x

cover buku Sudjojono dan Aku

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 3 Juli 2020 13:27 WIB

Sudjojono Sang Bapak Seni Lukis Modern Indonesia

Kisah hidup Sudjojono yang dituturkan oleh Mia Bustam, sang istri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Sudjojono dan Aku

Penulis: Mia Bustam

Tahun Terbit: 2013

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: ISAI                                                                                                           

Tebal: xvi + 361

ISBN: 978-979-8933-62-2

 

Pengetahuan saya tentang Sudjojono semiskin pengetahuan saya tentang seni lukis. Saya memang penikmat sastra, tetapi kurang dalam menikmati seni lain, seperti seni lukis, seni suara, seni teater dan seni musik. Itulah sebabnya saya tidak terlalu mengenal tokoh-tokoh di luar para penulis. Paling-paling saya mengetahui bahwa ada Raden Saleh, Affandi, Hendra Gunawan, Joko Pekik dan tentu saja Sudjojono sebagai para pesohor seni lukis Indonesia. Pameran lukisan yang agak lengkap yang pernah saya kunjungi adalah pameran karya-karya cubism Picasso, saat saya kebetulan berada di Washington DC tahun 1996, dan karya-karya Hendra Gunawan yang dipajang di Mall Ciputra di Kasablanka Jakarta. Kedua pameran yang saya kunjungi tersebut membuat saya sangat menikmati lukisan. Namun terus terang ketertarikan saya kepada lukisan tidak sebesar ketertarikan saya kepada tulisan. Selain dari dua pameran tersebut, lukisan-lukisan kebanyakan saya temui di buku-buku atau di internet.

Nama Sudjojono sendiri saya kenal dari buku-buku tentang perjuangan kemerdekaan dan masa-masa awal kemerdekaan. Bukan buku-buku tentang seni lukis. Di bukunya Doed Joesoef “Anak Tiga Jaman” misalnya, nama Sudjojono disebut sebagai orang yang memprakarsai berdirinya Seniman Indonesia Muda, saat Ibukota RI sedang berada di Jogjakarta.

Buku karya Mia Bustam, istri Sudjojono yang mendampingi sampai tahun 1959 ini memberikan informasi banyak tentang sosok pelukis, pejuang, mentor pelukis muda dan lelaki (suami dan bapak) yang ternyata adalah manusia biasa. Baiklah saya tuliskan kesan saya tentang sosok Sudjojono berdasarkan perannya saat beliau berada di dunia, berdasarkan tulisan Mia Bustam yang dilengkapi oleh putra-putrinya. Jadilah saya bisa menikmati kisah hidup maestro seni lukis melalui tulisan.

 

Sudjojono dan Seni Lukis

Bakat Sudjojono dalam melukis sudah tampak sejak masih sangat muda. Bakat tersebut diketahui oleh Yudhokusumo – ayah angkatnya. Yudhokusumo memfasilitasi bakat tersebut sehingga Sudjojono berani bercita-cita menjadi seorang pelukis. Kumpulan sketsanya dibendel dan diberi judul “Hooger, Hooger, Hooger Top” yang artinya mendaki sampai puncak (untuk menjadi seorang maestro lukis). Maka Sudjojono kemudian tekun berlatih dan berkarya di dunia seni lukis.

Pelukis yang sangat peduli kepada pelukis-pelukis muda ini terlibat dalam proses berdirinya Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI). PERSAGI didirikan pada tahun 1937 karena para pelukis menolak aliran “Mooi Indie” yang serba turistis, semata-mata untuk memenuhi minat turis barat (hal. 240). Sudjojono bersama dengan para pelukis generasinya, diantaranya adalah Henk Ngantung, Agus Djaja, Suromo, Abdulsalam dan kawan-kawan lainnya bersepakat untuk menolak aliran yang “mempercantik” tampilan alam dan masyarakat Hindia Belanda dalam lukisan. Para pelukis yang tergabung dalam PERSAGI melukis apa saja dan apa adanya.

Pada jaman Jepang, tepatnya pada tahun 1943, Sudjojono menjadi Tim Seni Lukis PUTERA (hal. 243). Meski PUTERA dekat dengan Jepang, tetapi Sudjojono tidak serta-merta menyerahkan bakatnya untuk propaganda penjajah baru ini. Ia menolak secara halus saat Jepang memintanya menggambar kisah Ramayana, dimana Belanda digambarkan sebagai Rahwana, Jepang digambarkan sebagai Rama dan rakyat Indonesia digambarkan sebagai kera-kera yang mendukung Rama. Sudjojono menolak tugas tersebut dengan alasan bahwa ia tidak terbiasa menggambar wayang (hal. 25).

Pada tahun 1943 inilah Sudjojono berubah gaya melukisnya dari gaya impresionis, ekspresionis menjadi real realis. Apakah gaya melukis Sudjojono yang berubah ini ada hubungannya dengan ideologi kiri yang semakin digelutinya? Saya tidak mendapatkan jawaban dari buku ini, kecuali sedikit petikan dari tulisan Tejabayu di bagian akhir.

Saat PUTERA dibubarkan, bagian kesenian bergabung dengan Keimin Bunka Shidoso. Ia menjadi wakil ketua Bagian Kesenian Keimin Bunka Shidoso yang diketuai oleh Agus Djajasuminta. Baik di PUTERA maupun saat di Keimin Bunka Shidoso, Sudjojono sangat getol menyemangati pelukis-pelukis muda untuk berlatih dan melukis sesuai dengan gaya mereka masing-masing.

Ketika Indonesia sudah merdeka, Sudjojono bersama dengan para pelukis lain mendirikan Seniman Indonesia Muda (SIM) di Jogja. SIM kemudian pindah ke Solo pada akhir tahun 1946, sebelum kembali lag ke Jogjakarta. SIM bukan hanya mewadahi para pelukis, tetapi juga para seniman dari bidang lain, seperti sastra, drama, grafika, keramik bahkan seni tradisional seperti kethoprak.

Setelah tahun 1947, saat SIM bubar. Sudjojono memilih untuk menjadi seniman bebas, tidak bekerja pada pemerintah. Ia tekun melukis dan membuat patung, terutama di Bogem. Sayang sekali rencana pameran lukisan Bulan Desember 1947 gagal dilaksanakan karena Jogjakarta diserang oleh Belanda.

Setelah bercerai dengan Mia Bustam dan menikah dengan Rose Pandanwangi, Sudjojono terus melukis dan membuat pameran. Namun menurut penilaian Yudhokusumo yang dibenarkan oleh Mia Bustam, lukisan-lukisan Sudjojono setelah tinggal di Jakarta menurun kualitasnya. Sudjojono tidak lagi teliti. Lukisannya diselesaikan secara tergesa-gesa.

 

Sudjojono dan Perjuangan Kemerdekaan

Sudjojono mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan Sukarno, sejak sebelum jaman Jepang. Tidak terlalu jelas dikisahkan di buku ini kapan sebenarnya Sudjojono bertemu dengan Sukarno. Namun sangat banyak informasi bahwa sejak PUTERA, Sukarno sangat dekat dengan Sudjojono. Hbungan mereka tidak sekadar hubungan profesional antara pelukis dan penikmat lukisan. Atau sesama pejuang kemerdekaan. Hubungan Sukarno dengan Sudjojono adalah hubungan yang sangat akrab, sebagai teman dan bahkan seperti saudara. Sudjojono sering melukis untuk Bung Karno. Ketika Bung Karno pada tahun 1953 mengunjungi sanggar-sanggar lukis di Jogja, Nasti anak Sudjojono bersama Naniek anak Abdulsalam bertugas mengalungi bunga (hal 161). Ketika Sudjojono mengalami kesulitan keuangan saat di Jogja, Sudjojono menjual lukisannya kepada Sukarno di Gedung Agung. Meski dengan pakaian yang seadanya, ia bisa menghadap Presiden hanya dengan menyebut namanya.

Peran utama Sudjojono dalam perjuangan selaras dengan profesinya sebagai seorang pelukis. Ia membuat poster perjuangan sesaat setelah proklamasi. Sudjojono bersama dengan Affandi, Sitor Situmorang, Cornel Simanjuntak dan Rosehan Anwar naik truk untuk membuat poster-poster di tembok-tembok gedung, pagar, gerbong kereta api, sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan melakukan orasi. Mereka dikawan oleh Sidik Kertapati.

Sudjojono juga ikut berjuang saat agresi Belanda 1 dan agresi Belanda 2. Meski dilarang oleh Wikana untuk ikut perjuangan fisik, tetapi Sudjojono tetap berjuang melalui jalur seni. Sudjojono sempat bergabung dengan PESINDO di Madiun untuk membuat poster-poster perjuangan.

Sebenarnya ada peran lain dalam perjuangan Kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan dari Sudjojono yang tak terungkap. Tak ada yang tahu apa yang dibicarakan dalam pertemuan empat mata dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX di RS Persahabatan pada akhir tahun 1985. Saat itu Sudjojono sedang sakit dan Sri Sultan HB IX menengoknya dan menghendaki ada pertemuan berdua saja (hal. 300). Juga tentang peran Sudjojono bersama Wikana sebagai konseptor “Konsep Bung Karno” atau “Konsep Presiden” (hal. 302).

 

Sudjojono Sebagai Manusia dan Tentang Cinta

Kesan utama saya tentang Sudjojono yang saya dapat dari buku ini adalah orang yang memegang prinsip dan berani mengorbankan apa saja demi prinsipnya. Ia meninggalkan posisinya sebagai guru di sekolah Arjoena saat berselisih dengan Mangunsarkoro. Ia memilih berhenti dari pekerjaan di PUTERA saat berselisih pendapat dengan Bung Karno soal Basuki Abdullah, padahal istrinya sedang hamil 5 bulan (hal. 142). Ia memilih berhenti dari LEKRA dan PKI saat berselisih paham tentang moral yang dianggap tidak sesuai dengan garis perjuangan partai, ketika ia menikahi Rose Pandanwangi. (Dalam hal ini PKI menyatakan memecat Sudjojono.) 

Tokoh Sudjojono adalah tokoh yang terbuka tentang masa lalunya Ia mengaku kepada Mia sebelum menikah bahwa masa mudanya suka pelesir di masa mudanya. Ia pernah mencoba untuk membawa Adhesi, seorang pelacur keluar dari dunia hitam. Ia terinspirasi dengan Yesus yang menobatkan Maria Magdalena. Itulah sebabnya Adhesi diberinya nama Marie. Tetapi berhenti mengunjungi tempat mesum begitu jatuh cinta kepada Mia. Ia juga mengakui suka tertarik dengan perempuan yang memiliki bakat yang tinggi.

Sudjojono adalah seorang ayah yang perhatian kepada anak-anaknya. Ia bisa berdialog secara terbuka dengan anak-anaknya, terutama dengan Teja dan Nasti yang hidup bersama Sudjojono sampai remaja. Namun ia berubah sama sekali setelah menikah dengan Rose Pandanwangi. Menurut penuturan anak-anaknya, Sudjojono tidak lagi bisa adil kepada anak-anaknya dari Mia saat anak-anak tersebut tinggal bersama di keluarga barunya bersama Rose.

Perubahan perilaku Sudjojono terjadi ketika ia menjadi anggota DPR (hal 190). Sejak ia menjadi anggota DPR, ia lebih sering tinggal di Jakarta. Saat itulah ia bertemu dengan Rose, yang pertama kali ditemuinya saat ia melawat ke Berlin. Hubungannya dengan Rose semakin erat. Meski ia ditentang oleh banyak kawannya dan organisasi perempuan, namun ia meneruskan hubungannya tersebut. Sudjojono akhirnya memilih untuk meninggalkan Mia Bustam seorang ningrat yang bersedia meninggalkan keluarganya demi cintanya kepadanya, saat Mia sudah memiliki 8 anak darinya.

 

Selain dari kisah Mia Bustam dan Sudjojono, saya juga mendapatkan banyak informasi tentang hubungan para tokoh pejuang kemerdekaan. Tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang bersatu untuk mewujudkan Kemerdekaan. Wikana, Affandi, Trisno Sumarjo, Daoed Joesoef, Dwipayana, Kahar Muzakar dan lain-lain sama-sama berjuang melawan penjajah. Para tokoh ini tidak mempermasalahkan aliran ideologinya. Mereka bekerja bersama demi kemerdekaan Indonesia. Ada juga tokoh yang saya sangka adalah intelektual saja, ternyata dia adalah juga seorang pejuang kemerdekaan. Herman Johannes yang saya kenal sebagai Rektor UGM ternyata adalah arsitek peledakan jempatan Kali Opak antara Bogem dan Prambanan. (hal. 118). Demikian juga dengan Dwipayana yang saya sangka hanyalah seorang tokoh perfilman, ternyata adalah salah satu Tentara Pelajar yang dekat dengan Mia Bustam.

Sudjojono adalah seorang maestro lukis, sekaligus pejuang kemerdekaan. Ia adalah seorang suami dan ayah yang setia, tetapi tidak setia. Ungkapan Tejabayu berikut sangatlah tepat untuk menggambarkan maestro seni lukis Indonesia yang sekaligus pejuang kemerdekaan ini: “Dia memang pelukis besar. Pantas menerima atribut “the Father of Indonesian Modern Art”. Sudjojono adalah seorang Marxis bahkan komunis sejati sampai ajalnya, meski juga seorang Nasrani yang sedang mencari. Ia percaya diri, rendah hati namun bisa juga tinggi hati. Ia keras kepala, dan bagusnya konsisten dengan sikapnya.”

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB