x

Sumber foto: en.tempo.co

Iklan

Mizan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Oktober 2019

Sabtu, 25 Juli 2020 07:50 WIB

Menimbang Kebijakan Tidak Diumumkannya Kasus Covid-19 di Indonesia


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*Menmbang Kebijakan Tidak Diumumkannya Kasus Covid-19 di Indonesia*

Oleh Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik)

Jubir Satgas Covid-19, Wiku Adisasmita menjelaskan bahwa Satgas Covid-19 tidak akan mengumumkan perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia melalui konferensi pers. Menurutnya, sesuai Perpres No.82 Tahun 2020 tentang pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, perlu penguatan manajemen penanganan Covid-19. Jadi nanti masyarakat bisa mengakses info kasus Covid-19 melalui website resmi www.covid19.go.id (Selasa, 21 Juli 2020).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sesungguhnya dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, seharusnya komunikasi publik secara langsung dilakukan lebih intensif. Di samping memberikan data perkembangan kasus Covid-19, juga negara bisa mengkomunikasikan langkah-langkah strategis dalam penanggulangan pandemi. Harapannya timbul kesadaran masyarakat untuk satu tujuan bersama negara menanggulangi pandemi.

Selama ini memang negara melalui Gugus Tugas Covid-19 sudah mengumumkan perkembangan kasus Covid-19 lewat konpers, hanya saja terkesan sekedar pengumuman. Lebih kongkretnya Gugas Covid-19 lebih pas disebut sebagai Gugus Informasi Covid-19. Betapa tidak. Ini seperti yang dirasakan oleh penulis. Setiap hari diumumkan. Setiap hari pula kasus Covid-19 semakin meningkat. Tidak ada tindakan yang strategis untuk menanganinya. Justru terkesan kebijakan yang diambil tidak fokus dan serampangan. Yang terakhir justru diambil kebijakan New Normal.

Rakyat terkesan cuek dengan pandemi. Tentunya kalau menyalahkan rakyat sungguh tidak bijaksana. Yang menjadi korban itu rakyat, termasuk tenaga kesehatan. Jika memang kasus Covid-19 semakin naik, seharusnya diiringi dengan keseriusan dalam menangani. Rakyat diminta di rumah saja. Sementara kebutuhan hidup tidak dipenuhi oleh negara dengan baik. Dalam kondisi sedemikian, bagi rakyat, ancaman kelaparan lebih berbahaya daripada ancaman Covid-19.

Melihat hal demikian, lantas negara dengan latahnya ikut mengambil kebijakan New Normal. Negara sadar bahwa dengan New Normal ini konsekwensinya jumlah kasus Covid-19 tidak terkendali. Bahkan kasus Covid-19 per hari bisa mencapai 1000 lebih pertambahannya. Di sisi lain, bila pemerintah bersikukuh mengurung rakyat di rumah masing-masing dalam kondisi lapar tentunya akan memicu naiknya angka kriminalitas. Dan kalau negara tidak bisa mengendalikan keadaan, imbasnya adalah memperpendek umur kekuasaan. Oleh karena itu, New Normal diambil dengan tetap menghimbau untuk mentaati protokol kesehatan. Paling tidak, biar tidak muncul anggapan bahwa pemerintah lepas tanggung jawab dalam menangani Covid-19.

Demikian itu kondisi ketika perkembangan kasus Covid-19 diumumkan langsung. Lantas, bagaimana pula dengan keadaan tanpa adanya pengumuman langsung kasus Covid-19?

Letak strategis penanganan Covid-19 adalah tingkat kesadaran rakyat. Tatkala laporan perkembangan kasus Covid-19 tidak lewat konpers, ini sama saja menurunkan tingkat kesadaran rakyat terhadap pandemi. Bolehlah berkilah bahwa kasus Covid-19 tetap dilaporkan, hanya saja lewat situs website internet. Pertanyaannya, berapa banyak rakyat yang sudah melek internet? Dari yang melek internet, berapa banyak yang kesadaran literasinya tinggi? Dari yang gemar literasi, berapa banyak yang mengakses situs resmi Covid-19?

Betul secara manajemen ada penguatan penanganan Covid-19 lewat internet. Akan tetapi dari sudut penanganan Covid-19, tidak ada kemajuan. Terkesan cuek, kalau tidak boleh disebut gagal. Apalagi kondisi rakyat ini sudah tersihir New Normal atau AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru), seolah kondisi seperti biasa tidak ada ancaman Covid-19. Penulis ingin menegaskan bahwa yang dibutuhkan rakyat bukan istilah New Normal atau AKB. Bukan pula istilah Gugus Tugas, Komite, dan atau Satgas Covid-19. Yang dibutuhkan rakyat adalah negara serius menangani Covid-19.

Memang rakyat hanya bisa berharap. Akankah penanganan pandemi ini memang serius? Mengingat satgas Covid-19 ini lebih panjang jalur birokrasinya. Selain melaporkan kepada Ketua Komite, juga kepada presiden. Belum lagi, ada penyelarasan antara satgas Covid dengan satgas ekonomi yang menjadi tugas Erick Thohir. Jadi penanganan pandemi ini tidak ada keseriusan. Bahkan bisa dibilang gagal.

Hal demikian terjadi karena memang pemulihan ekonomi nasional lebih menjadi fokus daripada urusan kesehatan rakyat. Ini bisa dilihat dari RKP (Rencana Kerja Pemerintah) 2021. Menurut Kepala Bappenas, Suharso bahwa target RKP 2021 adalah sesuai dengan tujuh perioritas nasional yaitu penguatan ketahanan ekonomi, pengembangan wilayah, peningkatan SDM, peningkatan revolusi mental, pembangunan kebudayaan, insfratruktur, lingkungan hidup, ketahanan bencana, stabilitas polhuhankam dan transformasi pelayanan publik.

Sejalan dengan hal tersebut, Ketua Kadin, Rosan Perkasa Roeslani mengingatkan agar pemulihan ekonomi sebagai dampak pandemi, menjadi perioritas. Caranya dengan penanaman modal asing, imbuhnya. Untuk itu menurutnya, reformasi struktural guna kondusifnya iklim investasi. Maka ia mendorong agar pembahasan RUU Cipta Kerja tetap dilanjutkan DPR.

Menkeu juga menyatakan bahwa target pemerintah mengenai kesejahteraan ekonomi mundur hingga 5 tahun hanya karena pandemi selama 6 bulan. Pemasukan dari sektor pajak menurun. Akibatnya pendanaan untuk mencapai target pembangunan terhambat.

Walhasil, rakyat betul-betul dikondisikan untuk berjuang sendiri melindungi kesehatan dan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Sedangkan negara disibukkan guna pemulihan ekonomi nasional yang berbasis pada investasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika begini, kapankah pandemi ini akan berakhir?

Sesungguhnya persoalan pandemi Covid-19 ini terletak pada basis pijakan ideologi negara. Bila basis pijakannya adalah Kapitalisme sekuler, tentunya sudut pandangnya adalah ekonomi. Bahkan di tengah bencana sekalipun. Basis ekonomi kapitalisme itu rapuh, maka langkah penyelamatan harus segera dilakukan.

Di sinilah rakyat harus segera menyadari. Basis ideologi yang seharusnya dicari adalah ideologi yang kuat yakni Islam. Tentu sudut pandangnya adalah masalah kesehatan saat menghadapi pandemi atau wabah. Mitigasi wabah segera dilakukan. Tidak boleh masuk ke daerah yang terkena wabah. Tidak boleh keluar dari daerah wabah. Mengisolasi segera korban dan merawatnya di rumah sakit dengan fasilitas memadai, memenuhi kebutuhan hidup rakyat daerah wabah.

Menasionalisasi SDA dari korporasi asing, dengan begitu akan tersedia dana yang memadai untuk segera menemukan vaksin Covid-19. Di samping sebagai upaya pemulihan ekonomi setelah pandemi berakhir. Demikianlah langkah teknis strategis guna menangani pandemi yang berpijak pada basis ideologi Islam.

 

Ikuti tulisan menarik Mizan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu