x

Iklan

Dara Safira

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Januari 2020

Minggu, 26 Juli 2020 18:00 WIB

Dana Hibah di Sana, Mas Menteri dan Dirjen di Sini

Terlalu picik rasanya menimpakan kerumitan persoalan dana hibah POP sebagai kegagalan Mas Menteri Nadiem Makarim dan atau pun Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud, Iwan Syahril--sebagai unit penggagas POP sekaligus pelaksana kinerja. Mekanismenya jelas. Ada seleksi kualifikasi dan yang melakukannya pihak ketiga --dan tergolong independen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Heboh dana hibah program organisasi penggerak (POP) dari Mendikbud Nadiem Makarim. Siapa berulah? Siapa 'kena getah'? Siapa salah kaprah?

Tidak ada. Jika mau memahami seksama. Berpikir yang cermat.

Terlalu picik rasanya menimpakan kerumitan persoalan dana hibah POP sebagai kegagalan Mas Menteri Nadiem dan atau pun Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud, Iwan Syahril --sebagai unit penggagas POP sekaligus pelaksana kinerja.

Jangan hanya gara-gara Tanoto dan Sampoerna Foundation dituding menerima dana kategori gajah Rp 20 miliar atau mundurnya Muhammadiyah, NU serta PGRI dari POP, lantas langsung dihakimi ada yang cacat dari Nadiem maupun Iwan Syahril.

Salah arah POP? Tidak juga begitu.

Mekanismenya jelas. Ada seleksi kualifikasi. Yang melakukannya pihak ketiga --dan tergolong independen. Nadiem, Iwan Syahril, tidak tahu-menahu soal siapa saja organisasi yang mendaftar POP.

Pokoknya bagi Nadiem dan Iwan Syahril: lembaga yang lolos POP harus sesuai persyaratan.

Biar kelak tidak asal-asalan menggelar program peningkatan kualitas Guru. Sekadar ada program, namun tanpa tujuan utama mencetak Guru penggerak.

Selanjutnya, sumber pendanaan untuk lembaga lolos kriteria pelaksana POP pun jelas.

Ada 3 pola. Dari skema APBN, pembiayaan mandiri serta dana pendamping.

Sehingga Nadiem dan Iwan Syahril punya landasan kuat ketika ada lembaga yang memenuhi kriteria melaksanakan POP dan berhak atas penerimaan anggaran.

Bukan seenaknya Mas Menteri Nadiem dan Iwan Syahril menggelontorkan dana kategori gajah, macan dan kijang.

Toh ternyata juga --berdasarkan informasi terhimpun di media-- Tanoto serta Sampoerna Foundation yang dihebohkan itu, menggunakan skema pembiayaan mandiri dan kemitraan pendamping.

Artinya, secara pendanaan, kedua lembaga tersebut telah sangat kokoh. Bahkan dalam skenario agenda POP yang mereka tawarkan, angka kegiatannya lebih besar ketimbang dana-dana kategori 'hewan' dari Kemdikbud.

Jadi di mana salah arah Nadiem dan Iwan Syahril? Yang mana berulah dan 'kena getah'? Semua sudah sesuai tata aturan mainnya.

Praktik KKN bisa dihindari. Sebab yang seleksi dan menentukan kelolosan lembaga peserta POP adalah pihak ketiga. Sekali lagi: bukan Nadiem dan Iwan Syahril.

Mereka berdua hanya tahu beres.

Meski Iwan Syahril pernah berkarir sebagai akademisi di Universitas Sampoerna, tapi tetap saja dia tidak punya pengaruh --bila dituduh KKN. Sebab, bukan Iwan Syahril yang yang menyeleksi dan meluluskan.

Apalagi lembaga Sampoerna yang dihebohkan itu secara status badan hukum berbeda. Sampoerna Foundation adalah yayasan bergiat di sektor pendidikan. Sedangkan Iwan Syahril meniti karir di perguruan tinggi Sampoerna.

Kemudian, ketika memang mengguyurkan dana, skemanya jelas. Tata tertib pendanaan POP sudah ada. Bukan muncul tiba-tiba begitu saja sesuai perintah Nadiem atau Iwan Syahril.

Ini semua tidak ada ada hubungannya dengan salah Nadiem atau Iwan Syahril. Tak ada relevansinya siapa yang berulah, siapa 'kena getah'.

Tidak perlu bising sebar opini juga buru-buru harus ada yang dicopot dari Menteri atau diganti sebagai Dirjen.

Lainnya, soal mundurnya Muhammadiyah, NU dan PGRI, perlu hati-hati memaknai arti keputusan ketiga organisasi itu.

Muhammadiyah, NU, PGRI adalah mengundurkan diri. Bukan diperintah mundur oleh Nadiem dan Iwan Syahril. Tidak juga digagalkan prosesnya dalam seleksi lembaga peserta POP.

Muhammadiyah, NU dan PGRI mengundurkan diri. Berarti secara sukarela.

Soal alasan kenapa ketiga lembaga pegiat pendidikan tersebut mundur, itu beda konteks. Arahnya jadi pendapat dan asumsi. Semua juga berhak berpendapat serta berasumsi.

Pada akhirnya, semua pihak tentu ingin pendidikan di Indonesia berkualitas. Dan POP adalah salah satu unsur pendukung cita-cita tersebut.

Tanpa ada kisruh. Tidak ada polemik. Jauh dari tuduhan-tuduhan siapa yang berulah dan harus kena getah.

Sebab POP bukanlah ajang bancakan proyek.*

Ikuti tulisan menarik Dara Safira lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler