus terdampak oleh karenanya. Dalam satu kasus positif penderita ada banyak kekasih yang harus menjadi korban lanjutan yang menambah besarnya lingkaran kesedihan dan kecemasan.

Di sinilah kisah nyata seperti ini harus menjadi cerita yang kembali membangkitkan empati kemanusiaan kita. Data per 11 Juni 2020 yang mengkonfirmasi jumlah kematian sebesar 1.959 adalah sama dengan menginformasikan bahwa ada ribuan anak lagi yang akan menjadi yatim dan piatu. Ada masa depan yang terancam baik dari segi pendidikan, perlindungan maupun kesejahteraan dari para anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka karena Covid 19.

Oleh karena itu menurut Selina Sumbung, CEO Save The Children Indonesia, kita harus melakukan sesuatu untuk mengurangi risiko ini. Ia mengatakan, ”CovidD-19 berpotensi menghilangkan kesempatan dan impian bagi kita semua tapi terutama bagi anak-anak untuk bertumbuh sehat, belajar dan berkarya bagi anak-anak kita.” Tindakan kita pastilah sangat menentukan atau paling tidak memperbaiki masa depan para anak yang mengalami risiko kehilangan orang tua mereka.

Sebagai bagian dari sebuah gerakan bersama, maka Kampanye Gerakan #Pulih Bersama dengan tagline #ProtectAGeneration dan #MinutesToSurvive yang diprakarsai oleh Save The Children dan didukung oleh berbagai pihak, mendorong kita untuk melakukan aksi nyata. Apa yang kita lakukan sekarang baik untuk diri kita sendiri maupun komunitas di sekitar kita sangatlah berarti untuk mengurangi dampak Covid dan dampak ikutannya.

Ibu Ami kembali menyadarkan kita bahwa sebagai korban, ia juga mampu hadir sebagai penyintas (survivor). Ia mau berbagi kisah sedihnya untuk mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa meremehkan dampak Covid 19. Kendati sudah banyak pembicaraan perihal adaptasi kebiasaan baru (New Normal), kisah kisah seperti ibu Ami harus terus didengarkan agar menjadikan kita terus berbagi dengan mereka yang menjadi korban sekaligus melakukan aksi aksi nyata mengurangi dampak buruk pandemi ini.

Dalam kepedihan dan kesedihannya, kita semua dibawa masuk kedalam sebuah arena kemanusiaan yang tidak bisa kita ingkari. Disitu ada kerentanan yang melemahkan kita, namun disitu juga ada kapasitas anak anak manusia untuk bisa berjuang untuk kebersamaan. Dalam pandemi inilah kita dipanggil menjadi manusia sejati yang hadir dalam orisinalitas kita untuk melakukan yang baik secara bersama dan untuk kebersamaan juga.

Kalau kita mau pulih bersama, kalau kita mau melindungi generasi ini, maka kita harus melakukan menit demi menit untuk bertahan bersama. Kalau bukan kita siapa lagi. Risiko masih ada, namun ketika ada tekad bersama, kita bisa tangguh bersama menghadapi pandemi ini.

 #Pulihbersama #ProtectAGeneration #MinutesToSurvive

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler