x

Ilustrasi Permepuan. Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 28 Juni 2020 11:08 WIB

Boikot Unilever dan Kekuatan Multinational Corp di Era Medsos

Postingan Unilever yang memuat dukungan kepada LGBTQ+ telah memicu pro dan kontra, termasuk di sini. Ajakan boikot produk Unilever pun merebak. Seruan boikot belum tentu efektif karena sudah tercipta ketergantungan masyarakat terhadap produk dan merek yang dimiliki perusahaan global. Masyarakat tidak mudah beralih kepada produk dan merk lain karena berbagai pertimbangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Perusahaan multninasional (Multinational Corporation--MNC) tampaknya semakin dalam melibatkan diri pada isu-isu global yang sensitif, dalam pegertian adanya pandangan pro dan kontra pada isu-isu tersebut. Postingan Unilever yang memuat dukungan kepada LGBTQ+ telah memicu pro dan kontra, termasuk di sini. Postingan ini dengan cepat direspon oleh netizen Indonesia dengan membanjiri IG perusahaan multinasional ini. Seruan boikot atas produk-produk Unilever pun dikumandangkan.

Di tempat lain, khususnya di AS, banyak perusahaan multinasional yang menarik pemasangan iklannya di media sosial, khususnya Facebook, setidaknya selama bulan Juli mendatang. Langkah puluhan MNC ini merupakan respons atas kampanye #stophateforprofit yang berisi ajakan penghentian pemasangan iklan di Facebook terkait merebaknya konten kebencian dan rasisme di media sosial, terutama menjelang pemilihan presiden AS tahun ini. Unilever, Procter & Gamble, Dove, Coca-Cola, Levi's, serta Verizon merupakan beberapa perusahaan yang merespons seruan ini.

Di masa-masa sebelumnya, keterlibatan MNC lebih kepada isu-isu global yang relatif universal, seperti kelestarian lingkungan hidup dan kemiskinan di negara berkembang. Mereka menghindari isu-isu sensitif dan kontroversial yang memecah pendapat masyarakat ke dalam pro dan kontra. Namun kini kelihatannya mereka memasuki wilayah pro-kontra ini dengan mengambil posisi tertentu, contohnya dalam isu LGBTQ+ serta rasialisme dan diskriminasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam konteks isu rasialisme dan diskriminasi, langkah berbagai MNC itu tampaknya ditujukan untuk menekan Facebook yang dipandang membiarkan konten semacam itu beredar di media sosial Facebook. Perusahaan-perusahaan multinasional ini merupakan penyumbang terbesar pendapatan iklan Facebook dan mungkin berharap bahwa penghentian pemasangan iklan tersebut dapat mengubah sikap eksekutif Facebook agar aktif menangani ujaran kebencian di media sosial yang cenderung meningkat menjelang pemilihan presiden AS.

Di satu sisi, gerakan bersama perusahaan global dalam isu-isu tertentu tampaknya akan efektif dalam memengaruhi keadaan. Sebaliknya, gerakan konsumen seperti boikot terhadap produk perusahaan global boleh jadi tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan.

Ada sejumlah alasan mengapa hal itu dapat terjadi. Penghentian pemasangan iklan di Facebook, misalnya, yang sesungguhnya juga merupakan salah satu MNC, dimaksudkan untuk memberi tekanan pada sisi yang berpengaruh langsung terhadap pemasukan Facebook. Dengan kekuatan finansialnya yang luar biasa serta jaringan globalnya yang menjangkau berbagai sudut bumi, MNC tampaknya berusaha memengaruhi arah isu-isu global secara lebih terbuka dibandingkan di masa-masa lalu.

Media sosial menjadi sarana yang efektif untuk menyuarakan sikap MNC: mendukung atau menolak dalam isu-isu global tertentu. Media sosial menjadi andalan MNC dalam menyebarluaskan pengaruhnya secara cepat pada tingkat global. Para eksekutif MNC agaknya tidak mencemaskan dampak penghentian menarik pemasangan iklan promosi yang bersifat persuasif terhadap konsumen, misalnya pada tingkat penjualan.

Sebaliknya, kampanye dukungan terhadap isu-isu global tertentu agaknya dinilai oleh para eksekutif MNC dapat menjadi cara alternatif untuk mendongkrak citra perusahaan dan merk di mata konsumen, sekalipun itu bukan iklan promosi produk dan merek secara langsung. Mereka akan memilih isu tertentu di mana pendukungnya diperhitungkan lebih dominan ketimbang penentangnya. Mereka juga niscaya telah memperhitungkan kemungkinan adanya seruan boikot, namun mereka percaya bahwa seruan boikot itu tidak akan efektif.

Seruan boikot masyarakat terhadap produk-produk MNC, seperti Uniliver, mungkin tidak akan efektif dalam memengaruhi sikap perusahaan terhadap isu yang diprotes masyarakat. Para eksekutif MNC sangat mungkin percaya diri bahwa masyarakat di wilayah tertentu, termasuk Indonesia, tidak akan satu suara dalam menghadapi pernyataan dukungan Unilever kepada isu-isu kontroversial. Pendapat masyarakat akan terpecah. Respons para ekekutif perusahaan global terhadap seruan boikot menunjukkan kepercayaan diri semacam itu.

Lagi pula, seruan boikot itu belum tentu efektif karena sudah tercipta ketergantungan masyarakat terhadap produk dan merek yang dimiliki perusahaan global. Masyarakat tidak mudah beralih kepada produk dan merk lain karena berbagai pertimbangan. Bahkan, dalam konteks MNC yang memiliki kantor-kantor di Indonesia, termasuk Unilever, seruan boikot tersebut tidak akan sepenuhnya manjur sebab banyak warga Indonesia yang bekerja di perusahaan global tersebut. Mereka yang bekerja di perusahaan global ini mungkin akan berpikir sekian kali bila ingin mendukung seruan boikot.

Semua itu menunjukkan betapa kuat pengaruh perusahaan global terhadap kehidupan masyarakat di manapun. Kekuatan cengkeraman itu semakin terlihat pada isu-isu global yang menimbulkan perbedaan pandangan yang tajam di tengah masyarakat. Dalam hal ini, ketidakmampuan masyarakat untuk mengonsolidasikan kekuatannya menjadikan masyarakat lemah di hadapan perusahaan global yang akan memetik keuntungan karena terbelahnya sikap masyarakat. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler