x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 16 Juni 2020 17:12 WIB

Akademisi Baperan, Mereka yang Kehilangan Jati Diri

Mengapa kampus-kampus universitas kita saat ini begitu sunyi dari tradisi berpikir kritis untuk menemukan dan menyuarakan kebenaran. Jika akademisi tidak lagi berkhidmat untuk menemukan dan menyuarakan kebenaran, apakah ia masih layak menyebut diri akademisi tulen sekalipun ia bergelar akademik yang panjaaaang dan mentereng?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Sedari awal memasuki kampus sebagai mahasiswa belia, akademisi--mereka yang kemudian menghidupkan kampus perguruan tinggi, para ahli dan ilmuwan serta para peneliti di berbagai institusi, pusat riset, dan pusat studi--dididik dan dilatih untuk mencari dan menemukan hakikat sesuatu. Sejak belia, akademisi diajar untuk menemukan kebenaran sebagai tugas pencarian hingga sejauh mungkin mereka mampu mendekatinya. Tak pernah sekalipun akademisi dididik untuk mengingkari kebenaran setelah mereka mengetahuinya.

Penghargaan yang diburu oleh akademisi ialah penghargaan atas pencapaian kebenaran yang mampu mereka raih; bukan jabatan, harta, apa lagi sekedar popularitas dan kedekatan pada kekuasaan. Untuk meraih kebenaran, akademisi berikhtiar keras, berpikir, bertukar gagasan, menuangkanya ke dalam tulisan dan paparan, serta mengabaikan puja-puji yang berada di luar jalur pencarian kebenaran. Bagi mereka, meraih kebenaran sejauh yang mereka mampu merupakan puncak kepuasan.

Menemukan kebenaran merupakan langkah yang muskil bila tidak disertai kebebasan berpikir. Boleh dikata, kebebasan berpikir adalah titik tolak untuk menemukan kebenaran dengan cara mengritisi pikiran yang ada, melakukan diskursus dan bertukar pikiran, menguji kebenaran apa yang sudah dianggap benar, dan mengonstruksi gagasan baru. Semua itu dilakukan tanpa dihantui oleh bayang-bayang kekuatan apapun yang mengancam dan menakutkan. Jikalaupun ada kekuatan yang mengancam, akademisi mestilah berpegang teguh pada pencarian kebenaran dan menyuarakannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi akademisi, keteguhan untuk menjaga kebebasan berpikir dan konsistensi pada jalan mencari dan menemukan kebenaran dianggap penting untuk dipelihara. Menjaga konsistensi merupakan upaya yang terus-menerus, merupakan proses, bukan sesuatu yang statis, sebab godaan terhadap konsistensi menjaga kebebasan berpikir dan mencari kebenaran akan selalu ada dalam beragam wujudnya.

Godaan itu bisa datang dari arah manapun, dari kantong-kantong ekonomi yang mengajukan tawaran menggiurkan, dari pusat-pusat kekuasaan yang menawarkan otoritas dan kewenangan yang memuaskan hasrat berkuasa, maupun dari kepentingan pribadi--hasrat untuk cepat kaya, ingin berkuasa, atau sekedar menghamba pada kekuasaan. Ketika akademisi telah disibukkan oleh hasrat akan kuasa dan harta, maka ia berisiko keluar dari jalur pencarian kebenaran. Mereka mungkin memang pintar, tapi kepintaran hanyalah salah satu aspek yang melekat pada akademisi, yang sesungguhnya lebih rendah dibandingkan kejujuran meupun keberpihakan pada keadilan dan kebenaran.

Ikhtiar menemukan kebenaran itu bukanlah untuk kebenaran semata, melainkan kebenaran yang membimbing masyarakatnya ke arah kebajikan. Adalah sebuah kehilangan besar bagi masyarakat apabila para akademisi hanya berhenti sebagai ilmuwan yang steril dari persoalan sosial masyarakatnya. Banyak akademisi yang menutup mata walaupun melihat dan mengerti adanya ketidakbenaran dan ketidakadilan di masyarakatnya. Namun, mereka yang berdiam diri masih mending dibandingkan dengan akademisi yang memilih untuk mendukung kekuasaan tanpa mempedulikan kebenaran dan keadilan.

Sungguh ironis bahwa ketika kekuasaan sudah demikian kuat sekalipun, ada saja akademisi yang cemas ketika kekuasaan dikritik, bahkan tampak terkesan lebih cemas ketimbang yang berkuasa. Menyedihkan pula, ada akademisi yang bersikap layaknya tukang adu-adu, yang melaporkan kepada junjungannya jika ada yang bersuara kritis. Para akademisi ini seperti kehilangan jati dirinya sebagai pencari dan penyuara kebenaran. Mereka cenderung menjadi lebih mudah menjadi 'baper' dan 'caper'.

Gejala ini layak untuk diperhatikan di masa kini, yang barangkali dapat membuka kejelasan tentang mengapa kampus-kampus universitas kita saat ini begitu sunyi dari tradisi berpikir kritis untuk menemukan dan menyuarakan kebenaran. Jika akademisi tidak lagi berkhidmat untuk menemukan dan menyuarakan kebenaran, apakah ia masih layak menyebut diri atau disebut sebagai akademisi tulen sekalipun ia bergelar akademik yang panjaaaang dan mentereng? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler