Tidak lama setelah ‘siaran tunda’ rekaman aksi marah Presiden Jokowi dalam sidang kabinet 18 Juni 2020 ditayangkan, muncul banyak reaksi. Tentu saja ada yang memuji. Mereka bilang, kemarahan Presiden itu merupakan bentuk ketegasan pemimpin untuk melindungi rakyat. Yang mengritik pun tidak kurang banyak. Menurut mereka, ketidakpuasan Presiden terhadap kinerja para menteri itu tidak ubahnya menepuk air di dulang tepercik muka sendiri. Sebab, Presiden sendiri yang memilih para menteri itu, Presiden pula yang memimpin kabinet.
Ekspresi kemarahan atas kinerja sebagian menteri yang tidak memuaskan itu agaknya dipandang oleh sebagian politikus sebagai peluang untuk masuk kabinet. Dalam aksi marahnya itu, Presiden memang melontarkan kata ‘reshuffle’. Jadi, ini momen yang tidak boleh dilewatkan, mungkin begitu pikiran sebagian politikus yang tidak kebagian posisi menteri. Inilah kesempatan untuk masuk ke dalam kabinet. Bahkan, ada partai yang sudah menyodorkan calonnya jikalau reshuffle jadi dilakukan dan Presiden membutuhkan figur baru di kabinet.
Mereka yang deg-deg plas menunggu panggilan telepon dari Istana Presiden itu tampaknya harus kecewa, sebab ternyata tidak ada reshuffle. Setidaknya mungkin tidak akan terjadi perombakan kabinet pada masa pandemi, walaupun kinerja kabinet dinilai tidak memuaskan. Sejauh ini, belum ada menteri yang dicopot dan belum ada lembaga yang dibubarkan.
Kata Mensesneg Pratikno, sejak ditegur keras oleh Presiden pada 18 Juni lalu, kinerja menteri telah meningkat sehingga tidak perlu ada reshuffle. Para menteri dipertahankan pada posisi masing-masing. Bisa dipahami jika ada yang kecewa bahwa reshuffle tidak jadi dilakukan, walau mungkin kekecewaannya dipendam dalam-dalam. Siapa tahu Presiden mungkin mencari waktu lain yang lebih tepat untuk merombak kabinetnya? Artinya, peluang masuk kabinet terbuka kembali?
Di luar soal itu, menjadi pertanyaan, benarkah kinerja para menteri meningkat sejak ditegur Presiden? Apa tolok ukurnya? Serapan anggaran? Marahnya pemimpin tim memang dapat berfungsi sebagai lecutan positif untuk mendorong para menteri agar meningkatkan kinerjanya. Namun, jika ukurannya besar serapan anggaran, bisa saja dorongan itu menuju arah yang salah, misalnya menteri yang disentil Presiden buru-buru mengeluarkan anggaran yang sudah dialokasikan hanya sekedar agar serapan anggarannya naik dan karena itu ia tidak dicopot dari kabinet.
Sejumlah kritik juga menyebutkan bahwa marahnya pemimpin tim kepada anggota tim yang kinerjanya kurang bagus tidaklah perlu dipertunjukkan kepada publik. Sebab, hal itu justru memperlhatkan kualitas kepemimpinan si pemimpin tim. Di kalangan tentara manapun dikenal ungkapan yang dijunjung para perwira ksatria: “Tidak ada prajurit yang salah, yang salah adalah komandannya.”
Mungkinkah karena kritik ini Mensesneg Pratikno kemudian mengatakan: “Jangan ribut lagi soal reshuffle, karena progres kabinet berjalan dengan bagus.” Maka, isu reshuffle pun meredup. Elite partai politik pun tenang kembali. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.