x

Literasi

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 26 Juni 2020 17:13 WIB

Budaya Literasi Warga +62 Zaman Now

Rendahnya tingkat litersi rakyat Indonesia, karena kini semakin terbudaya sikap mengabaikan berbagai sumber informasi, pengetahuan, berita dan lainnya, atau cukup membaca judulnya saja. Ini adalah karakter malas, namun "sok tahu".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Fenomena baru menyoal masyarakat kita di zaman ini yang saya identifikasi di antaranya:

Pertama, baru melihat/membaca judul berita/artikel/opini dll, merasa sudah tahu, paham, dan menguasai persoalan.

Kedua, melihat ada orang lain meng-share berita/artikel/opini/video dll dalam grup media sosial, tak peduli.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketiga, melihat ada orang lain meng-share berita/artikel/opini/video dll dalam grup media sosial, langsung ikut latah membagikannya ke grup atau individu lain tanpa membaca/menonton tuntas terlebih dahulu materi berita/artikel/opini/video dll yang langsung dibagikan atau diteruskan.

Dan, masih banyak perlaku lainmya, yang semakin menunjukkan bahwa memang literasi masyarakat kita "rendah".

Sehingga, jika Indonesia dikritik sebagai negara yang rendah tingkat literasinya, baik membaca, menulis maupun berpikir kritis, memang itulah beberapa perilakunya.

Di samping itu, berdasarkan berbagai survei yang menghadirkan fakta angka-angka, tingkat literasi rakyat bangsa kita dibandingkan dengan negara lain begitu jauh tertinggal.

Pangkal masalah mengapa hasil membaca masyarakat Indonesia rendah sebelum zaman milenial, generasi Z, dan generasi digital, karena sebab infrastruktur yang buruk, kualitas pendidikan yang buruk, gizi yang buruk, buku yang mahal dan sebagainya. 

Setali tiga uang, kemampuan menulis dan berbicara, serta berpikir kritis pun dalam kondisi sebelas duabelas dengan membaca.

Dalam bidang pendidikan dan ilmiah lebih parah, sebab produksi jurnal ilmiah di tingkat universitas se-Asia Tenggara, Indonesia di daulat sebagai yang paling rendah pula. Padahal sewajibnya, lulusan universitas adalah ujung tombak penyebar dan motivator budaya literasi di Indonesia.

Lebih menyedihkan, saat sekarang kehadiran gawai smartphone sampai semua hal yang bersifat digital membanjir tak terbendung di Negara Indonesia, ternyata literasi tetap rakyat tetap saja jauh dari harapan.

Padahal kini literasi adalah modal utama bagi manusia sebagai kemampuan dasar untuk bertahan hidup di era global dan digital. Literasi adalah kemampuan membaca, menulis dan berpikir kritis.

Pada hari ini, pendidikan pada umumnya mengasah manusia untuk memiliki empat R kemampuan untuk mengatasi masalah yakni Reading, wRiting, aRitmethic dan Reasoning. Literasi adalah bagian dari membaca, menulis dan berpikir kritis yang diharapkan muncul melalui pendidikan.

Sayang, jangankan literasi masyarakat yang belum berpendidikan akan terangkat, faktanya masyarakat berpendidikan dan berpendidikan tinggi saja masih banyak yang tak memiliki kemampuan literasi dan mereka hanya banyak berkamuflase seolah menjadi masyarakat yang berliterasi.

Sebagai contoh, dimusim pademi corona, tampil di depan media online seperti zoom, latar belakang atau backdropnya adalah rak buku, padahal kenyataannya buku-buku yang ada di rak hanya menjadi asesoris agar terlihat sebagai kaum terdidik dan terpelajar.

Lebih memiriskan hati, di tengah literasi bangsa ini yang terpuruk, jangankan membaca buku, menonton berita aktual di televisi saja malas.

Terlebih membuka berita/artikel/opini/video dll di dalam grup whatsapp yang dikirim anggota lain. Paling-paling hanya melihat di grup ada yang share ini atau itu, bila judulnya menarik, maka tak perlu membuka dan membacanya, malah sok tahu langsung meneruskan dan membagi kepada orang lain atau grup lain.

Sungguh, harus dengan cara bagaimana membuat masyarakat kita "melek" literasi. Sebelum zaman digital hadir, membaca buku malas, membaca koran "ogah", acara berita atau ilmu pengetahuan di televisi diganti chanel.

Ada Perpustakaan dan Taman Bacaan, tapi bagi masyarakat perpus dan taman bacaan juga konotasinya hanya membaca, jadi hanya dengar kata perpus dan taman bacaan saja sudah "boring".

Harus ada paradigma baru menyoal perpus dan taman bacaan di Indonesia yang sudah tak menjadi daya tarik masyarakat. Untuk apa ke perpus dan taman bacaan, buka internet dari handphone saja, apa yang kita butuh tinggal klik.

Hingga saat ini, bicara perpustakaan dan buku bagi masyarakat hanya dibutuhkan saat mereka butuh mencari referensi untuk menyusun karya tulis, karya ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, hingga tugas-tugas untuk ASN dan PNS menyusun tugas demi kenaikan pangkat dll saja karena butuh buku sebagai rujukan dan kerangka teori. Jadi, bagi masyarakat yang tidak memiliki kewajiban dan kepentingan seperti itu, perpus apalagi taman bacaan tak ada urgensinya.

Pertanyaannya, berapa jumlah rakyat Indonesia yang sudah mengenyem pendidikan di banding yang belum? Tak usah saya sebut prosentasenya, yang pasti perbandingannya masih sangat memiriskan hati. Maka, pantas saja, literasi rakyat bangsa ini terus terpuruk.

Yang terdidik saja masih banyak yang tak mampu dan tak mumpuni dalam literasi secara utuh, yaitu belum mampu memiliki keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari sesuai disiplin ilmunya, apalagi disiplin ilmu lain.

Dan yang harus digarisbawahi, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan dan keterampilan berbahasa seseorang yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.

 

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu