x

Proses pengisian BBM di SPBU Cikini, Jakarta, Selasa, 14 April 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Iklan

Tulus Abadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 22 Juli 2020 16:12 WIB

Saatnya Mengganti Premium dkk dengan BBM Ramah Lingkungan

Jika merujuk pada regulasi nasional bernama Permen LHK dan standar Euro, maka premium dan konco-konconya memang pantas diberikan predikat BBM tidak ramah lingkungan, alias BBM yang tidak berkualitas. Bahkan ekonom Faisal Basri, sering menyebutnya sebagai “barang busuk”, yang harus dimusnahkan. Pemerintah wajib menyediakan BBM ramah lingkungan. BBM ini tidak harus mahal. Itulah pesan yang harus direspon pemerintah dan PT Pertamina.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI

Beberapa bulan terakhir, pemerintah via Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), plus managemen PT Pertamina (Persero) tampak getol mewacanakan penghapusan bahan bakar minyak yang tidak ramah lingkungan, yaitu: premium, pertalite, dan solar. Terminologi ramah lingkungan pada komoditas BBM sejatinya terasa absurd dikarenakan BBM adalah produk energi fosil, yang tentu saja, secara ekstrim semua produk BBM atau komoditas energi lain, adalah tidak ramah lingkungan jika masih berbasis energi fosil.

Namun setidaknya jika merujuk pada regulasi dan atau pun standar internasional, khususnya standar Euro; maka klaim BBM ramah lingkungan dan sebaliknya cukup masuk akal. Sebab wacana menghapus bensin premium, pertalite, dan juga solar; rujukannya adalah regulasi lintas sektoral, yakni Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yaitu Permen LHK No. 20 Tahun 2017, yang intinya mengatur standar emisi gas buang pada kendaraan bermotor. Selanjutnya jika rujukannya adalah standar Euro, maka yang disebut BBM ramah lingkungan adalah minimal Euro 2. Sebuah BBM bisa dikategorikan memenuhi standar Euro 2, jika kandungan oktan number (RON) minimal 91, dan kandungan cetane number (CN) minimal 51.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nah, jika merujuk pada kedua instrumen tersebut, baik regulasi nasional bernama Permen LHK dan standar Euro, maka premium dan konco-konconya itu memang pantas diberikan predikat BBM tidak ramah lingkungan, alias BBM yang tidak berkualitas. Bahkan ekonom Faisal Basri, sering menyebutnya sebagai “barang busuk”, yang harus dimusnahkan, dihapus. Pasalnya, untuk premium kandungan RON-nya hanya 88, dan dengan kandungan sulfurnya lebih dari 500 ppm. Padahal untuk disebut ramah lingkungan kandungan sulfur dari sebuah BBM maksimal 50 ppm.

Dengan demikian, upaya Kementerian ESDM dan juga PT Pertamina menghapus premium, bahkan pertalite dan solar, bisa dimengerti; baik pada konteks regulasi, dan atau standar internasional. Selain itu, dominannya penggunaan BBM yang tidak ramah lingkungan berdampak sangat signifikan baik pada lingkungan, sosial, ekonomi dan kesehatan.

Kota Jakarta adalah area yang paling terdampak atas dominannya penggunaan BBM yang tidak ramah lingkungan itu. Ini hal yang masuk akal, sebab 35 persen penggunaan kendaraan pribadi di Indonesia berpusat di Jakarta dan Bodetabek. Lihat faktanya, tak kurang dari 13 juta unit sepeda motor dimiliki oleh warga Jakarta. Dan tak kurang dari 6 (enam) juta unit kendaraan pribadi roda empat juga demikian. Dan tragisnya, lebih dari 60 persennya masih menggunakan premium, pertalite dan solar. Terkhusus premium yang paling tinggi prosentasenya. Maka wajar jika Kota Jakarta dijuluki sebagai salah satu kota terpolusi di dunia, pasalnya Air Quality Indeks Kota Jakarta skornya mencapai 175, alias level unhealthy.

Status kualitas udara yang unhealthy ini berdampak ikutan yang sangat mengerikan, terkhusus pada konteks kesehatan dan juga ekonomi. Dari sisi kesehatan publik, buruknya kualitas udara, mengutip data Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan juga ahli kesehatan masyarakat, berkontribusi terhadap 60 persen penyakit tidak menular; seperti darah tinggi, diabetes melitus, jantung koroner, gagal ginjal, dan kanker. Artinya, jika ingin menghilangkan/ menurunkan 60 persen prevalensi penyakit tidak menular maka solusinya perbaiki kualitas udara di Kota Jakarta.

Sektor transportasi darat, menurut data Dinas Lingkungkungan Hidup berkontribusi 75 persen terhadap polusi di Jakarta. Sisanya, seperti pembakaran sampah, sektor industri bahkan PLTU masing-masing berkontribusi sekitar 9 (sembilan) persen saja. Semakin tinggi kemacetan di Kota Jakarta, semakin tinggi pula tingkat polusinya. Sebab kemacetan akan menimbulkan proses pembakaran di mesin kendaraan menjadi tidak sempurna, dan dampaknya menghasilkan emisi gas buang yang lebih tinggi. Sebuah kajian dari akademisi UNAIR (2015) menyebutkan bahwa kerugian sosial ekonomi akibat polusi udara mencapai 5 (lima) persen dari PDB, atau sekitar Rp 573 triliun, per tahunnya.

Jika mengacu pada fenomena tersebut, maka catatan kerasnya adalah; pertama, Pemprov DKI Jakarta harus secara radikal melakukan rekayasa managemen lalu lintas yang sangat kuat, khususnya menjadikan angkutan masal sebagai sarana transportasi utama di Kota Jakarta dan Bodetabek. Memang saat ini keberadaan Commuter Line, Transjakarta, Kereta Moda Raya Terpadu (MRT), dan juga LRT; kian eksis dan digemari masyarakat. Namun jika dibandingkan dengan mobilitas berbasis kendaraan bermotor pribadi masih jauh komparasinya.

Kedua, Pemprov DKI harus konsisten untuk menegakkan aturan terkait standar emisi gas buang pada kendaraan bermotor. Padahal sudah tegas regulasinya, bahkan di level Perda DKI Jakarta, yakni Perda tentang Transportasi bahwa kendaraan bermotor di DKI Jakarta harus mematuhi baku mutu gas buang. Namun faktanya hal ini belum pernah dilakukan upaya penegakan hukum secara konsisten. Kalau pun ada penegakan hukum terhadap pelanggaran emisi gas buang, hanya sebatas seremonial dan formalitas belaka.  

Ketiga, menghapus bensin premium, bahkan pertalite dan solar; menjadi solusi yang tak terelakkan. Kebijakan ini lebih dominan ranahnya pemerintah pusat. Selain karena kepatuhan pada regulasi (Permen LHK) dan standar Euro, penghapusan bensin premium, urgensinya adalah kualitas udara Kota Jakarta, yang sudah pada level membahayakan warganya. Dan tragisnya mayoritas justru warga menengah bawah yang menjadi korban, yang disemprotkan dari knalpot kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat dan roda dua (sepeda motor). Saat ini 45 persen polusi udara akibat semprotan dari knalpot kendaraan pribadi roda dua (sepeda motor). Apalagi setelah fenomena ojek online (ojol) dan juga taksi online makin digandrungi kaum urban.

Selanjutnya: BBM Ramah Lingkungan Tak Harus Mahal

Ikuti tulisan menarik Tulus Abadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB