Moral dalam La Peste dan Wabah Korona Saat Ini

Jumat, 17 Juli 2020 13:01 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam novel Albert Camus, La Peste atau ‘Sampar’ (1947), kita mendapatkan gambaran yang nyaris sama dengan apa yang terjadi hari ini; ketika korona (Covid 19) menyergap. Dalam novel itu, semua orang terkurung dalam kepanikan teror wabah pes. Dunia seolah menjadi gelap dan buntu. Setiap orang kehilangan orientasi dan harapan akan masa depan, karena bayang-bayang kematian. Tetapi, di sisi lain, ada sebagian orang justru mampu hidup dalam keadaan seperti itu.

Dalam novel Albert Camus, La Peste atau ‘Sampar’ (1947), kita mendapatkan gambaran yang nyaris sama dengan apa yang terjadi hari ini; ketika korona (Covid-19) menyergap. Dalam novel itu, semua orang terkurung dalam kepanikan teror wabah pes. Dunia seolah menjadi gelap dan buntu. Setiap orang kehilangan orientasi dan harapan akan masa depan, karena bayang-bayang kematian. Tetapi, di sisi lain, ada sebagian orang justru mampu hidup dalam keadaan seperti itu.

Contrad, salah satu karakter dalam La Peste, adalah salah satu contoh karakter yang seperti itu. Sebelum terkurung wabah pes, Contrad dikenal pribadi yang tertutup dan memiliki gangguan mental. Ia bahkan pernah berupaya bunuh diri. Tetapi, ketika wabah terjadi, Contrad justru berubah menjadi pribadi yang hangat dan terbuka. Ia berteman dan berdansa dengan maut bersama penduduk lain yang ketakutan. Contrad, sebagai karakter yang digambarkan bermental rusak, bahkan kemudian mampu mengambil keuntungan dalam situasi seperti itu. Ia mendapatkan keuntungan besar dari bisni selundupannya saat itu.

Kita pun seolah melihat fenomena yang sama pada hari ini. Ketika segalanya menjadi gelap dan tak pasti, ada sebagian orang mendapatkan keuntungan seperti halnya Contrad. Beberapa orang kemudian mampu menjual semua kebutuhan di masa pandemi. Ada yang serius ada pula yang menipu. Mereka menjual obat-obatan dan hal lain yang ditawarkan sebagai pengganti sarana lama. Fenomena ini seolah seturut dengan makna revolusi. Di mana dalam proses perubahan besar-besaran senantiasa memiliki pelbagai konsekuensi dan bersifat chaos. Baik itu tatanan sosial, politik, ekonomi, dan moral. Bukankah saat ini kita dalam suasana Revolusi Industri 4.0 dan menuju 5.0?

Semua itu lantas juga mengingatkan kita akan istilah disruptive innovation. Sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Clayton M. Christensen dalam artikelnyal “Disruptive Technologies: Catching the Wave” (Havard Business Review, 1995). Sebuah pola yang mengubah tatanan teknologi dan maketing lama menjadi bentuk-bentuk baru. Media cetak dirusak oleh media digital; televisi dirusak oleh Youtube, dan sejenisnya.

Disrupsi seolah menjadi roh utama dalam menggerakkan perubahan besar-besaran (revolusi) yang tengah terjadi. Disrupsi merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan. Baik yang bermakna harafiah maupun ‘istilah’ seperti maksud Clayton. Baik yang kemudian berimplikasi positif, maupun dalam makna yang negatif. Suatu keadaan di mana kemudian melahirkan pelbagai hal dan saling terkait.

Pandemi korona pun menjadi semacam alat revolusi yang merusak (disrupsi) semua tatanan yang ada. Dalam kekacauan dan ketidakpastian itu, kemudian kita mengenal pula istilah The Hammer And The Dance. Sebuah metode penyadaran untuk melihat korona sebagai relitas yang menghantam keras. Namun, kemudian orang harus masuk dalam kesadaran baru, yaitu hidup dalam suasana baru bersama hantu korona. Setiap orang harus mampu menari bersama korona. Tetapi sebelum semua masuk dalam tatanan stabil, kita harus melewati kekacauan menuju tatanan baru yang diciptakan sebagai konsekuensi revolusi.

Dalam situasi seperti itu pula, di mana kekacauan dan bayang-bayang ketakutan mengahantui setiap warga, lahirlah para pahlawan yang seolah hendak menyelamatkan dunia. Semacam ‘pseudo heroik’. Contrad menawarkan produk yang sulit dicari di masa lockdown kota Oran, yaitu rokok dan minuman keras. Dua produk yang dinilai mampu mengurangi beban psikologis banyak orang.

Meskipun tentu saja, produk itu hanya bersifat sugesti dan pelarian dari keadaan. Bukan menyembuhkan atau menangkal wabah pes. Dalam pandemi korona saat ini, beberapa orang pun menjadi mirip dengan karakter Contrad. Mereka menjual produk-produk atas nama perlindungan dan masa depan kemanusiaan. Beberapa orang tiba-tiba mengaku menemukan sesuatu tanpa bukti dan menjualnya. Mereka hanya berdagang atau mencari keuntungan dengan berkedok pahlawan.

Kita tentu saja prihatin dengan semua bentuk aksi “heroisme palsu’ yang justru terlihat sebagai pemanfaatan keadaan. Dalam kondisi seperti ini, apayang dibutuhkan adalah niat baik dari semua pihak untuk saling melindungi. Baik itu dari setiap individu maupun negara yang diwakilkan pada pemerintah. Kita tidak ingin lahir banyak orang seperti Contrad.

Kita mungkin membutuhkan karakter semacam dr. Bennard Rieux, narator dalam La Peste. Seorang dokter yang dingin, serius, tegas dan berniat baik demi menyelamatkan warga kota Oran dari wabah pes. Meskipun ia tahu bahwa melawan kematian adalah sia-sia. Tetapi demi kemanusiaan itu sendiri, ia harus melawan wabah. Demikianlah, seperti dr. Rieux, kita membutuhkan niat baik sebagai moral yang dibutuhkan saat ini. Mungin demikian. []

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kalimat Pendek dan Panjang dalam Sastra

Selasa, 18 Juli 2023 12:24 WIB
img-content

Setan Rumah B2A

Rabu, 1 Desember 2021 13:40 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler