x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 25 Juni 2020 06:02 WIB

DPR kok Gemar 'Slinthutan', Berpolitiklah Layaknya Kesatria

Rupanya, para anggota Dewan kini gemar menggunakan strategi 'slinthutan' alias melakukan manuver politik secara diam-diam, khususnya terkait penyusunan RUU maupun revisi UU lama. Cara kerja DPR yang mengabaikan aspirasi rakyat seperti dilakukan semasa menggarap revisi UU KPK, diulangi kembali. Pokoknya proses legislasi dibuat cepat, efisien, dan efektif tanpa memberi kesempatan cukup kepada rakyat untuk menyampaikan pendapatnya; kalaupun ada, pendapat rakyat diabaikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Selama beberapa bulan terakhir para politikus di DPR maupun pemerintahan ngebut mengerjakan beberapa rancangan undang-undang. Walaupun ditentang masyarakat saat disusun, revisi UU KPK akhirnya rampung dengan segenap kontroversinya. UU KPK hasil revisi dikerjakan secara expres dan langsung cetak gol berkat kekompakan pemerintah dan DPR. UU Mineral dan Batubara pun demikian. Ketika rakyat masih sibuk menghadapi ancaman wabah Corona, pemerintah dan DPR diam-diam membereskan UU Minerba yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan dan lebih memihak kepentingan elite.

Pemerintah dan DPR juga ngebut menggarap RUU Cipta Kerja dalam rangka omnibus law. Rakyat belum tahu secara jelas bagaimana perkembangan penyusunan RUU ini, lagi-lagi karena perhatian rakyat tersita urusan mempertahankan hidup sehari-hari. Eh ... tahu-tahu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, yang juga Ketua Umum Golkar, mengatakan bahwa meskipun masih dibahas, pada pokoknya RUU Cipta Kerja sudah disetujui oleh DPR (https://nasional.tempo.co/read/1355351/airlangga-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-sudah-disetujui-dpr).

Belum lagi reda kerisauan akan berbagai undang-undang itu, rakyat dikagetkan kembali oleh kemunculan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Rancangan undang-undang ini disusun selagi perhatian rakyat masih tersedot oleh hiruk pikuk Covid-19. Kontroversi RUU HIP belum lagi reda sepenuhnya, DPR dan pemerintah sudah mau mengangkat kembali RUU yang sebelumnya telah ditentang masyarakat, yaitu RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terkesan betul bahwa pemerintah dan DPR memanfaatkan kesempatan di tengah situasi pandemi agar perhatian rakyat tidak banyak tertuju pada penyusunan berbagai RUU tersebut, apa lagi melakukan protes. Dengan melakukan proses-proses legislasi di masa pandemi secara cepat, terbatas, dan tidak tranparan, maka jelaslah keterlibatan rakyat dalam penyusunan rancangan undang-undang tersebut terlihat dicoba untuk dibatasi.

Rupanya, para anggota Dewan kini gemar menggunakan strategi 'slinthutan' alias melakukan manuver politik secara diam-diam, khususnya terkait dengan penyusunan undang-undang baru maupun revisi undang-undang lama. Cara kerja DPR yang mengabaikan aspirasi rakyat seperti dilakukan semasa menggarap revisi UU KPK sepertinya diulangi kembali. Pokoknya prosesnya dibuat cepat, efisien, dan efektif tanpa memberi kesempatan yang cukup kepada rakyat untuk menyampaikan pendapatnya; kalaupun ada, pendapat rakyat diabaikan.

Entah apa yang dipikirkan oleh para politikus ini. Reaksi masyarakat terhadap proses penyusunan revisi UU KPK seharusnya menjadi pengalaman penting bagi DPR untuk diambil pelajaran dan dipertimbangkan. Kalaupun dalam proses penyusunan rancangan undang-undang itu DPR mengklaim sudah mengajak berbicara beberapa orang yang mereka pilih dan kemudian mengklaim bahwa mereka sudah mendengarkan aspirasi rakyat, rasanya sikap seperti itu berlebihan.

Pelajaran yang diambil oleh pemerintah dan DPR dari penyusunan undang-undang yang sudah berhasil disahkan bukanlah pentingnya mereka mendengarkan dan menyerap aspirasi rakyat, sebagaimana diamanahkan oleh UUD, melainkan justru bagaimana memanfaatkan situasi keprihatinan rakyat. Rakyat meminta agar DPR dan pemerintah sungguh-sungguh melibatkan rakyat dalam menyusun peraturan perundangan karena rakyat akan terkena dampak perundangan itu. Namun, alih-alih bersikap bijaksana, DPR dan pemerintah malah terkesan memilih cara diam-diam (bahasa Jawanya 'slinthutan') agar rancangan tersebut dapat segera diselesaikan tanpa protes dari masyarakat dan perdebatan terbuka di ruang publik. Strategi yang berhasil dipakai saat pembahasan revisi UU KPK tampaknya ingin diulangi kembali dalam penyusunan undang-undang lainnya.

Rakyat menghendaki para politikus dan para elite politik bersikap kesatria dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya. DPR dan pemerintah semestinya menjelaskan secara terbuka kepada rakyat mengenai rencana mereka, "Ini lho agendanya, ini lho isu-isunya, ini lho draf rancangannya, ini lho jadwal pembicaraannya, ini perkembangannya, dan seterusnya. Jika rakyat mau ngasih masukan, kami welcome..." Gamblang, jelas, jujur, dan lapang dada dalam menyerap aspirasi rakyat.

Para anggota Dewan seharusnya tidak 'slinthutan' alias diam-diam dalam menjalankan tugas legislasinya. Anggota Dewan punya kewajiban untuk menyerap aspirasi rakyat secara benar dan jujur. Lagi pula, cara diam-diam seperti itu bukanlah cara berdemokrasi yang kesatria dan elegan. Para anggota Dewan seharusnya menjaga secara sadar marwah dan martabat institusi DPR dengan bekerja sepenuhnya sebagai wakil rakyat sesuai dengan nama institusi ini. Jika para anggota DPR senangnya main 'slinthutan' berarti mereka memang punya agenda tersendiri yang tidak seiring dengan keinginan rakyat banyak, yang seharusnya mereka wakili. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler