x

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 16 Juni 2020 13:50 WIB

Spiritualitas Baru: Menghadapi Covid 19 #PULIHBERSAMA

Menghadapi Covid kita mengaktivasi apa yang sering terlupakan dalam spiritulitas kemanusiaan, yaitu empati. Semua krisis di dunia menghasilkan banyak tokoh yang bisa merayakan empati dan menjadi teladan untuk karya dan kerja mereka. Dalam empatilah para tokoh besar kemanusiaan dunia tanpa sadar menciptakan berbagai spritualitas baru pada roh jamannya. Florence Nightingale, misalnya, menjadi “gadis pembawa lampu’ yang merawat para tentara korban perang Krimea pada tahun 1850an. Bukan saja ia meletakkan dasar perawat medis yang profesional, tapi menurut Henry Dunant, Nightingale adalah dorongan utamanya ketika ia membangun Gerakan Palang Merah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Adalah sebuah kehormatan ketika kisah kecil saya dikutip oleh Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, dalam tulisannya di media pada tanggal 9 Juni 2020 yang berbasis dari tulisan di Indonesiana, https://www.indonesiana.id/read/139604/keajaiban-ramadan-di-era-covid-19-kemanusiaan-itu-indah. Itu adalah sebuah cerita dari banyak kisah lain yang berserakan diseluruh muka bumi pada saat Pandemi Covid 19 meledak. Pastinya yang bernuansa lintas iman dan antar identitas juga banyak terjadi di berbagai tempat.

Sebagai kisah kisah kecil yang ada, sebetulnya tarikan untuk melakukan yang terbaik bagi sesama yang memerlukan pertolongan adalah bagian dari sebuah narasi besar kemanusiaan.  Narasi besar yang sedang diperkuat kembali dalam situasi krisis pandemi ini adalah perhatian tulus terhadap manusia lain yang ringkih dan memerlukan topangan penguatan. Lazimnya narasi ini sering disebut sebagai empati terhadap sesama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bermula dari Empati

Tiga alasan yang dikemukakan oleh Abdul Mu’ti sebagai ikhitar bersama yaitu landasan relijius keagaman, universalitas dan kebangsaan bisa disaripatikan dalam kata empati. Sebagai mahluk sosial menurut Septemmy Lakawa, ketua STFT Jakarta, "makna empati adalah kerelaan merasakan  atau kemauan berbagi penderitaan orang lain". Teolog Kristen perempuan ini melanjutkan," Saat empati bekerja, kita terbuka kepada siapapun siapapun dia dan apapun latar belakangnya".

Dalam empatilah para tokoh besar kemanusiaan dunia tanpa sadar menciptakan berbagai spritualitas baru pada roh jamannya. Florence Nightingale menjadi “gadis pembawa lampu’ yang merawat para tentara korban perang Krimea pada tahun 1850an. Bukan saja ia meletakkan dasar perawat medis yang profesional, tapi menurut Henry Dunant, Nightingale adalah dorongan utamanya ketika ia membangun Gerakan Palang Merah.

Empati adalah dasar Eglantyne Jebb untuk meninggalkan kemapanan yang ia miliki untuk memperjuangan anak anak yang kelaparan pasca perang dunia kedua. Ia terjun dalam aktifitas sosial berfokus kepada anak untuk hak dan perlindungan mereka. Dalam spirit kerelaan ia kemudian memulai gerakan anak yang sudah mengglobal Save The Children. Ia juga yang menjadi peletak dasar konvensi anak internasional.

Di bumi Nusantara kisah empati juga menjadi spirit dari seorang Pencerah ketika melihat kemiskinan dan kebodohan akibat Penjajahan Belanda. Spritualitas baru K.H Ahmad Dahlan melahirkan perjuangan sosial pendidikan dan pelayanan Kesehatan yang sangat efektif, sehingga pada tahun 1912 lahirlah organisasi Muhammadiyah.  Empati yang ia miliki berbasis agama dan kepercayaan ternyata mampu membesarkan organisasi untuk diteruskan semangatnya oleh jutaan kader di bumi Pertiwi dan manca negara.

Merayakan Empati dalam Covid 19

Daftar diatas adalah hanya sebagian kecil dari anak anak manusia yang terpanggil menghadapi situasi krisis yang mengancam sesamanya yang dalam kondisi rentan. Cerita cerita manis inilah yang sekarang sedang ditulis oleh ribuan anak anak manusia dalam pandemi Covid 19. Kerelaan berbagi dalam kehidupan dan semangat menolong sesama yang marak dirayakan oleh berbagai pihak telah mengkonfirmasi hadir dan aktifnya semangat empati.

Mengecek ulang asal rasa dan aksi anak manusia perihal empati adalah membongkar ulang fitrah manusia yang banyak dikemukakan berbagai ajaran agama dalam Kitab Sucinya. Lemari penyimpanan agama yang berisikan niatan baik ini sering dilupakan atau bahkan dikunci dengan ketat karena alasan egoisme kita.  Berbagai krisis seperti salah satunya Covid 19 adalah ketika Yang Maha Kuasa mengingatkan aktifasi membuka kembali tabungan niatan baik manusia kepada sesamanya.

Pengajaran Alkitab menyatakan bahwa manusia diciptakan sebagai Imago Dei atau gambar dan rupa sang pencipta. Artinya kendati secara teologis kita manusia rusak karena dosa, namun setiap manusia masih memiliki kebaikan seperti yang dimiliki sang pencipta. Sebagai sumber kebaikan, maka empati adalah fitrah. Manusia dari awal diperlangkapi dengan nilai kebaikan. Inilah saatnya merayakan empati sebagai anugrah Tuhan bagi kita.

Empati juga adalah takdir manusia sebagai mahluk yang komunal, dimana ada commonalities atau kesamaan berkebaikan dengan mereka yang dalam keseharian hidup bersama kita, yaitu tetangga. Pertanyaan siapakah sesamamu manusia, tepatnya ditanyakan sebagai siapakah tetanggamu?. Tetangga kita adalah orang orang terdekat yang kerap bersama kita dalam suka dan duka.

Dalam hubungan hubungan inilah konsep spiritualitas neighbourology  yang kerap digaungkan oleh Rabi Jonathan Sack dan tokoh antar-iman  Indonesia Th. Sumartana menjadi sangat relevan. Aktifasi empati yang efektif adalah dengan mereka yang hidup disekitar kita. Kisah empati inilah yang terjadi bukan saja dalam gerakan “Jogo Tonggo” di Jawa Tengah, tetapi juga di berbagai kampung dan komunitas manusia.  

Selanjutnya empati juga tidak bisa dilepaskan dari panggilan. Melihat krisis seperti Covid 19 inilah para tokoh yang disebutkan sebelumnya terpanggil. Nightingale dan Eglantyne di kondisi perang dan Ahmad Dahlan karena buruknya perilaku kolonialisme. Panggilan ini bukan sekedar kisah reilijus belaka, tetapi sejatinya adalah koneksi kita dengan kondisi sekitar yang memerlukan kehadiran pendamping.

Sebagai sesama musafir kehidupan,  panggilan nurani menjadi esensi utama dari aksi empati kita. Panggilan ini yang melengkapi fitrah dan kebersamaan kita, menjadikan siapapun bisa menanggalkan agama, identitas dan latar belakang apapun untuk merayakan empati. Covid bisa diatasi dalam spiritulitas baru ini, ketika setiap anasir pemerintah, masyarakat dan kita semua mau berempati.

Pada saat inilah teringat panggilan yang tak pernah lekang oleh waktu dari KH Ahmad Dahlan untuk tantangan ber"fastabiqul khoirot" atau berlomba-lomba berbuat kebaikan untuk kemanusiaan. Saat ini adalah saat yang paling tepat untuk berlomba dalam empati, kebaikan dan kemanusiaan. Insya Allah, Indonesia optimis pulih bersama dalam spiritualitas baru: Empati.

 

[1] Victor Rembeth, Penggiat kemanusiaan antar iman, Direktur proyek PRB Save The Children Indonesia

 

#PulihBersama #YukEmpati

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler