x

Iklan

Elviani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Juni 2020

Selasa, 16 Juni 2020 13:33 WIB

Investasi dan Covid-19: Apa yang Dapat Investor Harapkan?

Artikel ini membahas mengenai kiat-kiat Pemerintah Republik Indonesia dalam menjaga beragam lini investasi selama pandemi COVID-19

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun 2020 ialah tahun yang sulit, sehubungan dengan merebaknya wabah mematikan yang menular antara sesama manusia yang dikenal dengan nama virus SARS-CoV 2 dari Provinsi Wuhan, Republik Rakyat Tiongkok, ke seluruh penjuru dunia, termasuk pula Indonesia. Seiring dengan intensnya penyebaran virus SARS-CoV 2 di Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan Corona Virus Disease 2019 atau yang acap kali disingkat menjadi COVID-19 sebagai bencana nasional sebagaimana termaktub dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 April 2020 dan berlaku efektif sejak ditetapkan.

Bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga terpapar COVID-19, Indonesia terkategori cukup lambat dalam mengambil langkah dalam menghadapi penyebaran COVID-19, sebagai pembanding ialah Amerika Serikat yang telah menetapkan COVID-19 sebagai darurat nasional terhitung sejak tanggal 13 Maret 2020 dan Singapura yang menerapkan kebijakan Circuit Breaker (Semi-Lockdown) terhitung sejak tanggal 07 April 2020.

Ketidakpastian akan kapan berakhirnya pandemi COVID-19 di Indonesia menyisakan kerisauan dan keraguan bagi para investor yang melakukan penanaman modal di Indonesia, hal ini pun berdampak pada kurang kondusifnya iklim investasi di Indonesia. Badan Koordinasi
Penanaman Modal Republik Indonesia mencatat adanya penurunan pada realisasi investasi penanaman modal asing di Indonesia untuk Triwulan I Tahun 2020 bila dibandingkan dengan Triwulan I Tahun 2019, yakni penurunan yang cukup signifikan sebesar 9,2% (Triwulan I Tahun
2019 mencatatkan realisasi investasi penanaman modal asing sebesar Rp107,9 triliun sedangkan Triwulan I Tahun 2020 mencatatkan realisasi investasi penanaman modal asing hanya sebesar Rp98,0 triliun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Guna meminimalisir akibat dari penyebaran COVID-19 yang berimbas pada kurang kondusifnya investasi di Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia telah mengambil langkah terukur dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan pada berbagai hierarki dan berbagai bidang, antara lain di bidang perpajakan, bea dan cukai, perbankan dan pembiayaan, ketenagakerjaan, perindustrian, dan pasar modal.

Pada bidang perpajakan, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan pada tanggal 31 Maret 2020 dan berlaku efektif sejak ditetapkan (untuk selanjutnya cukup disebut sebagai “Perppu 1/2020”).

Terdiri dari 29 (dua puluh sembilan) pasal, Perppu 1/2020 mengatur hal-hal yang bersifat umum di bidang keuangan. Pasal 5 ayat (1) Perppu 1/2020 mengatur mengenai adanya keringanan yang diberikan untuk Wajib Pajak Badan dalam negeri serta badan usaha tetap dalam bentuk penurunan tarif Pajak Penghasilan, dari yang awalnya sebesar 28% (dua puluh delapan persen) sebagaimana ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (untuk selanjutnya cukup disebut sebagai “UU 36/2008”) menjadi sebesar 22% (dua puluh dua persen) untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021, serta sebesar 20% (dua puluh persen) untuk Tahun Pajak 2022. Keringanan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Perppu 1/2020 berlaku bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri serta badan usaha tetap yang memenuhi persyaratan tertentu yang akan diatur secara spesifik dalam peraturan pemerintah, demikian ketentuan yang termaktub dalam Pasal 5 ayat (3) Perppu 1/2020.

Selain hal-hal yang diatur dalam Perppu 1/2020, Menteri Keuangan Republik Indonesia juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang diundangkan pada tanggal 27 April 2020 dan berlaku efektif sejak diundangkan (untuk selanjutnya cukup disebut sebagai “PMK 44/2020”).

Terdiri dari 17 (tujuh belas) pasal, PMK 44/2020 mengatur mengenai fasilitas perpajakan yang diterima oleh Wajib Pajak terdampak COVID-19, baik dalam bentuk fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 UU 36/2008 ditanggung Pemerintah, pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 UU 36/2008 untuk impor, pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, dan pengurangan besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 UU 36/2008. Perlu diperhatikan bahwasanya fasilitas-fasilitas yang diberikan dalam PMK 44/2020 hanya untuk Wajib Pajak yang memenuhi kualifikasi sebagaimana ditetapkan dalam PMK 44/2020 untuk masing-masing fasilitas.

Sebagai contoh, fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 UU 36/2008 ditanggung Pemerintah hanya diberikan untuk 1.062 (seribu enam puluh dua) bidang usaha, pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 UU 36/2008 untuk impor dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai hanya diberikan untuk 431 (empat ratus tiga puluh satu) bidang usaha, dan pengurangan besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 UU 36/2008 hanya diberikan untuk 846 (delapan ratus empat puluh enam) bidang usaha.

Dengan adanya kebijakan sebagaimana diatur dalam Perppu 1/2020 dan PMK 44/2020 tersebut, diharapkan dapat membawa angin segar bagi para investor di tengah kemelut pandemi COVID-19 ini. Tanpa adanya fasilitas-fasilitas di bidang perpajakan yang sangat esensial tersebut, dikhawatirkan investor akan mengurungkan niatnya melakukan penanaman modal di Indonesia. Langkah Pemerintah Republik Indonesia yang menerbitkan kebijakan perpajakan berorientasi pada keberlangsungan investasi selama pandemi COVID-19.

Beralih ke bidang bea dan cukai, Menteri Keuangan Republik Indonesia juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang ditetapkan pada tanggal 16 April 2020 dan diundangkan pada tanggal 17 April 2020 serta berlaku efektif sejak diundangkan (untuk selanjutnya cukup disebut sebagai “PMK 34/2020”).

Terdiri dari 15 (lima belas) pasal, PMK 34/2020 ialah ibarat durian runtuh karena sangat menguntungkan bagi investor yang menanamkan modal pada badan usaha dengan bidang usaha kesehatan yang berkaitan langsung dengan barang-barang untuk keperluan penanganan pandemi COVID-19 seperti hand sanitizer, disinfektan, test kit, reagen laboratorium, media kultur transfer virus, obat-obatan tertentu, peralatan medis, dan beragam alat pelindung diri.

Fasilitas yang diberikan PMK 34/2020 tidak main-main, Pasal 2 ayat (1) PMK 34/2020 mengatur bahwasanya untuk kegiatan impor barang- barang keperluan penanganan pandemi COVID-19 dibebaskan dari pemungutan bea masuk dan/atau cukai, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 UU 36/2008. Pengaturan dalam PMK 34/2020 selain berorientasi pada kemaslahatan dan keselamatan rakyat Indonesia juga tentunya membawa dampak positif bagi investasi di bidang kesehatan.


Selanjutnya, di bidang perbankan dan pembiayaan, Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang ditetapkan pada tanggal 13 Maret 2020 dan diundangkan pada tanggal 16 Maret 2020 serta berlaku efektif sejak diundangkan (untuk selanjutnya cukup disebut sebagai “POJK 11/2020”).

Terdiri dari 12 (dua belas) pasal, pengaturan di dalam POJK 11/2020 mendukung adanya kebijakan dari bank untuk mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitur yang terdampak dengan penyebaran COVID-19. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) POJK 11/2020 mengatur bahwasanya kebijakan yang dapat diterapkan oleh bank dapat berbentuk kebijakan yang berhubungan dengan penetapan kualitas aset maupun kebijakan yang berhubungan dengan restrukturisasi kredit dan pembiayaan, dengan catatan bank tetap memperhatikan manajemen risiko yang telah diterapkan.

Pemberian fasilitas restrukturisasi kredit dan pembiayaan nyatanya tidak mentah-mentah diberikan oleh POJK 11/2020, karena berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) POJK 11/2020, hanya debitur (termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah) yang terkena dampak dari penyebaran COVID-19 baik secara langsung ataupun tidak langsung pada sektor ekonomi antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan. Investor yang menanamkan modal pada badan usaha dengan bidang usaha yang secara langsung maupun tidak langsung terkena dampak dari penyebaran COVID-19 setidaknya dapat bernafas lega karena adanya kebijakan restrukturisasi.

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral juga berperan aktif guna memberikan sumbangsih dalam kebijakan-kebijakan pada level ekonomi makro guna menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia, dalam bentuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebagai suku bunga acuan dalam pasar keuangan sebesar 25 (dua puluh lima) poin, menjadi 4,5% (empat koma lima persen) agar meminimalisir terjadinya inflasi yang dapat berimbas pada krisis moneter di Indonesia, yang mana akan berdampak langsung pada withdrawal investasi baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing seperti yang terjadi pada tahun 1998.

Berikutnya yakni pengaturan di bidang ketenagakerjaan, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang ditetapkan pada tanggal 06 Mei 2020 (untuk selanjutnya cukup disebut sebagai “SE Menaker 6/2020”). Terdiri dari 4 (empat) poin utama, pengaturan di dalam SE Menaker 6/2020 memberikan keringanan bagi pelaku usaha yang tidak mampu untuk membayarkan Tunjangan Hari Raya (untuk selanjutnya cukup disebut sebagai “THR”) bagi para pekerja, baik ketidakmampuan untuk membayar secara penuh maupun ketidakmampuan untuk membayar sama sekali dengan catatan harus persoalan demikian harus diselesaikan melalui dialog antara pelaku usaha dan pekerja guna mencapai kesepakatan.

Tentu saja pengaturan dalam SE Menaker 6/2020 membawa angin segar di bidang investasi di tengah pandemi COVID-19 ini, karena secara helicopter view dipahami bahwasanya ada penurunan yang signifikan atas penghasilan yang diterima pelaku usaha, sehingga untuk pembayaran THR tentu akan ada kendala yang timbul. Ketentuan dalam SE Menaker 6/2020 memberikan keringanan bagi pelaku usaha tanpa mengorbankan hak dari pekerja.

Selanjutnya ialah pengaturan di bidang industri, Menteri Perindustrian Republik Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Operasional Pabrik dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 yang ditetapkan pada tanggal 07 April 2020 (untuk selanjutnya cukup disebut sebagai “SE Menperin 4/2020”). Terdiri dari 6 (enam) poin utama, pengaturan di dalam SE Menperin 4/2020 berorientasi untuk menjaga keberlangsungan operasional pabrik dan agar tidak serta merta menghentikan operasional secara keseluruhan, karena jikalau operasional pabrik dihentikan secara keseluruhan, maka akan berdampak bagi pelaku usaha dan juga pekerja. SE Menperin 4/2020 menetapkan pedoman-pedoman yang harus ditaati oleh pelaku usaha dan juga pekerja Ketika akan beraktivitas di area pabrik selama penyebaran COVID-19. Hal ini memungkinkan pabrik untuk tetap beroperasi dan juga menjaga agar penyebaran COVID-19 selama beraktivitas di area pabrik dapat diminimalisir.

Yang terakhir, yakni di bidang pasar modal, PT. Bursa Efek Indonesia (untuk selanjutnya cukup disebut sebagai “BEI”) sebagai penyelenggara perdagangan efek telah menerbitkan Keputusan Direksi PT. Bursa Efek Indonesia Nomor Kep-00024/BEI/03-2020 tentang Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat yang ditetapkan pada tanggal 10 Maret 2020 dan berlaku efektif sejak terhitung keesokan hainya di tanggal 11 Maret 2020 (untuk selanjutnya cukup disebut sebagai “Kep. Direksi BEI 24/2020”). Terdiri dari 3 (tiga) poin penting, pengaturan di dalam Kep. Direksi BEI 24/2020 senyatanya melindungi investor yang melakukan investasi tidak langsung (indirect investment) melalui pembelian efek di BEI. Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan beragam kebijakan guna melindungi investasi langsung, namun tidak pula lupa untuk memberikan perlindungan bagi investasi tidak langsung. Kep. Direksi BEI 24/2020 ialah bentuk nyata upaya Pemerintah Republik Indonesia untuk melindungi investasi tidak langsung dalam bentuk menjaga agar BEI tetap kondusif, stabil, dan melaksanakan perdagangan efek dalam skala wajar.

 Inti pengaturan di dalam Kep. Direksi BEI 24/2020 ialah mengenai penetapan trading halt (pembekuan perdagangan efek untuk sementara waktu) manakala terjadi kondisi darurat, salah satunya mengenai kepanikan pasar dalam transaksi efek sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (untuk selanjutnya cukup disebut sebagai “IHSG”) anjlok drastis. Kondisi ini tentu relevan dengan penyebaran COVID-19 yang mengakibatkan banyak pekerja terkena lay-off sehingga harus memilih untuk melikuidasi efek yang dimiliki di BEI secara seketika.

Penetapan trading halt untuk keadaan di mana IHSG anjlok tentu memberikan perlindungan dan kepastian bagi para investor yang melakukan pembelian efek di BEI karena bila IHSG anjlok dan dibiarkan begitu saja, maka akan berdampak pada runtuhnya BEI akibat perdagangan dalam keadaan panik (panic buying / panic selling) yang akan membawa kerugian bagi para investor. Penetapan lamanya trading halt bervariasi, tergantung dari seberapa anjlok IHSG. Untuk penurunan IHSG hingga lebih dari 5% (lima persen) dan penurunan lanjutan hingga lebih dari 10% (sepuluh persen), maka akan ditetapkan trading halt selama 30 (tiga puluh) menit masing-masing. Bila penurunan berlanjut hingga lebih dari 15% (lima belas persen), maka akan ditetapkan trading suspend (penghentian seluruh perdagangan) untuk waktu tertentu.

Kesimpulannya, meskipun Pemerintah Republik Indonesia terbilang cukup lambat dalam menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional maupun mengambil langkah-langkah pencegahan COVID-19 (dalam bentuk penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada beberapa daerah), namun Pemerintah Republik Indonesia telah berhasil untuk “menjaga” lini-lini perekonomian dan investasi agar tidak kolaps di tengah pandemi COVID-19 dengan menerapkan beragam kebijakan di bidang perpajakan, bea dan cukai, perbankan dan pembiayaan, ketenagakerjaan, perindustrian, dan pasar modal, dengan tujuan untuk memberikan fasilitas tertentu untuk meringankan beban serta untuk memberikan perlindungan hukum atas keadaan yang tidakterduga.



Tim Penulis :
- Elviani (1751089)
- Jassline Mutiara (1751060)
- Dessy Litjua Ling-Ling (1751042)

Dosen Pengampu :
Shenti Agustini, S.H., M.H

Ikuti tulisan menarik Elviani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler