x

Air Terjun di Malang. Foto oleh Iqbal Nuril Anwar dari Pixabay.com

Iklan

sura din

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 April 2020

Jumat, 3 Juli 2020 13:25 WIB

Menjadi Mahasiswa, Ternyata Bisa Keliling Indonesia


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

TIDAK pernah terlintas dibenak ketika menjadi mahasiswa, saya bisa melalang buana di beberapa daerah di Indonesia. Di awal menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Makassar, pikiran saya hanya belajar dan belajar. Setelah itu menuntaskan kuliah. Wisuda. Kemudian pulang kampung.

Dunia mahasiswa adalah dunia di luar imajinasi sebelum saya diterima menjadi salah satu penghuni kampus ayam jantan dari timur. Saya orang desa yang datang ke kota dengan tidak memiliki modal pengalaman sedikit pun tentang kehidupan perkotaan. Sehingga, di awal kuliah, saya merasa kikuk, pemalu, canggung serta minder menghadapi pergaulan yang jauh berbeda dengan kehidupan ketika masih di kampung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perlahan tapi pasti. Seperti ungkapan orang bijak, jika ingin diterima di suatu tempat maka pandailah beradaptasi. Saya mencoba membangun pertemanan yang baik dengan semua orang, walaupun usaha itu tak sepenuhnya berhasil. Sebab, di kampus, senioritas sangat dijunjung tinggi, sehingga di awal kuliah tidak mudah mengakrabkan diri dengan para senior. Namun, beruntung saya banyak teman satu kelas yang menjadi sahabat baik hingga kami benar-benar berakhir ketika selembar ijazah memisahkan persahabatan.

Ketika beranjak semester empat, saya mulai aktif berorganisasi. Walaupun awalnya saya hanya ingin menuntaskan perkuliahan secepatnya sesuai pesan orang tua, kemudian setelah itu kembali ke kampung dan mendapatkan pekerjaan. Tapi, pikiran saya berubah setelah menyaksikan banyak senior dan teman-teman saya yang begitu mantap ketika berbicara di depan orang banyak. Mereka cekatan dalam mengurus administrasi, memimpin rapat, orasi di depan rektorat, wali kota dan kantor gubernur.

Bahkan mereka punya nyali sekeras baja ketika berhadapan dengan aparat kepolisian saat melakukan demonstrasi. Dalam pengamatan, hanya dimiliki oleh mereka-mereka yang berorganisasi.

Di lembaran lain, hal itu saya melihatnya harus dibayar mahal dengan upaya membagi waktu antara kuliah dengan aktif berlembaga. Kadang mereka tidur di sekretariat hanya beralaskan tikar, makan ala kadarnya, itupun satu bungkus nasi bisa di makan bersama-sama dengan yang lain.

Bahkan ketika rapat pun, bisa hingga larut malam dengan segala benturan argumentasi dan logika yang diusung. Rapat-rapat yang dilakukan para penghuni kampus ini, nampaknya mampu mengalahkan rapat anggota DPR di senayan sana yang digaji dengan uang rakyat.

Ketika memutuskan nimbrung dengan senior dan teman-teman di dunia keorganisasian, saya merasakan suasana kekeluargaan yang cukup solid. Saya mencoba menempa diri dalam suasana yang tidak 'nyaman'. Kadang pulang, kadang jarang kembali ke kos-kosan, demi untuk menuntaskan misi lembaga.

Ketika 2010 silam, sepulang dari pulau Lombok dalam suatu kegiatan kelembagaan, dimana saya menjadi ketua umumnya, saya pun diutus oleh Balai Kajian Sejarah Kota Makassar untuk mengikuti kegiatan Kesejarahan di kota Medan. Ketika mendengar informasi itu, hati saya begitu gembira dibuat-nya. Dimana saya bisa naik pesawat untuk pertama kalinya dalam hidup.

Sebab, semasa di kampung, saya hanya bisa memanggil pesawat dari tanah lapang bersama teman-teman sepermainan ketika pesawat melintas di udara perkampungan. Tapi, kini saya akhirnya bisa mengudara dengan menuju tempat terjauh dari kampung saya di Dompu, Nusa Tenggara Barat, sana.

Ketika hari itu tiba, saya diantar oleh seorang sahabat terbaik saya bernama Fitra di bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Waktu memasuki bandara, hati saya tidak karuan, jantung dag-dig-dug, pikiran tak menentu karena tidak tahu bagaimana prosedur untuk menuju badan pesawat. Maklum orang kampung.

Saat pesawat lepas landas, jantung terasa copot. Mesin besar mengudara begitu apik, membelah awan, melintasi udara, menyapa langit dan kemudian mengudara dengan tenang. Sampai-sampai leher saya terasa sakit, karena selama mengudara, pandangan saya tertuju di luar jendela pesawat untuk menyaksikan indahnya negeri yang di sebut Indonesia ini. Dari atas, rumah terlihat kecil, sungai seperti ular sedang merayap, pulau terlihat jelas karena cuaca sangat bersahabat.

Setelah singgah sesaat di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, kembali saya melanjutkan perjalanan dengan pesawat yang berbeda menuju kota Medan. Kali ini, di atas udara saya kembali menyaksikan bagaimana indahnya pulau Andalas yang kini dikenal dengan sebutan Sumatra. Bentangan persawahan di celah awan, saya begitu takjub melihatnya. Indonesia memang indah.

Hati saya semakin yakin dengan kisah-kisah sejarah masa lalu. Dimana ketertarikan bangsa Eropa di masa itu, sangat beralasan untuk menjamah wilayah Nusantara ini. Ibarat seorang gadis cantik dengan sejuta pesonanya, Nusantara mampu menarik hati dan meluluhkan sejuta bangsa kolonial untuk merambah hingga merampas keperawanannya.

Sesaat sebelum mendarat di bandara Polonia, kota Medan begitu terlihat cantik dari udara. Kota terbesar pertama di luar pulau Jawa ini, dibumbui beberapa bangunan-bangunan tinggi di beberapa titik. Beberapa bangunan itu, merupakan warisan kolonial masa lalu. Hal ini mempertegas kota Medan telah memainkan peran penting dalam percaturan ekonomi, sosial-budaya dan politik di masa lalu.

Setelah mendarat dengan mengenakan jas almamater kampus. Saya merasakan sambutan begitu hangat ketika keluar dari badan pesawat. Bersama mahasiswa dari kampus lain seperti dari Pulau Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, kami bergegas menuju wisma Universitas Sumatra Utara (USU). Di kampus itu, kami berjumpa dengan mahasiswa sejarah yang datang dari berbagai kampus di Indonesia dengan beragam dialeknya masing-masing.

Pertemuan itu menguatkan saya tentang sejarah Sumpah Pemuda, menyadari keberagaman dalam persatuan, keharmonisan dalam merawat cita-cita luhur para pendiri bangsa. Perjumpaan itu mengawetkan persaudaraan sesama anak negeri.

Ketika mengingat masa itu, ada rindu tersemai dalam kalbu. Ada cinta belum sempat diutarakan pada seseorang, dan adakah dia merasakan hal yang sama ketika kusapa dirinya saat bersama mengunjungi Istana Maimun? Atau jangan-jangan hanya perasaan ini yang menggelayut yang tak sempat tersampaikan. Tapi, di sini rindu ini masih untuk-nya. Adakan dirinya merasakan hal yang sama, ketika kini jarak memisahkan pertemuan?

Entahlah.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik sura din lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler