x

Iklan

Alwin Jalliyani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Januari 2020

Kamis, 18 Juni 2020 14:39 WIB

Kiat Pekerja Seni Menjaga Dapur Tetap Mengepul, Kisah 3 Tokoh

Dampak pandemi dirasakan langsung para pekerja seni, sebab industri kreatif macet. Selain terganjal kebijakan, juga persoalan keselamatan diri menjadi pertimbangan. Kondisi ini menghentikan kegiatan produksi film, penggarapan teater, konser musik, dan industri kreatif lainnya. Bertahan mandiri dikala berhentinya industri menimbulkan cerita sendiri. Simak kisah 3 tokoh seni berikut: Rudolf Puspa, manajer The Panturas, dan sutradara Andi Bachtiar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pekerja seni merupakan julukan bagi mereka yang memilih berkarya sebagai mata pencaharian. Karya yang dilahirkan memiliki bentuk yang beragam. Seperti pertunjukan, kriya, visual, video, dan audio. Meski menggunakan media yang bervariasi, terdapat satu benang merah, bertujuan menghibur masyarakat.

Nilai hiburan dikonversi menjadi pendapatan bagi para pekerja seni. Salah satu bentuk pertukaran nilai hiburan dengan nilai ekonomi berupa penjualan tiket untuk industri musik, film, teater, dan pertunjukan lainnya. Dewasa ini industri kesenian lebih sering disebut industri kreatif.

Perkembangan industri kreatif cukup signifikan. Terutama bila dilihat dari peningkatan sumbangsihnya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sembilan tahun terakhir. Berdasarkan data yang dihimpun OPUS Ekonomi Kreatif, periode 2015-2018 sektor ini menyumbang Rp 3889 triliun. Belum ditambah kontribusi tahun lalu yang diproyeksikan mencapai Rp 1211 triliun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masa subur industri kreatif terancam berhenti akibat pandemi. Wabah Covid-19 menjadi musibah bagi pekerja seni. Aktivitas mereka terhambat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Salah satu isinya mengatur  tentang pembatasan jumlah orang di tempat umum. Ditambah industri ini tidak termasuk sektor yang mendapat pengecualian beroperasi.

Dampak kebijakan PSBB dirasakan langsung bagi para pekerja seni. Industri kreatif tidak bisa berjalan saat kondisi sekarang. Selain terganjal kebijakan, juga persoalan keselamatan diri menjadi pertimbangan. Kondisi ini menghentikan kegiatan produksi film, penggarapan teater, konser musik, dan industri kreatif lainnya.

Saya berkesempatan berbincang dengan tiga pelaku seni di industri yang berbeda. Wawancara dilakukan melalui panggilan whatsapp. Mereka mengisahkan pengalaman yang dihadapinya selama masa pandemi.

Industri Teater Dibuat Keder

Tirai pertunjukan ditutup sementara. Pementasan entah sampai kapan harus ditunda. Hal ini dirasakan semua pelaku teater yang sedang mempersiapkan pementasan. Termasuk Teater Keliling yang dikonfirmasi Rudolf Puspa, pendiri sekaligus sutradara (14/05/2020).

“Ada tiga pementasan yang tertunda karena pandemi ini. Pementasan The Great Rahwana yang seharusnya digelar 11 April, pementasan keliling di lima kota pada akhir Juni, dan pementasan Takdir Cinta Pangeran Diponegoro yang dijadwalkan akhir tahun,” jelas Rudolf.

Akibat situasi yang tidak menentu, pertunjukan tersebut akan mundur hingga tahun depan. Produksi pementasan terdekat melibatkan sekitar 400 orang. Terdiri dari pemeran, penari pendukung, pemusik, paduan suara, dan crew panggung. Padahal, Rudolf menyatakan mereka sudah siap pentas seratus persen.

Publikasi sudah gencar dilakukan secara online dan offline. Beberapa kali mereka melakukan mini show case di pusat perbelanjaan dan museum di Jakarta. Cuplikan adegan pementasan ditampilkan untuk menarik perhatian. Antusias masyarakat dinilai cukup tinggi, bahkan saat latihan terakhir di Fatahillah disaksikan ribuan orang.

Rudolf menyampaikan jumlah kerugian akibat pandemi mencapai lebih dari Rp100 juta. Biaya yang dikeluarkan untuk perbaikan kostum, dekorasi, properti panggung, dan hand property. Serta anggaran untuk publikasi, mini show case, dan latihan dari bulan Desember hingga awal Maret.

“Pekerja teater banyak yang kehilangan pemasukan. Di sisi lain mereka punya dapur yang harus tetap mengepul. Sekarang ini daya kreatif seseorang harus digunakan untuk melihat segala kemungkinan,” ungkapnya.

Terkait hal ini, Rudolf menyampaikan mulai Maret pemerintah sudah melakukan pendataan terhadap para seniman yang kehilangan pekerjaan. Ia sudah mengisi formulir dan data yang diperlukan, tapi sampai sekarang belum tau kelanjutannya seperti apa.

Sejak diberlakukannya kebijakan PSBB, Teater Keliling menerapkan latihan jarak jauh menggunakan aplikasi video conference. Pernah ketika mereka asik latihan, salah satu aktor yang seharusnya berdialog terdiam, yang lain mengira dia lupa naskah, ternyata jaringannya terputus. Meski terdapat beberapa kendala, Rudolf tetap menyebarkan energi positif kepada timnya.

Diskusi bersama tim produksi rutin dilakukan dengan cara serupa. Topik yang diangkat adalah ide dan gagasan untuk kedepannya. Kegiatan diskusi ini untuk menghidupkan kreativitas agar tidak mati. Mereka kerap diberikan tugas eksplorasi mandiri di rumah.

Masa pandemi membuatnya tersadar betapa bermanfaatnya ilmu teknologi. Selama ini ia mengaku terlalu sibuk mengurus pementasan sehingga tidak sempat memikirkan hal tersebut. Ia berpendapat bahwa apapun bisa dilakukan dengan teknologi yang ada.

“Pentas elektronik itu kemungkinannya sangat besar. Kami sedang mempelajari pola latihan yang tepat untuk menyatukan arwah pemain dengan teknologi agar terbiasa. Kemungkinan pementasan tahun depan akan mencoba konsep yang berbeda,” ujar Rudolf.

Musisi Melawan Pandemi

Rutinitas bermusik dari panggung ke panggung dipaksa berhenti. Semua konser musik gagal terlaksana karena tidak mendapat izin keramaian. Musisi dipaksa memutar otak untuk bertahan di tengah pandemi. Seperti pengalaman band The Panturas yang disampaikan oleh manajernya, Iksal (12/05/2020).

“Kondisi seperti ini sangat berpengaruh terhadap pemasukan. Soalnya musisi Indonesia sumber pendapatan utamanya masih dari pertunjukan langsung. Belum bisa mandiri dari digital,” ujar Iksal.

Band yang beraliran surf rock  ini mengalami estimasi kerugian hingga Rp300 juta. Sejak bulan Februari ada sekitar 10-15 acara yang dibatalkan. Biasanya dalam sebulan mereka manggung 6-8 kali. Selama masa pandemi mereka hanya bisa mengambil tawaran proyek berbasis digital. Bentuknya siarang langsung instagram atau bersponsor. Tren ini cukup populer selama masa pandemi.

Di tengah pandemi, musisi dituntut untuk terus membuat konten digital. Pada pertengahan Maret, April, dan Mei, The Panturas mengeluarkan video klip baru. Mereka juga kerap membuat vlog menggunakan aplikasi zoom. Hal ini disampaikan Iksal untuk menjaga eksistensi.

Ada pepatah yang mengatakan, barang siapa menanam pasti akan menuai. Pepatah ini cocok menggambarkan hasil yang sedang dituai The Panturas saat ini. Sejak awal mereka aktif menggunakan sosial media sebagai sarana promosi dan komunikasi.

“Ketika sponsor mengalami transisi dari offline ke online, untungnya The Panturas punya portofolio dan traffic yang bagus disitu. Akhirnya masuk daftar artis yang dicari para sponsor,” sambungnya.

Sektor lain yang menjadi sumber pemasukan adalah merchandise. Iksal mengaku pemasukan dari penjualan merchandise sangat membantu. The Panturas juga berkolaborasi dengan beberapa vendor lokal seperti sepatu dan kaus untuk menciptakan produk yang autentik.

“Selama ini band Indonesia jalan sendiri. Tanpa adanya bantuan dari pemerintah masih jalan. Jadi, kami enggak mengharapkan itu,” jawab Iksal ketika disinggung mengenai bantuan pemerintah kepada musisi.

Industri Layar Lebar Harus Bersabar

“CUT! CUT! CUT!,” teriak pemerintah kepada pelaku industri film yang sedang berproduksi. Kebijakan PSBB menghentikan semua kegiatan syuting dan penayangan film di Indonesia.

Sutradara, produser, dan penulis kawakan, Andi Bachtiar, menyampaikan kisah yang dialami pelaku industri film saat dihubungi pada 13 Mei 2020. Ia sendiri seharusnya tanggal 6 April mulai syuting sekuel Dealova 2 sebagai produser. Tanggal 25 April mulai syuting sebagai sutradara untuk film yang berbeda. Total proyek yang seharusnya digarap tahun ini sebanyak empat judul.

Produksi film yang seharusnya sudah dimulai, terpaksa mundur tayang hingga tahun depan. Lokasi syuting di luar kota dialihkan ke sekitar Jabodetabek. Ia mengantisipasi risiko kendala perizinan. Keputusan ini juga memangkas biaya produksi.

“Akibat bioskop tutup, ada 44 film Indonesia yang tertunda tayang. Sehingga jadwal penayangan mundur cukup jauh,” ungkap Andi.

Tertundanya penayangan menghambat investasi industri film. Ia mengambil rata-rata biaya produksi satu film sebesar Rp 6 miliar. Jika film yang tertunda tayang jatuh tempo investasi bulan Juli-Agustus, maka ada sekitar Rp 264 miliar investasi tertahan.

“Sekitar 20 produksi film yang terpaksa berhenti. Kita anggap budgetnya Rp6 miliar, kurang-lebih Rp120 miliar kerugian untuk produksi film yang tertunda. Belum termasuk produksi televisi dan series,” ungkap sutradara film Love for Sale 1&2.

Film yang terpaksa berhenti syuting harus mengeluarkan biaya dua kali lipat. Biaya sewa alat, dekorasi, akomodasi, dan biaya variabel lainnya harus dikeluarkan lagi saat melanjutkan syuting. Menurutnya, total kerugian akibat berhentinya ekosistem industri film lebih dari Rp 1 triliun.

Rata-rata satu proyek film terdiri atas 70 orang tim produksi. Belum lagi produksi yang melibatkan 200 orang. Penundaan syuting berdampak bagi lebih dari 1.400 pekerja film. Andi menambahkan, pembayaran crew-crew biasanya dibayar setiap kali syuting. Sekarang syutingnya enggak ada, otomatis pendapatan mereka berhenti semua.

“Ada crew saya sekarang berusaha di kampung, ada yang menjadi pengemudi ojek online, ada juga yang jualan cireng untuk bertahan hidup,” jelasnya.

Selepas pandemi, kondisi belum tentu langsung kembali normal. Tidak semua orang akan buru-buru ke bioskop. Ia menganggap ada kelas sosial yang takut keluar. Jika jumlah kelas sosial ini lebih banyak, maka akan berpengaruh terhadap jumlah penonton dalam dua bulan pertama pemutaran bioskop kembali.

Menurutnya, Industri film kurang diperhatikan oleh pemerintah. Dalam pembuatan kebijakan, kerap menjadi prioritas terakhir karena dinilai produk selebriti bukan produk kebudayaan. Seperti penerapan Undang Undang film yang dirasa belum diterapkan secara optimal, apalagi dalam kondisi seperti ini.

Ketiga pengalaman mereka merupakan sebagian kecil kisah pekerja seni di masa pandemi. Mereka yang selama ini berkontribusi, kini harus berjuang mandiri saat industri berhenti. Sembari menunggu kabar baik, kapan semua bisa kembali.

Ikuti tulisan menarik Alwin Jalliyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler