x

Nadiem

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 16 Juni 2020 05:26 WIB

Tahun Ajaran Baru yang Penuh Risiko, Mengapa "Maksa-in"?

Hingga saat ini, masyarakat belum dapat informasi yang jelas, sebenarnya apa latar belakang pemerintah "maksa-in tahin ajaran baru 2020/2021 harus 13 Juli?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masyarakat dan berbagai pihak masih bertanya, apa sejatinya yang melatarbelakangi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tetap ngotot memutuskan tahun ajaran baru sekolah akan tetap dimulai pada Juli 2020 mendatang?

Sementara para akademisi, praktisi dan pengamat pendidikan pun sudah tak kurang dalam mengingatkan, bahwa sepanjang pademi corona, tahun ajaran 2019/2020 juga diselesaikan dengan cara yang jauh dari harapan, sehingga kenaikan dan kelulusan siswa malah disebut sebagai Angkatan Covid 19, yang naik kelas atau lulus sekolah dengan cara "mudah".

Terbukti, dalam penuntasan tahun ajaran 2019/2020, cara belajar dengan sistem online pun dianggap gagal dan ada kendala besar, karena masih menganganya kesenjangan ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi di berbagai daerah Indonesia.

Bahkan Mendikbud, Nadiem Makarim, menyampaikan banyak yang dikorbankan saat belajar dari rumah dan kesehatan adalah hal yang paling utama. Ini apa artinya?

Para ademisi, praktisi, dan pengamat pendidikan pun sudah memberikan kritik, saran, dan masukan terkait pembelajaran online yang dianggap belum siap untuk pendidikan di Indonesia karena berbagai faktor, seharusnya menjadi prioritas Nadiem untuk mengatasinya.

Bukannya memaksakan tahun ajaran baru tetap dimulai 13 Juli 2020, padahal hal-hal prioritas terutama kesiapan guru dan alternatif kurikulum transisi untuk pembelajaran online belum terlihat.

Kebijakan tahun ajaran baru, "maksa-in"

Coba kita lihat identifikasi Kemendikbud dan Nadiem yang kukuh tahun ajaran baru tidak berubah, tetap dimulai pada Juli 2020.

Pertama, Nadiem menyebut bahwa untuk daerah dengan zona kuning, oranye, dan merah, itu dilarang untuk melakukan pembelajaran secara tatap muka. Hal ini diungkap dalam siaran langsung YouTube Kemendikbud RI, Senin (15/6/2020).

Kedua, yang di zona hijau, pemerintah daerah boleh melakukan pembelajaran tatap muka. Untuk menetapkan pembelajaran tatap muka, syaratnya adalah:
1. Kabupaten/kota harus zona hijau
2. Pemerintah daerah harus setuju
3. Sekolah harus memenuhi semua daftar periksa dan siap pembelajaran tatap muka
4. Orangtua murid setuju pembelajaran tatap muka.

Ketiga, untuk pembukaan sekolah juga diatur dalam beberapa tahap, yaitu:
Tahap pertama untuk membuka sekolah yaitu level SMP dan SMA/SMK.

Berikutnya tahap kedua, level SD sudah boleh membuka sekolah setelah dua bulan dibukanya tahap pertama.

Lalu tahap ketiga, PAUD formal dan non formal boleh dibuka, dua bulan setelah dibukanya tahap kedua.

Keempat, kepala satuan pendidikan juga wajib melakukan pengisian daftar periksa kesiapan.

Kelima, sekolah yang melalui masa transisi, hanya boleh dilakukan 50 persen (siswa) dalam satu kelas untuk pendidikan dasar dan menengah.

Keenam, kegiatan berkerumun di sekolah tetap tak diperbolehkan. Aktivitas seperti kantin, olahraga, belum diperbolehkan saat masa transisi.

Ketujuh, menyoal anggaran, Kemendikbud juga membuka dana bos untuk mendukung kesiapan satuan pendidikan dan BOP PAUD dan Kesetaraan di masa kedaruratan Covid-19, juga bisa digunakan untuk mendukung kesiapan sekolah.

Kedelapan, berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah, pembelajaran untuk perguruan tinggi di semua zona, masih dilakukan secara daring. Tetapi, mahasiswa diperbolehkan datang ke kampus untuk kepentingan khusus untuk atau mengurus kelulusannya.

Dari delapan hal yang saya identifikasi dari "maksa-innya" tahun ajaran baru tetap dimulai 13 Juli, jelas akan semakin menambah "semrawut" dunia pendidikan di Indonesia.

Ada yang harus tetap belajar online karena kondisi corona, namun Kemendikbud lupa, dengan kesenjangan dan ketertinggalan di beberapa daerah. Masa ini mau sama ratakan lagi.

Sudah terbukti, pembelajaran online untuk Indonesia saat ini belum cocok bahkan banyak yang bilang tidak cocok. Sebab, selain masalah teknologi, profesionalitas gurunya pun masih jauh dari harapan.

Belum lagi menyoal kurikulum yang masih lebih mementingkan target pembelajaran. Bagaimana cara mencapai targetnya, bro? Kalau guru dan cara belajar hanya menyuruh siswa menumpuk tugas.

Lebih berbahaya lagi, ada sekolah yang nanti diperbolehkan belajar dengan tatap muka. Ini luar biasa.

Ironisnya, mahasiswa malah dipastikan akan belajar secara daring. Apakah karena mahasiswa dan dosen sudah dianggap lebih mampu dari siswa dan guru? Faktanya, tidak juga kan?

Setiap hari saja, kini laporan korban terpapar corona di Indonesia terus stabil, rata-rata 1000an korban.

Apa Kemendikbud dan Nadiem menutup mata dengan kejadian di Finlandia, Prancis, Korea Selatan, dan Inggris. Sudah zona aman/hijau, namun guru dan siswa diserbu corona lagi.

Sungguh dapat dibayangkan, betapa semrawut dan penuh risikonya pendidikan di Indonesia karena memaksakan diri tahun ajaran baru 13 Juli. Belajar online masih diragukan. Belajar tatap muka, sangat berisiko.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB