x

Djoko Tjandra

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 22 Juli 2020 10:34 WIB

Kasus Joko S Tjandra adalah Cermin Tradisi Konspirasi dan Kongkalikong di Indonesia

Kasus Joko S Tjandra, adalah satu dari sekian model kasus di Indonesia yang akarnya adalah konspirasi dan kongkalikong. Kira-kira bagaimana dengan kasus yang lain yang hingga kini juga belum terungkap? Rakyat juga berpikir, para buron yang belum tertangkap, lolosnya malah memang sudah dibuat skenario dan sandiwaranya oleh "mereka". Sungguh susah menjernihkan dan memberantas serta menangkapnya, karena bisa jadi, sutradaranya juga mereka-mereka juga. Kasus Djoko Tjandra, adalah cermin kerapuhan penegakan hukum di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Sudah ada berapa macam kasus  buron kejahatan terutama korupsi yang terjadi di Indonesia? Inilah pertanyaan masyarakat Indonesia yang kini semakin mengakar dan mengopini kuat. Pasalnya, semua kejadian kasus-kasus buronan yang lolos dari jerat hukum di Indonesia, malah keberhasilan lolosnya karena didukung dan disponsori oleh para penegak hukum. Aneh tapi nyata.

Hingga banyak pihak menyebut bahwa penegakan hukum dan lembaga peradilan di Indonesia semakin rapuh bila dilihat dari kacamata publik, namun sebaliknya hukum dan peradilan semakin kuat dijadikan obyek berkah bagi para penegak hukum demi keuntungan pribadi dan para "kroninya".

Sebagai contoh, kasus yang kini terus menjadi topik berita di berbagai media massa Indonesia, yaitu kasus Joko S Tjandra yang pada sekitar 8 Juni 2020 kembali mengemuka karena ditemukannya jejak pelariannya sebagai buronan kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali. 

Sebagai buronan kelas kakap, bahkan Joko dikabarkan bebas keluar masuk Indonesia. Kok bisa begitu?

Karenanya, kasus Joko Tjandra langsung menyeret sejumlah nama, terutama para penegak hukum yang  berakibat tiga jenderal polisi dicopot dari jabatannya, sebab  terlibat dalam kasus ini.

Saya kutip dari Kompas.com (17/7/2020), ada akun yang mengunggah sebuah video dan menyebut adanya pertemuan antara kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, dengan Kajari Jaksel, lalu berujung pada pemeriksaan Kajari Jaksel oleh Asisten Pengawasan (Aswas) Kejati DKI pada Kamis (16/7/2020).

Dengan demikian, semakin mentradisi di Indonesia, para penegak hukum yang paham hukum, justru terlibat dalam kejahatan yang jelas melanggar hukum.

Atas fenomena ini, seperti dihubungi oleh Kompas.com pada Sabtu (18/7/2020), Sosiolog Universitas Gadjah Mada ( UGM), Sunyoto Usman, mengungkap bahwa fenomena ini memang sudah lama dan kerap kali ditemukan serta disebabkan oleh sesuatu yang mendasar. "Sudah lama terjadi konspirasi (kongkalikong) pengusaha dan penegak hukum. Jadi, ada persoalan mulai dari pendidikan, rekrutmen, penempatan, kinerja, dan pengawasan," ujarnya.

Apa yang diungkapkan Sunyoto, menyoal konspirasi dan kongkalikong antara para pengusaha dan penegak hukum, sejatinya justru sudah sangat dipahami oleh masyarakat. Konspirasi antara penegak hukum dengan pengusaha tak ubahnya kongkalikong antara partai dan para elitenya dengan para "cukong" yang tak lain juga para pengusaha.

Sehingga bila ada ungkapan "penegakan hukum di Indonesia tajam ke bawah, tumpul ke atas". Bagaimana mau tajam ke atas? Bila para penegak hukum malah diberikan berbagai keuntungan oleh para pengusaha dan cukong.

Jadi, boleh dibilang, selama ini penegak hukum di Indonesia ini hanya bekerja untuk menertibkan dan menghukum rakyat kecil yang melanggar hukum. Tetapi untuk para pengusaha dan cukong, bila melanggar hukum, malah akan menjadi "lahan" bagi para penegak hukum.

Mungkin harus lahir ungkapan baru, bahwa "penegak hukum itu hadir hanya untuk rakyat jelata, bukan untuk kalangan "mereka".

Penegak hukum juga hanya untuk kepentingan parlemen, pemerintahan, dan partai politik karena didukung oleh pengusaha dan cukong, bukan untuk kepentingan rakyat. Itulah, yang kini semakin dipahami oleh rakyat Indonesia.

Maka tak heran bila Sunyoto Usman menyebut bahwa masalah penegakan hukum ini bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan, pasalnya lembaga peradilan di Indonesia masih rapuh dan memerlukan pembenahan.

"Lembaga peradilan kita masih rapuh (kepolisian, pengadilan, dan penjara). Perlu pembenahan rekrutmen penegak hukum," ungkapnya.

Lalu, siapa yang dapat menghentikan praktik konspirasi dan kongkalikong yang bahkan sudah mendarah daging di penegak hukum dan lembaga peradilan kita yang terus semakin tumpul ke atas?

Berharap kepada parlemen dan pemerintah? Rasanya mustahil, karena kini masyarakat sudah kuat pemahamannya bahwa "mereka" itu adalah "paket lengkap" yang akan sulit disentuh oleh rakyat.

Siapa yang memegang tampuk kekuasaan dan memiliki skenario,  sekaligus sebagai sutradara, maka "merekalah" yang dapat mengendalikan  tumpulnya hukum ke atas di Indonesia,

Bila tiga jenderal yang kini dicopot dari jabatan karena adanya konspirasi dengan Djoko Tjandra, kira-kira hukuman apa yang akan diberikan kepada tiga jenderal itu selain dicopot dari jabatan? Harus ada hukumannya bukan? Lalu, bila tiga jenderal itu divonis hukuman, apa benar di luar tiga jenderal ini tidak ada penegak hukum lain yang terlebat lagi?

Kasus Djoko Tjandra, adalah satu dari sekian model kasus di Indonesia yang akarnya adalah konspirasi dan kongkalikong. Kira-kira bagaimana dengan kasus yang lain yang hingga kini juga belum terungkap? Rakyat juga berpikir, para buron yang belum tertangkap, lolosnya malah memang sudah dibuat skenario dan sandiwaranya oleh "mereka".

Sungguh susah menjernihkan dan memberantas serta menangkapnya, karena bisa jadi, sutradaranya juga mereka-mereka juga. Kasus Djoko Tjandra, adalah cermin kerapuhan penegakan hukum di Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB