x

Pilkada Langsung dan Iklim Usaha

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 23 Juni 2020 07:54 WIB

Melestarikan Tradisi Politik Kekerabatan

Di negara manapun, faktor kekerabatan menjadikan kompetisi politik tidak lagi berjalan fair 100%. Sebagian orang menikmati keuntungan politik karena kerabatnya sedang menjabat, sementara yang lain tidak. Hak rakyat untuk memperoleh pemimpin yang tepat dalam pandangan rakyat terkontaminasi oleh faktor kekerabatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Peluang tidak akan datang dua kali. Pemain sepakbola tahu benar bahwa peluang terbaik untuk mencetak gol ke gawang lawan tidak pernah besar. Sebuah momen yang mungkin hanya berlangsung sekian detik harus dapat dimanfaatkan secara cerdik oleh seorang pemain. Mungkin pakai tendangan salto atau sundulan kepala atau pura-pura ditekel pemain lawan biar dapat hadiah penalti 12 pas. Pilihannya harus dibuat cepat: mencetak gol saat ini atau kehilangan peluang.

Begitu pula dengan politik kekuasaan. Banyak elite politik yang tampaknya berpikir seperti pemain bola yang cerdik dalam melihat peluang dan memanfaatkan momen untuk mencetak gol. Politikus yang sensitif dan kaya pengalaman akan tahu benar bahwa momen tertentu adalah peluang yang tipis kemungkinannya akan terulang. Misalnya saja, yang semakin ngetren, selagi masih ada di kursi kekuasaan, apapun jenjangnya, maka itulah peluang untuk membangun masa depan politik kekerabatan. Kalau perlu bukan hanya anak dan menantu yang diperbolehkan maju ke gelanggang politik, tapi juga ipar, keponakan, dan mertua. Apa lagi, tak lama lagi musim pilkada tiba.

Para elite politik mungkin saja membantah bahwa kerabatnya memanfaatkan aji mumpung. Elite barangkali juga berkilah bahwa alasan kerabat terjun ke dunia politik adalah untuk mengekspresikan hak politik warga (ada benarnya, sih). Namun, adanya relasi antara terjunnya kerabat ke dunia politik dengan momen seorang figur tengah berkuasa tidak mudah untuk dihapus dari penglihatan warga awam sekalipun. Ketika seseorang menempati jabatan tertentu, maka itulah peluang terbaik bagi kerabat untuk ikut terjun ke dunia politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagaimana pemain sepakbola, pemain politik paham benar mengenai momen krusial ini. Pendeknya: ambil atau tinggalkan sama sekali, sebab momen politik itu akan hilang atau setidaknya bakal meredup apabila kerabat baru terjun ke dunia politik manakala orang yang jadi patronnya tidak lagi berada di kursi kekuasaa. Inilah kenyataan yang kita hadapi saat ini. Inilah realitas politik yang kerap disebut sebagai politik dinasti atau politik kekerabatan.

Sebagaimana dikutip Majalah Tempo edisi 15 Juni 2020, Yoes C. Kenawas, kandidat doktor ilmu politik di Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa saat ini ada 117 kepala dan wakil kepala daerah yang berasal dari dinasti politik. Mereka memenangi pemilihan kepala daerah serentak dalam lima tahun terakhir. Di Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024, ada 104 anggota Dewan yang memiliki ikatan kekerabatan dengan elite politik.

Jumlah itu setara dengan 18,09% dari jumlah keseluruhan anggota DPR periode 2019-2024 yang berjumlah 575 orang. Jelas bukan angka yang kecil. Relasi antara kerabat yang terjun ke dunia politik dengan figur patron yang sedang berkuasa menjadikan angka tersebut sangat berarti dalam memengaruhi iklim politik kita. Demokrasi kita tidak berjalan sebagaimana pengertian yang melekat pada istilah ini, sebab di dalam praktiknya terdapat 'kebijaksanaan'; dan kebijaksanaan ini terkait dengan kekerabatan para elite.

Melalui kekerabatan, peluang untuk menapaki jenjang karier politik yang lebih tinggi menjadi tidak lagi setara bagi semua orang. Contoh sederhana: seseorang yang baru terjun ke dunia politik (sebut saja 'orang baru') dapat dengan mudah menemui pejabat publik ataupun petinggi partai karena pejabat atau petinggi ini tak bisa mengabaikan faktor kekerabatan 'orang baru' itu dengan figur yang sedang berkuasa. Jika 'orang baru' itu bukan siapa-siapa, akan sukar baginya memasuki gelanggang politik papan atas melalui jalan tol.

Di negara manapun, faktor kekerabatan menjadikan kompetisi politik tidak lagi berjalan fair 100%. Sebagian orang menikmati keuntungan politik karena kerabatnya sedang menjabat, sementara yang lain tidak. Hak rakyat untuk memperoleh pemimpin yang tepat dalam pandangan rakyat terkontaminasi oleh faktor kekerabatan. Seseorang yang di mata rakyat sejatinya layak jadi pemimpin mungkin saja dipaksa menepi untuk memberi jalan bagi figur lain yang memiliki koneksi kekerabatan dengan elite politik-ekonomi. Sistem seleksi kepemimpinan tidak berjalan semestinya. Meritokrasi terkalahkan oleh kekerabatan dan, yang juga sering terjadi, terkalahkan oleh popularitas--ketenaran juga bisa menjadi jalan tol menuju kekuasaan.

Tapi, unsur kekerabatan atau dalam bahasa kerennya nepotisme mungkin memang tidak mudah dihapus dari panggung kehidupan manusia. Bukan hanya di lapangan politik yang erat kaitannya dengan kekuasaan, tapi juga dalam ekonomi, bahkan juga perkawinan. Dan bukan hanya di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain. Jalan pikiran di balik ini sebenarnya sederhana saja: jika kerabat sendiri bisa jadi pejabat, kenapa mempersilakan orang lain yang menjabatnya?

Jika dipikir-pikir secara lebih sederhana, sebenarnya para elite politik ini mungkin hanya melanjutkan apa yang sudah dijalankan oleh leluhur kita. Di zaman baheula sekali, para raja berpikir seperti itu: anak dipersiapkan menjadi putera mahkota hingga siap menggantikan kedudukan ayahanda; kerabat diangkat menjadi pangeran dengan tugas khusus, misalnya memimpin wilayah tertentu; ibunda raja diangkat menjadi penasihat raja. Bahkan, raja-raja dari kerajaan yang berbeda menjalin relasi per-besan-an sehingga terbentuklah persekutuan elite antar-kerajaan yang tidak mudah digoyahkan oleh rakyat. Pergantian kepemimpinan akan berputar di antara para elite terbatas.

Boleh dikata, kekerabatan atau nepotisme itu untuk waktu yang lama telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat elite. Inilah tradisi yang tidak mudah lapuk dimakan waktu. Rakyat tampak tidak berdaya menghadapi tradisi ini. Jadi, kalau di zaman sekarang nepotisme (masih) berjalan, meskipun berulang kali digugat, barangkali ini yang namanya melestarikan tradisi. Bukankah kaum elite kerap menganjurkan pelestarian tradisi dan kekerabatan dalam berpolitik salah satu di antaranya? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB